1. Aku

1061 Words
Jika ada kenangan yang tidak ingin aku lupakan, itu adalah kamu. Malam yang begitu dingin, sedang turun hujan tepat jam dua pagi, aku menatap dinding kamarku yang gelap karena lampunya dimatikan, menerawang jauh ke sebuah ingatan yang mendadak muncul. Entah mengapa aku kembali memikirkan tentangnya, seorang lelaki yang seharusnya sudah aku lupakan, mengingat sudah lebih dari tujuh tahun berlalu sejak terakhir kali aku melihatnya. Lelaki itu begitu mempengaruhi hidupku yang biasa, mengubahnya tanpa pernah terduga menjadi sebuah kisah romansa yang indah walau aku rasa salah genre dan waktu. Dia menggetarkan hasratku untuk membangun roman picisan dengannya di saat usiaku harusnya mulai berpikir tentang keseriusan dan keindahan kisah cinta dewasa. Pesonanya begitu kuat sehingga aku tidak kuasa menolak. Bersamanya seperti membuka kotak pandora, mempesona dan berbahaya dalam waktu yang bersamaan. Aku menghela napas sejenak, mencoba mengingat lagi bagaimana wajahnya. Sebenarnya, aku bukannya tidak ingat, hanya saja aku ingin melukiskan dirinya dengan lebih detail. Lelaki itu membuatku melukiskan senyuman dalam gelap, cukup dengan mengingatnya saja sudah membahagiakan hatiku dalam waktu singkat tanpa perlu melakukan apapun. Klise? Tentu saja, karena hal yang seperti itu terkadang benar-benar diharapkan. Lelaki itu memiliki tinggi badan sekitar 168 cm dengan berat badan 52 kg. Kulitnya agak gelap, hidungnya besar tapi sedikit mancung, giginya putih, besar-besar dan sedikit maju serta kurang rata. Pesona yang paling ampuh darinya adalah senyuman dari bibirnya yang tebal, merekah dan merah. Matanya bulat pepat, besar dan bersinar. Rambutnya selalu dicukur pendek tipis ala tentara tapi terkadang dibiarkan agak panjang hingga terkesan sedikit manis karena berponi. Aku suka sisi gentle dan cutenya itu. Soal otak, tidak usah diragukan lagi. Dia memang bukan juara kelas, tapi juara satu di olimpiade sains tingkat kabupaten bahkan provinsi di salah satu bidang yang kurang aku kuasai, TIK.  Lelaki itu juga suka mengikuti lomba-lomba Matematika. Dia memang tidak selalu memenangkan lomba yang diikutinya, tapi dari kebiasaannya belajar, bisa dipastikan dia memang sangat pintar. Aku suka itu, terlepas dari kenyataan bahwa kekasih yang pintar bukanlah yang aku butuhkan sekarang. Poin lain yang memikat darinya adalah rasa kesetiaan, kepolosan dan kebaikan hatinya yang tinggi. Ketiga poin itu cukup menjadi alasan mengapa aku menjulukinya sebagai Cogan ( cowok ganteng) -ku. Dia memang tidak terlalu tampan, kategori biasa bagi yang belum tahu pesonanya, tapi bagiku dia sangat luar biasa mempesona. Dia tipe idealku dan jika ada yang tidak suka atau keberatan dengan itu, aku tidak peduli. Aku menyukainya sejak pertama kali aku mengenalnya. Bukan cinta pada pandangan pertama, karena aku mengenalnya di BBM. Hanya saja, kenyamanan saat aku berkomunikasi dengannya yang seketika terasa padahal aku baru dua jam BBM-an dengannya membuat hatiku tergerak. Aku menyukainya dan meyakini rasa suka itu adalah benih cinta. Ya, cinta yang seharusnya tidak aku rasa atau terlarang bagiku untuk merasakan getar itu untuknya. Dia manusia, sebenarnya. Aku juga. Namun, ada sesuatu yang membuatku terlarang mencintainya. Meski begitu, aku sudah terlanjur mencintainya dan bisa aku apakan jika cinta itu sudah bersemi tanpa aku rencanakan? Protes pun percuma dan aku tidak tahu pada siapa. Menyalahkan diriku pun percuma. Aku akan selalu mencari alasan untuk membela diriku. Mengapa? Karena aku manusia. Aku tersadar dari lamunanku saat mendengar pintu kamarku terbuka. Reflek aku segera bangun dan mendapati gadis mungil berusia 6 tahun yang menatapku sambil mengucek-ucek mata mungilnya. Dia tampak mengantuk membuatku tersenyum kecil sebelum beranjak turun, menghampirinya. Aku sentuh lembut pipinya yang halus dan menggenggam tangan mungilnya. "Ada apa, Sayang?" tanyaku. Gadis kecil itu tidak menjawab, hanya menatap lekat padaku dengan manik matanya yang hitam. "Mama, aku nggak bisa tidur," ungkapnya. Aku mengusap-usap lembut rambutnya yang lumayan lebat. "Mau tidur sama mama?" tanyaku menawarkan. Gadis kecil itu mengangguk mengiyakan. "Oke, kesini!" ucapku seraya merangkulnya lalu menggendongnya dalam dekapanku. Gadis kecil itu hanya menempel di dadaku, mencoba mencari kehangatan dalam rangkulanku. Aku bawa dia ke atas ranjangku lalu menidurkannya di sana. Setelahnya aku selimuti dengan selimutku. "Tidur ya," ucapku lembut seraya berbaring di sampingnya. Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya pelan. "Aku nggak mau pindah, Ma!" katanya secara tiba-tiba sehingga membuatku sedikit merasa terkejut. "Kenapa?" tanyaku. "Aku suka di sini," jawabnya. Aku hanya tersenyum kecut. "Kita harus pindah Sayang," kataku pelan. "Mengapa?" tanyanya. "Nada suka nenek nggak? Pengen ketemu?" tanyaku balik. Gadis kecil bernama Nada itu mengangguk cepat. "Mau," sahutnya begitu antusias. "Kalau pindah, Nada bisa main sama nenek sesukanya," ucapku. "Benarkah?" tanyanya. Aku mengangguk meyakinkan. "Tentu saja," jawabku. "Tidurlah, besok pagi kita berangkat ke rumah nenek sayang," suruhku. Nada mengangguk kecil. Gadis kecil itu memejamkan matanya, mencoba tidur. Tak lama kemudian ia mulai mendengur dan menggetakkan giginya, itu artinya ia sudah tertidur. Aku tersenyum kecil melihat kelakuannya itu. Dia mirip seseorang, ya dia mirip dengannya. Walau, mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Pikiranku kembali menjelajah, menggali lebih jauh tentang dia. Aku pun kembali teringat akan dirinya, akan kenangan kami dan semua itu membuatku menyadari bahwa hatiku masih menyimpan sebongkah rindu untuknya. Baiklah, sebelum aku ceritakan lebih lanjut tentang dirinya, rasanya terlalu canggung jika aku belum memperkenalkan diriku lebih dulu. Namaku Inayah Putri, biasa dipanggil Naya. Entah darimana sebutan itu, yang pasti nama panggilanku begitu. Sudah panggilan orang tua sejak kecil, jadi tidak bisa protes atau berdebat minta diganti menjadi Ina atau Putri saja. Di sekolah pun begitu, panggilanku tetap saja Naya. Seolah panggilan itu sudah melekat dan enggan dicabut hak patennya. Aku seorang ibu rumah tangga, juga seorang anak dengan satu putri bernama Nada. Suamiku meninggal dunia setahun lalu karena penyakit yang dideritanya. Untuk menghidupi hidup kami selama ini, aku hanya mengandalkan uang tunjangan almarhum suamiku, juga bekerja serabutan, sampai akhirnya disuruh pulang ke kota asalku. Ibuku memintaku tinggal bersamanya karena kakak lelakiku akan pindah ke kota lain bersama keluarganya. Jadi, daripada terasing di kota tanpa sanak family, aku setuju. Almarhum suamiku berasal dari kota yang sama denganku, kami pindah kesini karena pekerjaannya. Kini tak alasan bagiku untuk di sini semenjak suamiku tiada. Nada juga sudah semakin dewasa, aku butuh menata hidupku lagi, mengingat aku juga seorang ibu rumah tangga yang memiliki gelar sarjana S2. Aku tidak bekerja selama ini karena mengabdikan diriku sebagai ibu rumah tangga. Karena itu, mungkin ini adalah kesempatan bagiku untuk menerapkan ilmu yang aku pelajari selama kuliah. Aku menghela napas panjang, ringan dan tidak terlalu sesak napas karena belum asma. Hari ini, detik ini, aku merasa ingin bercerita dan bernostalgia tentang sebuah kisah cinta. Kisah cintaku dengannya, lelaki yang aku cintai—sampai hari ini meski sudah tujuh tahun berlalu dan belum pernah ketemu. Ingatanku agak terganggu karena faktor U, walau aku masih berada di fase kepala tiga. Jadi sebelum lupa, amnesia atau kena bentur tembok, aku mulai saja. Kisah cinta terpanjang yang pernah aku tulis bersamanya. A.N HI, INI CERITA BARU AKU. TOLONG DIDUKUNG DENGAN LOVE, KOMEN AND FOLLOW AKUN AKU YA. MAKASIH. ENJOY.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD