“Kemungkinan untuk melihat semua bahan baku untuk produk terbaru saya akan melihat langsung. Supaya lebih detail, dan tentu mencari yang terbaik.”
“Apa saya bisa ikut?”
“Tentu, sangat boleh. Nanti akan saya agendakan sesegera mungkin. Kalau bulan depan saya free, bisa kita berangkat. Sebentar, saya tanyakan dulu pada sekretaris saya,” jawab Varrel. Posisi Ayna yang duduk tepat di sampingnya membuat Varrel dengan mudah menoel legan gadis itu. Satu kali tidak ada respon, senggolan ketiga barulah gadis itu menoleh.
Lamunan Ayna buyar, jiwanya seperti tertarik dari dunia lain. Ditatapnya Varrel, sampai pandangan keduanya beradu. “Ada apa, Pak? Ada yang bisa saya bantu?”
“Fokus atau potong gaji?” tanya Varrel dengan suara pelan. Saking pelannya, telinga Ayna saja hampir tidak mendengar jelas.
Ancaman.
Lagi-lagi ancaman yang sama!
“Kalau gaji saya terus dipotong, gimana cara bayar apartemen sama makan sehari-hari, Pak? Bapak kenapa tega banget sama saya? Saya itu mau menabung, butuh uang, makanya kerja.” Ayna cemberut, menatap kesal pria di samping. Seolah lupa dia sedang berada di mana, karena setiap bahas gaji yang dipotong selalu membuatnya jengkel.
“Ayna!” geram Varrel.
Ari yang berada di antara perdebatan Varrel dan Ayna refleks tertawa. Apa lagi saat dia mendengar jawaban Ayna yang teramat polos, berani sekali dia berbicara seperti itu kepada atasannya. Sadar jika di dekatnya ada klien bosnya Ayna meringis malu. Dalam hati dia merutuki betapa bodohnya dia sampai tidak tahu kalau saat ini dia sedang ikut meeting.
Berusaha stay cool, Ayna berdeham. Senyuman yang awalnya hilang perlahan kembali terbit. Tak lupa Ayna menundukan kepalanya seraya memohon maaf. Setelah itu pandangannya kembali tertuju pada Varrel. “Maaf atas kesalahan saya, Pak. Jadi, ada yang bisa saya bantu?”
Perlahan Varrel menghembuskan napasnya. Baru enam bulan bersama, rasanya Varrel sudah lelah dengan tingkah sekretarisnya itu. andai pekerjaan gadis itu tidak benar, mungkin Varrel ada alasan untuk memecat. Tapi sayang, selama enam bulan itu juga pekerjaan Ayna sangat bagus dan disiplin. Melihat bosnya melamun menatapnya Ayna melambaikan tangan sampaia pria itu menerjap.
“Jadwal saya bulan ini bagaimana, Ayna? Ada waktu untuk saya free? Saya ingin terbang ke Swiss untuk melihat dan membeli bahan baku untuk produk terbaru kita. Kalau memang bulan ini full, usahakan cari waktu bulan depan. Apa sampai sini mengerti?”
Tanpa fikir panjang Ayna mengangguk, dengan cekatan dia membuka laptop dan berselancar membaca deretan jadwal yang sudah dia susun. Selagi menunggu Ayna mengecek Varrel melanjutkan membahas kerjasama yang sempat tertunda. Meeting siang ini memang terkesan santai, bahkan disambi lunch serta membahas hal lain di luar pekerjaan.
“Untuk bulan ini sepertinya tidak bisa, Pak. Karna sampai tanggal tiga puluh ada beberapa meeting yang harus Bapak hadiri karna terpending. Selain itu Bapak juga ada jadwal kunjungan ke bagian produksi lusa besok. Kalau untuk bulan depan, sebisa mungkin akan saya kosongkan jadwal sesegera mungkin. Bagaimana, Pak?” tanya Ayna sambil menatap pria di sampingnya. Posisi duduk keduanya yang sagat dekat membuat Ayna bisa menelisik wajah Varrel dengan detail.
Sangat mulus.
Dalam hati Ayna berdecak, rasa insecurenya tiba-tiba meronta. Dia yang notabenya wanita saja ada jejak jerawat di kening dan pipi.
Varrel mengangguk-anggukan kepalanya lalu menjawab, “baik, Ayna, segera dijadwalkan, ya?”
Lagi-lagi Ayna mengangguk mengiyakan. Bibirnya pun tak berhenti memamerkan senyuman. Selagi mendengarkan dan mencatat point penting yang ada, Ayna kembali memikirkan foto yang Agatha berikan. Antara yakin dan tidak, sepertinya memang harus Ayna cari tahu agar hatinya tidak rungsing.
***
Sore harinya sekitar jam lima Ayna baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Agatha dan juga Karina sudah pulang sejak tadi, kini gilirannya untuk ke luar dari ruang yang pengap. Sebelum pergi tak lupa Ayna mempoles wajah kusamnya agar kembali fresh.
Ting!
Ting!
Ting!
Chat from : My Hubby.
My Hubby : ‘Kamu masih di dalam, Na?’
My Hubby : ‘Sayang, aku udah di lobby, ya.’
My Hubby : ‘Love you!’
Melihat tiga pesan baru itu kedua sudut bibir Ayna tertarik. Pesan sederhana, tetapi pesan itulah yang sejak dulu dia sukai. Bagaimana tidak, Ayna merasakan itu sudah hampir delapan tahun. Delapan tahun hidup Ayna diisi dan diwarnai oleh pria itu.
Satu balasan Ayna kirim, setela itu dia mempercepat acara make up tipisnya.
Sekitar lima menit mempercantik diri Ayna bergegas ke luar dari dalam ruangan. Saat sedang menunggu lift terbuka Ayna papasan dengan Varrel yang juga ingin masuk. Situasi menjadi canggung, bahkan tidak ada suara yang ke luar satupun. Ayna tersenyum, namun pria di sampingnya acuh. Andai kata bukan bos, mungkin kaki Ayna sudah melayang ke betis pria itu!
“Bapak mau pulang? Kirain saya sudah pulang dari tadi,” ujar Ayna tanpa melirik ke arah Varrel.
Mendapati pertanyaan yang ditunjukan untuk dirinya Varrel menoleh. “Kamu bicara sama saya, Ay? Atau bicara sama pintu lift? Gadis aneh.”
Kedua mata Ayna memejam, rasanya dia sangat menyesal sudah bertanya. Perlahan Ayna menoleh, menampilkan senyum manisnya. Beberapa detik keduanya saling tatap, namun belum sempat Ayna menjawab pintu lift sudah lebih dulu terbuka. Tanpa mengatakan apapun Varrel masuk dengan santainya. Walaupun terkesan masa bodo, pria itu tetap menahan pintu lift menggunakan kaki.
“Kamu mau masuk tidak, Ay? Atau masih mau ngobrol sama pintu lift?” Sebelah alis Varrel terangkat menatap gadis di depannya. Buru-buru Ayna masuk sebelum pintu tertutup.
Tidak ada siapapun di dalam lift, hanya ada mereka berdua. Posisi Ayna yang berdiri di belakang punggung Varrel membuatnya bisa bebas memperhatikan bentuk tubuh bosnya dari atas hingga bawah. Bisa dikatakan Varrel adalah sosok pria sempurna dengan segala pencapaian yang ada. Ganteng, sih, tetapi hati Ayna tetap tertuju pada sosok Wildan—kekasihnya.
Masa iya perkara tampan dia melupakan hubungan yang sudah berlangsung tujuh tahun? Yang benar saja!
“Kamu pulang sama siapa, Ay? Bawa kendaraan atau naik umum?” Varrel bertanya tanpa menoleh ke belakang. Tanpa menoleh pun dia tahu jika gadis di belakangnya sedang memperhatikan punggungnya.
“Saya dijemput, Pak.”
“Supir?”
“Calon tunangan, Pak,” jawab Ayna santai dan lugas. Karena pada kenyataannya Ayna dan Wildan sudah merencanakan pertunangan. Tinggal menunggu waktu, menentukan tanggal.
Varrel mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Baginya jawaban itu sudah sangat jelas.
Ting!
Pintu lif terbuka, keduanya ke luar secara bersamaan. Sebelum berpisah Ayna pamit izin untuk pergi dahulu karena dia sudah melihat Wildan yang melambaikan tangan di luar kantor. Walaupun cukup jauh tetapi Ayna bisa melihat pria itu tersenyum. Senyum indah yang selama ini selalu mengisi hari-harinya.
Setelah berpamitan dengan Varrel tanpa berlama-lama Ayna berlari menghampiri pria itu. tidak perduli jika bosnya melihat, yang terpenting ini sudah di luar jam bekerja. Tepat di depan pintu Ayna memeluk singkat Wildan yang sudah merentangkan kedua tangannya.
“Kita pulang sekarang?” tanya Wildan sambil merapihkan anak rambut Ayna yang terombang-ambing terkena angin. Ayna mengangguk, mereka pun bergegas menuju mobil yang terparkir.
“b***k cinta,” guman Varrel sambil menggelengkan kepala. Sejak tadi dia memang belum beranjak karena memperhatikan gerak-gerik Ayna dan kekasihnya.
Selama diperjalanan banyak cerita yang Ayna bagi kepada Wildan. Dengan excited pria itu menanggapi membuat Ayna merasa dihargai. Bakan Ayna sampai menceritakan jika dia diancam potong gaji oleh Varrel. Akan tetapi kekasihnya itu hanya tertawa.
Tangan Wildan terulur mengusap pucuk kepala Ayna lembut. “Gimana ya, Na? Namanya posisi dia bos, ditambah kalian sedang meeting.”
Dreet..dreet..dreet.
Suara ponsel yang berbunyi menjadi pemutus pembicaraan keduanya. Masih sambil menyetir Wildan mengambil ponsel untuk melihat siapa yang menelepon. Kening Ayna menyerit. Biasanya jika sedang menyetir Wildan selalu meminta Ayna melihat bahkan mengangkat. Kenapa ini tidak? Ditambah wajah Wildan berubah tegang.
Tidak, tidak! Ayna tidak mau berburuk sangka.
“Siapa, sayang?” tanya Ayna hati-hati.
***