"Hamil?!" tanganku dengan gemetar memegang benda pipih, yang terpampang garis dua.
Kupejamkan mata, saat melintas bayangan Mas Raja--bapak dari calon anakku. Perlahan wajah ini banjir air mata. Aku menangis tanpa suara, setelah melihat tespek yang menyatakan hamil, ada perasaan nyeri di d**a.
Kuusap perut yang masih rata. Di sana bersemayam benih cinta melalui sentuhan, atau yang lebih tepatnya benih satu malam. Aku bergeming sesaat, sejak pergi dari rumah kedua orang tua--Mas Raja, diri ini sudah siap dengan konsekuensi yang akan terjadi. Termasuk memikirkan anak dalam kandungan, yang akan lahir tanpa kehadiran sang ayah disisinya.
Suara ucapan salam dari luar menyadarkanku dari lamunan. Nenek Rodiah pulang menjinjing keranjang sayur. Terlihat senyum mengembang setelah dia memasuki rumah.
"Assalamualaikum," ucap nenek.
Wanita yang masih terlihat segar tersebut, berdiri di depan pintu. Meski usia sudah di atas lima puluh tahun. Namun, Nenek Rodiah masih terlihat kuat, dan segar. Tidak kebanyakan seperti seumurannya.
"Waalaikumsalam." Kubuka pintu, dan menyambut kedatangan nenek.
Tak lama kemudian nenek masuk, lalu menyandarkan tubuh rentanya di atas bale-bale bambu. Wanita yang hidup selama enam puluh tahunan tersebut menghela nafas. Sejenak ekor matanya melirik tespek yang terletak di lantai tanah.
Aku lupa membuang benda pipih itu, sehabis mengetahui hasilnya. Pandangan kami bertemu dalam sepersekian detik. Kemudian dia tersenyum ke arahku dengan wajah sedikit lelah. Aku gugup, tidak bisa menyembunyikan kehamilan pada nenek.
"Kamu hamil, Nduk?" tanya nenek sembari membenahi posisi duduknya.
Kaki jenjangnya diselonjorkan di atas bale-bale bambu. Wajahnya sedikit lelah, dan kurang istirahat, tetapi sedikit pun dia tidak mengeluh.
Aku mengangguk pelan, nyaris suara ini tidak kedengaran.
"Iya, Nek."
"Sudah jangan terlalu capek nanti bisa berakibat buruk untuk kesehatan bayimu. Jangan juga banyak pikiran nanti bisa keguguran."
"Aku takut orang akan mengejekku dengan mengatakan anak ini anak haram, Nek."
"Gak usah pikirkan ucapan orang lain, Nduk. Mereka hanya tahu menghina tapi tidak tahu siapa asal usul kita. Biarkan saja apa kata tetangga yang penting kita tidak berbuat hina."
"Aku harus berbuat apa, Nek? Semua mata memandangku jijik dengan cibiran. Padahal apa yang dipikirkan tak seburuk dengan yang aku lakukan. Anak ini bukan hasil zina ataupun tidak punya Bapak. Hanya saja ayahnya tidak tahu aku hamil."
Nenek tahu kalau suamiku seorang perwira polisi. Mas Raja juga tidak tahu, ada benih yang tinggal di rahim ini. Lagi pula aku tahu, jika nenek tidak akan berpikir hal buruk tentang bayi dalam kandunganku. Benih di rahim adalah murni anak dari mantan suami, yang sudah tidak bersama lagi. Haruskah aku meminta tanggung jawabnya? Mustahil.
Aku mengalihkan pandangan ke arah jendela kayu, kusennya sudah mulai keropos. Di depan terhampar pemandangan perkebunan sawah sepetak, yang ditanami aneka palawija. Nenek memang rajin dalam berkebun, dan mengerjakan ladang. Dia bisa menyulap kebun itu, menjadi tanaman yang menghasilkan uang.
Satu hari setelah tiba di rumah nenek, aku menceritakan kisah pernikahan dengan seorang anak pengusaha kaya. Wanita sepuh itu hanya mendengarkan saja cerita hidupku, yang sedang terjadi begitu tragis. Lelaki yang baru beberapa jam menjadi suami, kini sudah mantan.
Pernikahan dengan Mas Raja, keluarga terpandang, dan kaya raya. Namun, sayang kami menikah hanya beberapa jam saja. Dalam hitungan menit pula, statusku berubah menjadi janda.. Sungguh miris bukan?
Alasan yang tidak masuk akal menurut logika. Yah, itulah kenyataannya yang aku alami. Sepertinya itu hanya akal-akalan saja, agar Mas Raja bisa bebas. Ada sesuatu di matanya yang disembunyikan. Entahlah aku juga tidak tahu. Tak ingin juga berprasangka buruk padanya, biarlah waktu yang akan menjawab semua itu.
"Nenek, senang kalau kamu hamil. Kita akan merawat bayi itu secara bersama-sama." Aku menoleh.
"Aku takut, Nek. Orang akan memandangku buruk karena hamil tanpa suami yang mendampingi," sahutku cepat.
Nenek menarik nafas berat. Sepertinya wanita sepuh itu sudah mempertimbangkan sebelumnya, kehadiranku disini bersama calon buah hati. Wanita itu masih bergeming, menatap dengan sorotan yang tak bisa kuartikan.
"Hem … Nenek tahu perasaanmu, Nduk," ucap Nenek dengan ekspresi sedih.
Wanita tua itu ikut bersedih, melihatku yang sebatang kara dalam kesulitan. Bukan hal yang mudah menghadapi semua ini sendirian. Andai aku punya orang tua, sudah pasti tidak akan serumit ini menjalankan hidup.
Aku menunduk. Tidak tahu harus berkata apa, pada perempuan tua itu, yang sudah baik mau menampung di rumah ini. Jika tidak ketemu dengan wanita hebat seperti nenek, mungkin aku sudah menjadi gembel sekarang.
Membayangkan warga kampung, akan memikirkan hal buruk tentang kehamilanku, membuat d**a terasa sesak. Mereka pasti akan berpikiran yang bukan-bukan tentang statusku.
Tidak tahu asal-usul, tetapi mengetahui diri ini hamil. Meskipun masih menyimpan buku pernikahan dan foto akad nikah, tidak semua masyarakat merespon dengan positif, aku punya suami atau tidak.
"Anugrah gusti Allah jangan ditolak, Nduk. Dan jangan disia-siakan." Nenek memberiku nasehat betuah.
Wanita yang sudah banyak makan asam, garam, tersebut memberikan penyemangat hidup, agar tidak putus asa, dan masih ada Allah bersamaku. Selagi kita tidak berbuat jahat jangan takut akan dizalimi.
Aku melihat galeri di ponsel, dan membuka semua kenangan yang ada di sana. Memandangi foto-foto pernikahan, memakai gaun pengantin putih. Tak ingin keluarga Mas Raja menghubungi, lantas nomor ku ganti. Cukup sudah hubungan ini dengan keluarga-Erlangga berakhir, sampai aku memutuskan untuk menjauh dari sana.
Membiarkan sesuatu berjalan dengan sendirinya, hal yang membuatku khawatir. Bagaimana nanti kalau anak ini lahir, dan bisa bicara menanyakan siapa bapaknya? Apa yang harus aku jawab? Haruskah menjawab, kalau dia lahir kedunia karena kesalahan? Tidak mungkin.
Sakitnya tuh di sini. Hati ini tak bisa diobati, walaupun sudah mencoba memaafkan. Apalah daya, tetap saja aku membenci Mas Raja, yang sudah meninggalkan noda.
Dulu, masa pacaran jarak jauh sikap Mas Raja begitu manis, dan perhatian. Dia pemuda yang terkenal romantis, dan humoris. Hal sekecil apa pun akan dia ingatkan seperti makan, mandi, salat, dan menjaga kesehatan. Semua tidak lepas dari perhatiannya.
Hampir setiap hari dia mengirimkan pesan mesra, yang membuat hati ini berbunga-bunga. Seakan aku wanita paling beruntung di dunia, karena mempunyai kekasih perhatian.
Hubungan jarak jauh tidak membuat kami saling hilang kontak. Jika rindu, lelaki itu akan melakukan video call. Dari dalam asrama tempatnya bertugas. Sikap Mas Raja tidak menunjukkan k********r sedikit pun.
"Zahra Amelia, terima cintaku! Aku akan menjagamu selamanya sampai akhir hayatku." Kata-kata manis itu kembali terngiang di telinga ini.
Air mata jatuh menitik, saat mengingat janji manis yang diucapkan dulu. Untuk pertama kalinya, aku percaya dengan rayuan yang dia ucapkan. Bagiku, Mas Raja adalah sandaran hidup tempat hati berlabuh. Namun, kejadiannya sungguh menyedihkan. Aku dibuang, setelah menyerahkan harga diri yang paling berharga.
"Nduk," panggil Nenek. "Kok malah melamun?"
"Eh ... iya, Nek. Maaf aku tidak mendengar Nenek memanggil."
Nenek tersenyum menggelengkan kepala. Dia kemudian berlalu ke arah dapur, dan meletakkan keranjang sayur di sana. Meninggalkan aku yang masih dalam keadaan termenung. Sedih memikirkan keadaan anak yang lahir tanpa ayah.
Mungkin nenek lapar, dan akan mengisi perutnya. Kebiasaan itu selalu nenek lakukan sehabis berjualan. Dia akan makan di rumah, setelah pulang dari pasar. Aku sudah menyiapkan makanan di atas meja. Nasi liwet, ikan asin bakar, sambal terasi, dan juga rebusan daun singkong.
Bukan masakan istimewa, namun bisa mengisi perut yang keroncongan. Aku dan nenek makan sehari-hari hanya apa adanya. Menikmati hidup, dan mensyukuri karunia Allah.
Selesai makan nenek memanggilku ke dapur, dia terlihat serius menatap.
"Zahra!" panggil Nenek.
Aku menghampirinya.
"Iya, Nek."
"Ini buatmu."
Nenek membuka buntelan dalam selendangnya, dan mengambil benda berbentuk silinder. Sebuah lipstik merah muda dia berikan padaku.
Mulutku ternganga, dan membentuk huruf o. Aku tidak menyangka, nenek membelikan lipstik. Sebuah alat pemerah bibir, warna merah muda yang sangat cantik.
"Lipstik?"
Nenek tersenyum hangat.
"Nenek, membelinya waktu di pasar. Nenek melihat seorang gadis memakai warna ini terlihat cantik lalu Nenek membelinya untukmu."
"Uangnya, kan sayang buat beli lipstik Nek. Mendingan ditabung atau buat keperluan lainnya."
"Ndak apa, Nduk. Nenek ingin kamu dandan agar terlihat cantik. Biar banyak pemuda sini yang melirik," ujarnya.
Aku terharu mendengar ucapan Nenek. Padahal uang hasil sayurannya hanya lima puluh ribu tiap hari. Namun, dengan rela wanita tua itu memberikan hadiah, atas jasa membantunya selama ini. Sungguh semua ikhlas kulakukan, membantu tanpa imbalan apa pun.
"Makasih, Nek," ucapku memeluknya.
Nenek mengusap kepalaku dengan lembut. Senyum manisnya mengembang di bibir tipis itu.
"Iya, Nduk."
Wanita berambut putih itu kemudian berlalu keluar menuju kebun. Aku menyimpan benda pemberian nenek. Harganya hanya sekitar dua puluh ribuan saja, tetapi bagiku itu sebuah kado yang istimewa.
Itu berarti nenek sudah mengorbankan hasil jerih payahnya, untuk memberi hadiah meski harganya tidak mahal. Sungguh mulia hati nenek. Dia memberikan kado terindah, dan luar biasa.
"Terima kasih, Nek," batinku.
***
Bersambung.