BAB 5 | Aku Tidak Bersedia Membantumu!

2071 Words
*** Wellington, New Zealand,. Mansion Blaxton | Malam hari,. Celine menatap lekat layar ponsel dalam genggamannya. Usai berbicara dengan sang putra, Lucas barusan, lantas membuat Celine bertanya-tanya dalam hatinya akan maksud dari ucapan pria itu. Sedang melamar Brianna katanya? Apa maksud putranya itu? Memangnya apa yang sedang dilakukan oleh Lucas saat ini? Bahkan sudah hampir sebulan lamanya pria itu tidak menampakkan batang hidungnya di kediaman mereka, Mansion Blaxton. "Baby!" suara bariton itu memanggil, lantas membuat Celine tersentak kaget. Ia menoleh dan ternyata itu adalah Morgan, sang suami. "Apa yang kau lakukan disini? Sejak tadi kami menunggumu di meja makan," lanjut Morgan setelah menghentikan langkah di hadapan istrinya. Sebelum menjawab, Celine menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Barusan aku habis menghubungi Lucas," jawab Celine. Morgan diam, sebab ia tahu sang istri belum selesai dan benar saja wanita itu kembali melanjutkan. "Apa kamu tahu apa yang sedang dilakukan oleh Lucas saat ini di London?" tanya Celine. "Aku tidak tahu apa-apa," jawab Morgan. Celine terus memperhatikan wajah suaminya. Tak banyak perubahan yang tampak di wajah pria itu. "Dan aku rasa tidak semua hal tentang anak itu harus aku ketahui, bukan?" lanjutnya. Celine lantas memicingkan kedua mata, ia berkacak pinggang menatap curiga pada suaminya. "Kamu yakin tidak tahu apa-apa?" tanyanya penuh selidik. "Aku memang tidak tahu apa-apa," wajab Morgan. "Bukankah Lucas adalah sekutumu?" "Kami bersekutu masalah pekerjaan saja, tidak menyangkut masalah lain," jawab Morgan, lagi. "Oh ya? Apa aku harus percaya?" "Kau memang harus percaya, bahkan wajib percaya, karena yang berdiri di depanmu saat ini adalah suamimu, bukan orang lain!" tegas Morgan. Suaranya terdengar pelan, namun nada itu tak terbantahkan sehingga membuat Celine mendengus. "Lucas bilang kalau dia sedang melamar Brianna. Apa maksudnya anak itu?! Apa begini cara dia mengabari kita mengenai hal sepenting itu, Morgan? Dan itu alasannya kenapa aku tidak yakin kalau kamu tidak tahu apa-apa!" ujar Celine. "Ya bagus kalau dia sedang melamar seorang wanita. Lalu dimana salahnya? Dia melamar wanita, bukan melamar pria, Baby." "Lihat? Lihat bagaimana reaksimu. Bahkan kau tidak ada terkejut-terkejutnya sama sekali!" ujar Celine. "Oh ayolah Baby … aku tidak ingin mengacaukan kehidupanku yang bahagianya ini dengan cara harus terkejut pada hal-hal kecil seperti itu," balas Morgan seraya memasang wajah tak berdosa. "Astaga, sayang! Putramu sedang melamar seseorang … Dan gadis itu adalah Brianna, Morgan! Kamu pikir ini semua masuk akal? Sedangkan kita semua tahu bagaimana hubungan mereka selama ini!" ujar Celine. "Lucas itu sangat tampan, mungkin saja Brianna berubah pikiran dan tiba-tiba menyukai Lucas. Kenapa kau malah terkesan meragukan karisma putramu sendiri, hmm?" Lagi-lagi Celine mendengus. "Bukan karismanya yang aku ragukan, tapi kelakuannya yang tidak jauh berbeda denganmu!" ketus Celine. Morgan meringis dalam hati. "Kalau memang benar apa yang dikatakan Lucas, semoga saja Brianna tidak sedang berada dibawah tekanan putramu!" lanjut Celine. "Brianna adalah Alexander's. Seorang Alexander's tidak semudah itu bisa ditekan oleh orang lain, Baby." Morgan membalas. "Iya, kau benar. Tapi masalahnya, orang lain itu adalah Blaxton! Penuh dengan tipu muslihat!" ketus Celine. "Astaga!" ringis Morgan. "Aku tidak mau tahu Morgan. Kamu harus pastikan Lucas tidak melakukan kesalahan fatal," ujar Celine. "Hem, nanti aku hubungi Al," balas Morgan. "Lucas, sayang! Kenapa harus Al?!" pekik Celine. "Karena Lucas tidak akan mungkin mau menjawab panggilanku, Baby. Oh ayolah, jangan lupakan kalau putramu itu cukup menyebalkan," pungkas Morgan. Celine mendengus sebal. Ia menggeleng kepala tak habis pikir. "Ekspresimu benar-benar mencurigakan!" "Ekspresiku memang seperti ini!" balas Morgan, ia kembali melanjutkan. "Apapun situasi yang aku hadapi— ekspresiku akan tetap seperti ini. Berbeda kalau di saat aku sedang mengungkung mu, wajahku mungkin akan terlihat sayu karena menahan rasa nikmat!" ujarnya panjang lebar, sedangkan ekspresinya tampak biasa saja. "Aku serius Morgan!" "Memangnya kau pikir aku bercanda?" Morgan balik bertanya seraya mengangkat sebelah alis. Celine mendesah pelan dan Morgan melanjutkan. "Percayakan saja pada putramu. Kalaupun sekarang kau memintaku untuk mencari tahu tentang apa yang sedang dia lakukan— yakin, aku tidak akan bisa mendapatkan jawaban apapun." "Kau benar-benar payah! Bisa-bisanya kau kalau sama putramu sendiri!" ejek Celine. Morgan mengedikkan bahu. "It's oke aku tertinggal selangkah dari putraku, asalkan bukan dari orang lain karena aku tidak menerima kekalahan apapun selain daripada darah dagingku sendiri!" tegas Morgan. Celine memutar malas kedua bola matanya, jengah. "Sudahlah Baby, jangan terlalu dipikirkan. Lucas itu adalah anak laki-lakimu. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya karena dia bisa menjaga dirinya sendiri. Sebaiknya kita keluar dari kamar ini karena mertuamu sudah sangat lapar sekali," ujar Morgan. Celine pun mengangguk lemah karena baru mengingat kedua mertuanya sedang menunggu di meja makan. "Ya sudah, ayo kita keluar," ajaknya pada sang suami. Celine hendak meraih lengan Morgan, namun pria itu menghindar. "Tidak ada kiss?" tanya Morgan menatap sang istri sambil memicingkan kedua mata. "Tidak ada! Maumu terlalu banyak! Menyusahkan saja!" ketus Celine menjawab sambil melangkah mendahului Morgan dan pria itu hanya terkekeh pelan, kemudian lekas menyusul sang istri keluar dari kamar mereka menuju meja makan. Sesampainya di meja makan, Celine langsung menceritakan kepada kedua mertuanya mengenai sang putra yang katanya sedang melamar Brianna. Mertuanya tentu saja terkejut, lebih tepatnya hanya Sally saja, sedangkan Jordhan sama seperti Morgan. Mereka terlihat santai seolah tak peduli dengan apa yang sedang dilakukan oleh Lucas saat ini. Setelah Celine menceritakan semuanya, Sally pun mengatakan kalau nanti dia akan menghubungi sang cucunya itu. Sally akan menanyakan langsung kepada Lucas, sebab ia juga ingin mendengar penjelasan dari lelaki itu. °°° London, UK,. Usai sarapan pagi bersama keluarganya Brianna pun berpamitan pada sang Mommy— bahwa ia akan bertemu dengan Lucas, sebab ada sesuatu hal yang harus mereka bahas. Brianna sengaja tidak memberitahu sang Mommy dan yang lainnya kalau tujuan utamanya ia keluar pagi ini adalah karena ingin bertemu dengan Arnes, sebab kalau mereka tahu mereka pasti akan melarang dirinya. Iya, meskipun sudah bertahun-tahun lamanya Brianna menjalin hubungan dengan Arnes, namun tak ada satupun dari keluarganya yang merestui hubungannya dengan pria itu. Entah apa alasannya mereka tidak menyukai Arnes— Brianna pun bingung. Padahal jika dipikir-pikir, menurut pandangan Brianna— Arnes adalah sosok yang tak kalah sempurna dari kandidat pilihan mereka yaitu Lucas. Arnes adalah sosok yang baik, penyayang dan lembut. Bahkan tak pernah sedikitpun Arnes menyakiti perasaannya. Arnes juga pria yang mapan sehingga keluarganya tak perlu mengkhawatirkan masa depannya bersama pria itu. Arnes adalah sosok pekerja keras. Itu yang Brianna tahu, namun sayangnya semua itu seakan tak ada arti di mata keluarganya, sebab mereka hanya menginginkan Lucas. Menginginkan Lucas? Mengingat fakta itu lagi kembali membuat Brianna merenggut kesal. Menurut Brianna— Lucas terlalu menyebalkan, bahkan sejak mereka kecil lelaki itu tak jarang membuatnya menangis. Lucas adalah sosok yang pemaksa, kasar dari segi ucapannya, namun tidak dengan perlakuan. Lucas memang terkenal sangat amat lembut ketika memperlakukan orang-orang tercinta termasuk dirinya sendiri. Namun kalimat-kalimat yang terlontar dari bibir pria itu tak jarang membuatnya sakit hati. Oleh sebab itu Brianna tidak pernah bermimpi sedikitpun kalau dirinya akan hidup bersama Lucas, bahkan seumur hidupnya. Mereka berjauhan saja pria itu selalu membuatnya stres, apalagi jika harus hidup seatap dan melihatnya selama 24 jam, sepertinya akan membuat Brianna gangguan mental. ° Cafe,. "Halo, Nes? Aku sudah di parkiran. Kamu sudah sampai?" tanya Brianna pada Arnes lewat panggilan telepon. Ia mengedarkan pandangan mencari kendaraan Arnes di sekitar sana, namun tak kunjung ditemukan. "Iya, aku sudah di dalam, kamu langsung masuk saja, meja nomor 8," jawab Arnes. "Oke, kalau begitu aku masuk sekarang," balas Brianna dan langsung mengakhiri panggilan dengan Arnes. Brianna menyimpan kembali ponsel dalam tas tangannya, kemudian mengunci otomatis kendaraannya. Brianna bergegas melangkah lebar memasuki Cafe. Setelah masuk, Brianna menghentikan langkah, ia menyapu pandangan mencari meja nomor 8 tempat Arnes menunggunya. Tak berselang lama ia melihat pria itu melambaikan tangan padanya. Brianna pun lanjut membuka langkah menghampiri Arnes di sana. Terlihat Arnes bangkit dari duduk menyambut sang kekasih. Arnes mengecup mesra kedua pipi Brianna seperti biasa. Iya setiap kali mereka bertemu, Brianna hanya mengizinkan Arnes mengecup pipinya saja, tidak dengan bibirnya, sehingga tak jarang Arnes melayangkan protes mengenai hal tersebut. Arnes mengatakan kalau pikiran Brianna terlalu kolot. Di jaman modern seperti ini, perempuan itu masih saja berpegang teguh pada prinsipnya— bersentuhan intim setelah menikah—. "Kamu sudah lama menunggu?" tanya Brianna setelah mendaratkan b****g di atas kursi. "Baru beberapa menit," jawab Arnes. "Mau pesankan sesuatu? Breakfast maybe?" tanya Arnes. Brianna menggeleng pelan. "Mungkin kopi saja, sebab aku sudah sarapan di Mansion," jawabnya. Arnes mengangguk pelan. Baiklah kalau begitu, aku akan pesan kopi favoritmu," ucap Arnes kemudian ia melambaikan tangan memanggil salah satu wetris disana. Tak berselang lama waitres itu datang menghampiri meja Arnes dan Brianna. Dan Arnes langsung memesankan yang diinginkan oleh sang kekasih. "Kau sendirian kemari atau kau diantar sama Michael?" tanya Arnes. Ia meraih tangan Brianna membawa menuju bibir dan mengecup mesra. "Aku sendirian," jawab Brianna. Ia mengulas senyum menerima perlakuan manis Arnes. "Terima kasih," ucap Brianna saat waitress itu menyuguhkan kopi pesanannya barusan. "Sama-sama Nona." Waitress itu membalas. Setelah tugasnya selesai, ia pun berpamitan. "Mereka pasti tidak tahu kalau kau bertemu denganku," Arnes menerka, sebab tidak biasanya Brianna diizinkan begitu saja oleh keluarganya. Brianna mengangguk pelan. Ia meraih cangkir di depannya membawa menuju bibir dan menyeruput kopinya, lalu menyimpan kembali di atas meja. "Iya, aku tidak memberitahu mereka kalau aku akan bertemu denganmu. Aku hanya tidak ingin ada keributan pagi-pagi begini," jawab Brianna. Arnes terdiam dan terus memandang lekat wajah kekasihnya. "Bagaimana kondisi perusahaan mu sekarang?" tanya Arnes tiba-tiba membahas Alexander's Corp. Sebelum menjawab, Brianna balas memandang lekat wajah Arnes. Tiba-tiba ia mengingat Lucas. Tepatnya penawaran pria itu. "Honey?" Panggil Arnes saat melihat Brianna terbengong. Perempuan itu tersentak kaget. Buru-buru Brianna menormalkan ekspresinya sambil berdehem pelan. "Ada masalah?" tanya Arnes, lagi. "Satu bulan ini hidupku memang penuh dengan masalah," jawab Brianna sarkas, namun nadanya terdengar pelan. Arnes mengangguk pelan. "Aku tahu … Maksudku, bagaimana perusahaanmu … Apakah orang tuamu sudah mendapat bantuan? Kalau misalkan belum, mungkin aku bisa diskusikan dengan Dad agar bisa membantumu." 'Kamu terlambat Arnes. Bahkan aku sudah menyanggupi penawaran Lucas, dan lagi pula aku juga tidak yakin Ayahmu mau membantu,' batin Brianna. "Hey, kau melamun lagi?" Arnes melentikan jari di depan wajah Brianna. Lagi-lagi perempuan itu terhenyak. "Tidak usah, Nes. Kebetulan perusahaan kami sudah mendapat bantuan," jawab Brianna. Arnes mengurutkan kening. "Bantuan? Dari siapa?" tanyanya penasaran. "Dari—," Praanggg! Bunyi benda berjatuhan sontak membuat Brianna menghentikan kalimatnya. Brianna dan Arnes kompak menoleh melihat kegaduhan di sana. Lebih tepatnya seorang waitress tidak sengaja menumpahkan kopi di meja salah satu pengunjung. Arnes menatap biasa saja kegaduhan yang terjadi, namun tidak dengan Brianna. Perempuan itu sontak membelalak kedua mata ketika mengedarkan pandangan dan melihat sosok itu menatap tajam padanya. 'Lucas?' batin Brianna ketika melihat Lucas duduk seorang diri di salah satu meja di sana. Demi Tuhan, rasanya Brianna mau mati. Dia seperti gadis yang sedang kepergok berselingkuh oleh kekasihnya. Lucas membenarkan letak hoodie-nya sambil terus menatap tajam pada Brianna. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan melangkah keluar dari Cafe itu. "Honey, kamu mau kemana. Hey!" Arnes menahan dan mencengkram lengan Brianna ketika perempuan itu tiba-tiba bangkit hendak mengejar Lucas. "Arnes, sebentar, aku ada urusan." Brianna berusaha melepas cengkraman Arnes di lengannya. "Tapi kita belum selesai, Brianna. Masih ada yang ingin aku bicarakan denganmu!" ujar Arnes sedikit meninggikan nadanya. "Lain kali kita lanjutkan. Aku ada urusan penting, aku tidak bisa menundanya. Please lepaskan aku, Arnes!" "Ada apa denganmu, huh?! Kau seperti ingin mengejar seseorang, Brianna!" "Aku bilang, LEPASKAN AKU!" bentak Brianna sangat kuat. Sehingga membuat hampir semua mata tertuju padanya dan Arnes. "Aku ada urusan dan ini menyangkut kelangsungan perusahaan keluargaku!" lanjutnya menggeram sambil menarik kasar lengannya dari cengkraman Arnes. Brianna kesal karena pria itu seolah-olah tak mau mengerti dirinya. Arnes berdiri mematung sambil mengepalkan kedua tangan menatap tajam pada Brianna yang sudah melenggang pergi. 'Kurang ajar! Ada apa sebenarnya. Aku yakin dia pasti sedang mengejar seseorang.' Monolog Arnes dalam hati. ° Sesampainya di luar, Brianna terus berlari. Bahkan ia tidak peduli lagi andai saja ia terpeleset. "Lucas!" teriak Brianna memanggil Lucas yang terus melangkah menuju mobilnya. "Lucas, tunggu!" akhirnya Brianna berhasil meraih lengan kekar pria itu. Lucas menoleh dan menatap tajam pada Briana, sehingga membuat perempuan itu lantas meneguk saliva susah payah. "Lucas, aku—," "Kau menghancurkan mood ku, Anna!" ucap Lucas. Nadanya pelan, namun tak ayal membuat Brianna semakin cemas. "Aku hanya—," Lagi-lagi Brianna tidak dapat melanjutkan kalimatnya karena Lucas terus memotong. "Kau melakukan kesalahan yang fatal! Kau membuatku kesal! Kau membuatku berkeinginan untuk mencekik dan mematahkan lehermu!" Brianna terdiam dan terus mendongak memandang Lucas dengan kedua mata berkaca-kaca. "Sekarang lepaskan aku dan menyingkirlah! Untuk kesepakatan kita, sebaiknya Kau lupakan saja! Aku tidak bersedia membantumu!" Deg! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD