Bab 10 Gosip Tetangga

1580 Words
“Zahra,” ucapku menyebutkan nama sembari menangkupkan tangan. Aku enggan menyambut tangan Natan. Tidak baik seorang wanita bukan muhrim, menatap pria lain. Senyum Natan mengembang di bibir tipisnya yang merah muda. Wajah tampan itu terlihat memancarkan aura. “Hem.” Mbak Melda mendehem saat memperhatikan Natan, yang menatapku dengan mencuri pandang. “Natan tolong kamu antarkan Zahra ke depan!” “Eh ... iya, Mbak.” Natan menjawab dengan gelagapan, saat ketahuan Mba Melda sedang memperhatikan kami. Mbak Melda hanya tersenyum kecil, sembari menggelengkan kepala. Dia pun beranjak melipir ke kamar, untuk mengganti pakaian anaknya yang akan berulang tahun. Aku mencium aroma parfum yang lembut dari tubuh Natan, saat berjalan di sampingnya. Pria itu mengantar sampai ke pintu depan. “Em ... kamu naik apa pulang, Zahra?” “Ojek online,” jawabku. Segera ku keluarkan ponsel dari dalam tas, untuk memesan taksi online. “Bagaimana kalau aku saja yang mengantar pulang.” Keningku seketika mengernyit, mendengar tawaran Natan yang bersedia memberi tumpangan pulang. Aku termenung lama. “Zahra!” Suara Natan membuyarkan lamunanku. “I—iya,” jawabku gugup. Berdekatan dengan Natan membuatku gugup. Ini untuk pertama kalinya, aku merasa akrab dengan seorang pria selain Mas Raja. “Melamun?” “Enggak kok,” jawabku berbohong. Natan tersenyum, sambil melipat kedua tangannya di d**a. “Dimana rumahmu? Biar ku antar kamu pulang. Aku juga akan sekalian pergi ke kantor.” “Gak usah, Natan. Biar aku pesan ojek online saja. Nanti merepotkanmu,” tolakku halus. Natan menghela napas berat. “Tak apa. Sekalian jalan aku akan mengantarmu pulang.” Natan masih bersikukuh untuk mengantar pulang. Membuatku tidak punya alasan untuk menolak keinginannya. Sepanjang perjalanan kami tidak saling berbicara, meski jarak antara kami berdua hanya setengah meter. Hanya sesekali aku menangkap dari ekor mata, kalau Natan memperhatikan. “Belok mana?” tanyanya ketika sudah berada di persimpangan. “Kanan.” “Kamu tinggal bersama siapa?” Tanyanya kemudian. “Nenek. Aku sedari kecil yatim piatu tidak punya orang tua,” jelasku. “Maaf, bukan maksudku ingin mengingatkanmu pada masa lalu.” “Tak apa.” Natan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan rendah. Suara musik yang melantunkan lagu sholawat, seakan membawa suasana romantis dan syahdu. Sekitar sepuluh menit dari arah simpang masuk desa, kami pun tiba di depan rumah nenek. Mobil berhenti tepat di halaman rumah. Natan dengan cepat membukakan pintu mobil untukku. Dari kejauhan aku melihat para tetangga bergosip. Entah apa yang mereka cibirkan, tetapi samar terdengar kata dari mereka, yang membuat hati ini teriris. “Perempuan zaman sekarang mudah banget kena rayuan lelaki. Apalagi kalau lelaki hidung belang.” Tetangga sebelah nenek mencibir. Suaranya yang khas lelaki seakan menyindir. “Biasalah, Ce. Namanya anak zaman now, pergaulannya bebas. Bahkan ada yang sampai hamil di luar nikah,” sela ibu muda berbaju daster menimpali. Dada ini terasa sesak, mendengar cibiran para tetangga. Mereka hanya melihat, dan menilai dari luar. Para tetangga bergosip ria, membicarakan karena aku hamil tanpa suami. Padahal yang mereka lihat tidak seburuk apa yang dipikirkan. “Maaf, Natan. Sebaiknya kamu pulang saja! Aku tidak enak melihat para tetangga menggosipkan kita berdua,” ucapku sembari turun dari mobil. “Baiklah, Zahra. Aku mengerti perasaanmu. Maaf jika kehadiranku membuatmu tidak nyaman.” Aku mengangguk tidak enak pada lelaki itu, yang sudah mengantar sampai rumah dengan selamat. Natan kemudian masuk ke dalam mobil, dan memutar arah. Dia menekan tombol klakson, sebelum akhirnya menutup kaca mobil, dan segera berlalu dari hadapanku. Aku melihat senyumnya yang membentuk garis lengkung di wajah. Lesung pipi yang mirip penyanyi Afgan, membuat dia terlihat sangat tampan. Natan mengangguk, sebelum akhirnya dia melajukan mobil, dan menutup kaca jendela. Para ibu-ibu yang bergosip tadi masih mengobrol, dengan kata-kata sindiran pedas. Aku segera masuk dalam rumah, dan membaringkan badan di ranjang kayu milik nenek. Tempat tidur yang hanya beralaskan tikar pandan, dan tilam tipis yang sudah usang. Hati terasa perih. Sesak menghimpit hingga menyebabkan sulit bernapas. Kuusap perut yang masih rata, dan berbicara pada janin yang ada di dalamnya. “Sabar, Nak! Kita pasti kuat melalui ini semua bersama,” ucapku sembari mengelus perut. Aku tak pernah membayangkan, jika Mas Raja akan berbagi kasih dengan wanita lain, dan mencampakkan hanya karena satu alasan. Aku memang bodoh terlalu percaya dengan ucapannya. Tak pernah terlintas dalam benak ini, kalau semua akan terjadi. Nasibku sungguh miris bukan? Kupukul d**a berkali-kali, untuk mengurangi rasa sesak di dalamnya. Suara notifikasi dari w******p mengejutkan. Kuraih ponsel dari dalam tas dan membuka isi pesan. “Ini nomorku, Zahra.” Natan. Pesan dari Natan yang disertai stiker tersenyum. “Maaf, aku dapat nomor kamu dari Mbak Melda.” Tidak ku balas pesan Natan, namun aku memilih untuk membuka f*******:. Di beranda melintas postingan Mas Raja, bersama pacar barunya yang tak lain adalah adik Natan. Lelaki itu memakai seragam polisi, dan Giska memakai gaun sedang mengadakan foto pre wedding. Sudah kucoba untuk tidak menangis, saat melihat dia berdampingan dengan gadis lain. Namun, tetap saja aku terluka. Disaat wanita hamil ingin dimanja-manja, dengan pasangannya menyambut kelahiran buah cinta, dan rasa senang, aku malah sendirian. Berbeda denganku yang hanya sendiri, dalam membesarkan buah hati. Anakku akan lahir tanpa kasih sayang seorang ayah. Ya Allah ... kuatkanlah hati ini, agar aku bisa tegar, dan melewati setiap ujian. Kulewati postingan Mas Raja bersama kekasih barunya. Pandanganku tertuju saat menemukan story Regan, yang menceritakan isi curhatan hati. Dia mengunggah cerita yang berisi tentang seorang wanita idaman. Entah mengapa aku merasa, dia sedang membicarakanku. Dalam caption Regan menandai, inisial wanita yang dia sebutkan berawal huruf Z. “Zahra! Panggil nenek. Nenek sudah berdiri diambang pintu kamar, sembari memakai mukena. Dia akan melaksanakan salat asar “Iya, Nek.” “Salat asar dulu, Nduk. Jangan tidur, nanti kamu ketinggalan waktu,” ucapnya. Aku mengangguk, dan segera bangkit dari ranjang. Betul apa kata nenek, dalam setiap luka, dan air mata, Allah selalu hadir memberi jalan keluar. Sakit dan penderitaan, Allah hadirkan agar kita mengerti arti tertawa, dan bahagia. Tuhan juga menakdirkan perpisahan, pasti juga akan mendatangkan pertemuan. Kuhamparkan sajadah panjang, lalu melaksanakan salat. Seperti biasa aku akan membantu nenek, pergi ke pasar untuk berjualan sayur. Sebelum membuat kue donat, dan mengantar pesanan kepada pelanggan. “Siapa itu, Nek Rodiah?” tanya seorang pembeli yang sedari tadi mengamati. Sudah menjadi kebiasaan para pembeli yang kepo, akan kehidupanku dan Nenek Rodiah. Selama ini mereka mengenal wanita itu hanya sebatang kara. “Cucu saya, Bu,” jawab nenek sembari tersenyum. “O ... cucu,” sahut ibu pembeli tadi. Perempuan separuh baya yang mengenakan kaca mata minus itu, hanya tersenyum tipis saat nenek menjelaskan identitasku. Sejak kehadiranku di rumah nenek, dan membantunya berjualan, para tetangga selalu bergosip, dan mencibir wanita sepuh itu. Aku merasa bersalah karena sudah menjadi beban nenek. “Wes, ojo diambil pusing, Nduk! Nenek, gak mau kamu kepikiran dengan perkataan mereka. Biarkan saja mereka bergosip tentang kita. Asalkan kita tidak ngibah mereka. Gusti Allah tau apa yang ada dalam pikiran setiap hambanya,” terang nenek. Seakan tau isi hatiku, nenek menghibur sembari mengelus pundak pelan. Aku mengangguk. “Iya, Nek.” Masih banyak orang yang berpikir negatif, tentang kondisiku sekarang yang hamil, tanpa didampingi suami. Haruskah aku katakan pada mereka, jika suami adalah seorang perwira polisi? Mustahil mereka akan percaya. Mereka pasti akan menganggapku sudah gila, karena berkhayal sudah terlalu tinggi. Dagangan nenek sudah habis semua. Kami pun beranjak pulang. Sebelum pulang nenek mengajakku, untuk membeli keperluan dapur. “Nek, kita mau ke mana?” tanyaku. “Nenek, mau beli ikan buat lauk kita nanti di rumah. Kamu harus banyak makan, makanan bergizi biar bayimu sehat, Nduk.” “Kita mau beli apa, Nek?” tanyaku lagi. “Nenek, sudah pesan udang, ikan dan kepiting untukmu, Nduk. Kamu nanti makan yang banyak ya?” “Iya, Nek.” Baru kali ini aku merasakan kasih sayang nenek, seperti seorang ibu. Meskipun aku bukanlah cucu kandung Nenek Rodiah, namun cinta, dan kasih sayangnya bisa kurasakan begitu tulus. Selesai membeli kebutuhan, kami pun segera beranjak pulang. Kami melewati para pedagang, saat menyusuri jalan pulang keluar pasar. Sampai di rumah kuletakkan keranjang yang berisi barang belanjaan. Nenek membersihkan udang, dan kepiting yang tadi kami beli dari pasar. Selesai memasak aku membuat adonan kue donat. Pesanan donat untuk hari ini lumayan banyak. Sepertinya rezeki si kecil, makin hari makin bertambah. Dengan begitu aku bisa menabung, untuk membeli keperluan, perlengkapan melahirkan. Usaha takkan pernah mengkhianati hasil. Aku berjuang dari nol, sampai dengan modal yang kecil, akhirnya usaha yang dirintis ini, dari hari ke hari merangkak naik. Selesai mempacking donat, segera disusun kue ke dalam box transparan. Pesanan siap diantarkan pada pelanggan. Hari-hari selalu aku jalani dengan rasa bahagia, tanpa terasa kandunganku sudah memasuki bulan keempat. Masa mual,dan muntah sudah tidak lagi kurasakan sekarang. Cibiran demi cibiran pun dari para tetangga masih pedas didengar. “Neng Zahra, sudah hamil berapa bulan? Kok, suaminya gak pernah datang menjenguk?” tanya tetangga sebelah depan. Tetangga nenek yang satu ini selalu rajin bertanya, dan kepo dengan kehidupanku. “Jalan empat bulan, Mbak,” sahutku. “Suaminya mana, Neng! Kok gak pernah datang dimari?” tanyanya lagi. Aku menghela napas panjang, dan membuangnya perlahan. Disini kesabaran harus diuji tingkat dewa. Tidak semua orang bisa menilai dengan positif. Ambil hikmahnya, dan nikmati prosesnya. “Suamiku lagi bertugas keluar kota, Mbak. Belum bisa pulang untuk saat ini,” tukasku. Harus sabar menghadapi para tetangga, yang selalu bertanya ini, dan itu. Kupercepat langkah saat keluar dari rumah nenek. Tidak ingin berdebat dengan tetangga kiri kanan, aku pun berusaha menghindari pertanyaan mereka, sebisa mungkin bersikap santai tentang suamiku. * Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD