Matahari tak bersinar hari ini. Hujan sejak pagi mengguyur Southville, sehingga sebagian orang lebih senang menghabiskan waktu di dalam rumah. Kecuali Adam. Sejak pagi pemuda itu sudah berkutat di belakang mesin kasir di sebuah restoran cepat saji. Well, sebenarnya restoran ini satu-satunya menyediakan makanan cepat saji di Southville. Pemiliknya adalah penduduk setempat yang sering dipanggil Mr. Hulk. Badan Mr. Hulk memang besar sehingga semua penduduk memanggilnya demikian. Entah siapa nama aslinya, Adam tidak tahu. Karena memang tak ada yang memanggil Mr. Hulk dengan nama aslinya itu.
"Sangat membosankan."
Patrick Smith, salah seorang rekan kerja adam, mengeluh untuk yang ketiga kalinya. Patrick tidak terlalu menyukai keadaan restoran yang sedikit sepi seperti sekarang. Ia menyukai keadaan restoran yang ramai. Tentu saja karena tip yang lumayan dari para konsumen, selain bonus dari Mr. Hulk.
"Saat hujan seperti ini aku sangat merindukan kamar dan ranjangku."
Adam mengangkat wajah, menatap Patrick yang berdiri di depannya dengan siku bertumpu pada meja kasir. Kedua sudut bibir Adam terangkat secara otomatis melihat raut wajah Patrick yang memelas. Sungguh sangat lucu saat melihat seorang yang sudah dewasa, dalam artian bukan lagi anak kecil, cemberut. Apalagi seorang laki-laki yang cemberut itu. Patrick memang terkenal tukang tidur, tapi entah bagaimana caranya ia bisa bekerja di sini.
"Kau bisa berkencan kembali dengan ranjangmu setelah jam kerjamu habis, Patrick."
Patrick mengerang. Ia sangat ingin pulang sekarang. Patrick mencondongkan tubuhnya ke arah Adam. Meminta Adam mendekat dengan gerakan tangannya.
"Adam, maukah kau bertukar shift denganku?" tanyanya berbisik.
Adam menegakkan tubuh, menggeleng cepat menolak ide Patrick.
Patrick kembali mengerang, merebahkan kepala di meja kasir.
"Kita tidak bisa bertukar, dude. Waktu kerja kita selalu sama."
"Oh ayolah, Adam. Beri aku sedikit kelonggaran," erang Patrick. Kepalanya sekarang menelungkup di meja kasir.
Adam menjauhkan kepala Patrick dari meja kasir yang dijaganya. Ia tidak mau mejanya kotor terkena air liur Patrick.
"Menjauh dari meja kasirku!" sentak Adam.
Patrick mengangkat kepala, memutar bola matanya jengah. Adam memang selalu seperti itu saat ia berada di belakang meja kasir. Ia akan bertindak seolah meja itu miliknya.
"Sebaiknya aku melayani pelanggan." Patrick memutar tubuh dan melangkah menjauhi Adam. Tapi Beru dua langkah, pemuda itu berhenti, menoleh pada Adam yang terlihat menahan tawa. "Pelanggan tidak ada, jadi siapa yang harus aku layani?" tanyanya dengan muka menekuk.
Adam tak lagi dapat menahan tawanya. Wajah tampan Patrick terlihat sangat lucu saat cemberut.
"Berhenti tertawa! Kau sangat tidak lucu!" bentak Patrick, kembali melangkah ke depan meja kasir yang dihuni oleh Adam.
"Aku tidak mengatakan kalau diriku lucu, Patrick." Adam masih saja tertawa. "Justru kau yang lucu, karena aku menertawakanmu."
"Sialan kau!" Patrick membelalakkan mata birunya pada Adam.
Tapi bukannya takut, Adam malah semakin tertawa. Patrick bertubuh gempal dan wajahnya imut dengan pipi kemerahan, mengingatkan Adam pada pipi Alicia. Patrick juga berteman akrab dengan Alicia. Patrick itu seperti seorang kakak laki-laki bagi Alicia. Dan Patrick sangat tahu kelemahannya. Kalau tawanya tak berhenti sebentar lagi, Patrick pasti akan melancarkan serangan terakhirnya.
"Akan kuadukan kau pada Alicia!" ancam Patrick dengan mata masih melotot.
See? Adam menggeleng pelan, kedua tangannya terangkat ke atas seolah menyerah.
"Well, kau memang sangat tahu kelemahanku, dude." Adam menggelengkan pelan. Kedua tangannya masih terangkat.
Patrick menatap Adam dengan dagu terangkat angkuh. "Kau tahu, Alicia lebih menyayangiku daripada kau. Kau kan tahu kalau aku adalah kakak laki-lakinya. Jadi, bersikap baik lah padaku atau aku tidak akan merestui hubunganmu dengan adikku!"
"Iya, calon kakak ipar." Adam mengangguk patuh. Dalam hati mati-matian menahan diri agar tidak tertawa. Adam bahkan sampai memegangi perutnya menahan geli.
Suara pintu yang dibuka membuat perhatian kedua pemuda itu teralihkan. Mereka sama-sama menoleh ke arah pintu. Tampak seorang pria berkacamata masuki restoran. Pria yang datang seorang diri itu duduk di meja di tengah ruangan. Seluruh pakaiannya tampak kering, padahal hujan di luar sana masih selebar tadi pagi. Adam dan Patrick menengok ke tempat parkir restoran. Sebuah mobil yang terlihat mahal terparkir di sana. Mobil milik pelanggan yang duduk di tengah ruangan itu.
"Pelanggan," bisik Jordan sambil mendorong bahu Patrick.
Patrick membelalak pada Adam, tak terima tubuhnya didorong pemuda itu. Tapi ia tetap menghampiri pria yang sedang menarikan jari di layar tabletnya itu.
"Selamat siang, apakah Anda ingin memesan?" tanya Patrick ramah.
Pria itu mengangkat wajah dan tersenyum pada pelayan gendut di depannya. Membetulkan letak kacamatanya dan mengangguk.
"Bawakan aku menu andalan kalian," pinta pria itu.
"Tentu saja." Patrick balas tersenyum. "Pesanan Anda akan segera siap," ucapnya sebelum meninggalkan meja pria berkacamata dan kembali kedepan Adam. Menyerahkan kertas memo berisi pesanan si pria berkacamata.
Alia Adam berkerut membacanya tulisan itu. "Pria itu memesan menu andalan restoran kita?" tanyanya berbisik.
Patrick mengangguk. Senyum lebar menghiasi pipinya yang sebulat roti burger.
"Cepat bawakan!" pintanya.
Adam mengangkat bahu. "Baiklah," ucapnya kemudian menekan bel yang berada di pintu di belakangnya dan memberikan kertas memo pada seorang karyawan yang keluar dari sana.
"Adam, cepat ke sini!"
Melihat Patrick melambai padanya, Adam melangkah malas mendekati pemuda itu yang kembali menumpukan siku di meja kasir.
"Ada apa?" tanya Adam.
"Lihatlah pria itu!" Patrick menunjuk pria berkacamata yang menjadi pelanggan mereka setelah pria itu memasuki pintu restoran dan duduk di salah satu meja. "Menurutku pria itu bukan penduduk sini, aku baru pertama ini melihatnya," jelas Patrick berbisik.
Adam memicing, menajamkan penglihatan, mengikuti arah yang ditunjuk Patrick. Dan Adam mengangguk membenarkan, pria berkacamata dan berambut pirang kecokelatan itu bukan penduduk Southville. Ia tidak pernah melihatnya sebelum ini.
"Kurasa kau benar," sahut Adam berbisik juga. Pemuda itu mengangguk lagi. "Aku juga pertama ini melihatnya."
"Menurutmu pria itu dari kota besar semacam New York atau Los Angeles?" tanya Patrick. Mata birunya bersinar penasaran.
"Yeah, mungkin saja," jawab Adam malas. Ia tidak terlalu suka membicarakan seseorang alias menggosip. Adam lebih suka membicarakan dirinya sendiri. Membicarakan kekurangan dan kelebihannya, agar ia bisa memperbaiki bagian yang kurang itu dari dirinya. Adam adalah pemuda yang selalu optimis. "Aku tidak tahu tentang itu."
"Sepertinya dia orang kaya," bisik Patrick lagi tanpa melihat Adam, namun Patrick yakin suaranya pasti masih dapat didengar oleh pemuda itu. Pendengaran Adam itu tajam.
Adam mengangkat bahu, tidak tertarik dengan pokok bahasan Patrick. "Entahlah, mungkin."
Patrick menoleh ke belakang, menatap wajah tampan Adam yang tak menatapnya melalui bahunya. Adam melihat ke bawah, entah apa yang dilakukannya. Patrick berdecak kesal menyadari kalau sejak tadi ia seolah berbicara sendiri.
"Astaga, jadi kau tidak menanggapiku sejak tadi?" tanya Patrick kesal.
Adam mengangkat kepala. "Apa maksudmu?" tanyanya balik. Mata birunya mengerjap.
Patrick memutar bola mata bosan. Ia sudah tahu bagaimana sifat Adam, jadi tak seharusnya ia merasa kesal ketika Adam tidak menanggapinya. Patrick mendengus, membuang tatapan ke arah pria berkacamata yang ternyata juga sedang menatapnya. Atau menatap mereka. Atau menatap Adam lebih tepatnya. Karena ketika Patrick sedikit menjauh untuk menguji fokus pria berkacamata itu, tatapan pria itu tak berpindah. Tetap tertuju pada satu arah. Fix, pria itu menatap sahabatnya. Patrick kembali menoleh, dan kembali kesal karena Adam ternyata sudah menundukkan kepalanya lagi.
"Hei, Adam, coba lihat! Pria itu sedang melihat ke arahmu." Patrick masih berbisik, tapi kali ini tanpa menatap Adam. Tatapan Patrick tertuju pada pria berkacamata yang tersenyum dan melambai pada mereka.
Adam mengangkat kepala. Tawa pelan keluar dari mulutnya. Pria itu melambai ke arah mereka. Memanggil Patrick. Pria itu mungkin perlu makanan tambahan. Karena dilihat dari ia berdiri sekarang, makanan di meja pria itu yang tadi diantarkan oleh rekannya yang lain -karena Patrick terus saja mengobrol dengannya- sudah habis. Hanya tersisa minuman dingin yang dirasanya tak lagi penuh.
"Kau tidak ingin menghampirinya?" tanya Adam heran. "Pria itu memanggilmu, Patrick!"
"Oh ya, benarkah?" tanya Patrick kesal. Ia tak percaya dengan apa yang dikatakan Adam. Karena ia rasa pria itu tidak memanggilnya, melainkan memanggil Adam. "Pria itu tidak memanggilmu?"
"Kenapa harus aku?" Adam bertanya heran. "Yang pelayan kan kau bukan aku. Hei, Patrick, aku ini penjaga mesin kasir," bisik Adam tepat di telinga Patrick.
Patrick bergidik. Adam meniup telinganya. "Sialan kau!" maki Patrick kesal sambil tangan mengusap telinganya.
Tak menghiraukan makian Patrick, Adam hanya tertawa kecil. Mendorong-dorong bahu temannya itu agar segera menghampiri pelanggan satu-satunya mereka saat ini. Karena hujan masih saja deras seperti tadi pagi, restoran cepat saji tempat mereka bekerja baru mendapatkan pelanggan beberapa. Termasuk pria berkacamata itu.
Dengan malas karena masih kesal dengan Adam, Patrick melangkah ke arah pria berkacamata.
"Ada yang bisa saya bantu lagi, Sir? Apakah Anda ingin memesan lagi?" tanya Patrick dengan senyum ramah menghiasi wajah bulatnya.
"Tidak." Pria berkacamata menggeleng. "Sebenarnya aku hanya ingin bertanya, tentang temanmu itu," ucap si pria berkacamata, telunjuk tangan kanannya yang telah bersih dari saos mustard mengarah pada Adam yang kembali tertunduk.
"Adam maksud Anda?" tanya Patrick lagi. Kesan bingung sangat kentara dalam pertanyaannya.
"Jadi namanya Adam?"
Patrick mengembuskan napas melalui mulut selembut mungkin, agar tidak ketahuan kalau ia tengah kesal. Si pria berkacamata bukannya menjawab malah balik bertanya. Seandainya bukan pelanggan, ia pasti sudah akan menendang b****g pria itu. Berhubung pria itu saat ini menjadi pelanggan restoran, Patrick hanya bisa mengangguk.
"Apa dia temanmu?"
"Huh?"
"Maksudku, apa kau sangat mengenalnya?" Pria itu meralat perkataannya melihat wajah Patrick yang kebingungan. "Apa kalian dekat? Bersahabat, mungkin?"
Ingin ia memutar bola mata mendengar pertanyaan itu, tapi Patrick tak bisa melakukannya. Apakah pria ini tak melihat mereka sedang mengobrol tadi? Apakah itu tidak menunjukkan kedekatan mereka? Patrick mengembuskan napas pelan. Pelanggan adalah raja.
"Kami dekat dan bersahabat," jawab Patrick seadanya.
"Owh, I see." Pria itu mengangguk. Mengulurkan tangan pada Patrick sambil menyebutkan namanya. "Aku Allan Hank, seorang pencari bakat dari Los Angeles."
Mata biru Patrick terbelalak lebar. Ia benar, pria ini dari kota besar. Los Angeles adalah kota yang sangat ingin dikunjunginya. Patrick menyambut uluran tangan pria itu dengan tangan gemetar.
"Bisakah aku bicara dengan temanmu itu?" tanya pria berkacamata melepas jabat tangannya.
Patrick tak menjawab, hanya kepalanya yang bergerak ke atas dan ke bawah berulang-ulang selama beberapa detik.
"Maukah kau memanggilkan temanmu itu agar aku bisa bicara dengannya?"
Patrick tetap mengangguk. Tanpa bersuara berbalik dan menghampiri Adam tergesa.
"Adam..."
Adam yang sedang membalas pesan dari Alicia mengangkat wajah. Alisnya berkerut melihat Patrick yang gemetar. Suara Patrick saat memanggilnya tadi juga terdengar bergetar. Ada apa? Apa ada sesuatu yang salah?
"Ada apa?" tanya Adam bingung.
"Adam..."
"Iya, Patrick. Ada apa?"
"Adam..."
Sekali lagi Patrick memanggil namanya. Adam memutar bola mata kesal. Patrick sangat menyebalkan saat sedang gugup seperti sekarang.
"Aku tidak peduli!" Adam mendengus, kembali memfokuskan tatapan pada layar ponselnya yang menampilkan sebuah pesan dari Alicia.
Patrick mengguncang lengan Adam kemudian menariknya gemas. Patrick juga kesal, kenapa Adam tidak peka.
"Berhenti menggangguku karena aku sedang sibuk, Patrick!" Adam menyentakkan tangan. Dilihat dari wajahnya yang menekuk, sangat kentara kalau Adam sedang kesal.
"Aku tidak mengganggumu, bro!" Patrick membela diri. "Hanya saja pria itu ingin berbicara denganmu!"
Adam kembali menatap Patrick. "Apa maksudmu?" tanyanya bingung dengan alis berkerut.
Patrick mengangguk. Sekarang wajah bulat tembemnya berbinar.
"Pria itu!" Patrick menunjuk pria berkacamata yang tersenyum menatap mereka. "Dia adalah seorang pencari bakat dari Los Angeles."
"Yeah. So?" Adam mengangkat sebelah alisnya.
"Dia ingin bicara denganmu, bro!" seru Patrick tertahan. Kedua tangannya di pipi dan mata yang mengerjap-ngerjap. Patrick juga berjingkrak-jingkrak, persis seperti seorang anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya.
"Pria itu ingin bicara denganku?" ulang Adam bingung. "Kenapa?"
"Mana aku tahu!" Patrick mengangkat bahu. "Mungkin saja ia ingin kau bekerja untuknya atau mungkin juga ia melihat bakatmu!" Patrick bertingkah seperti tadi.
Mata biru Adam sedikit melebar. Bakatnya? Apa mungkin? Apakah ia memiliki bakat? Bakat menjadi penjaga kasir sih iya.
Tapi persepsi Adam tentang dirinya sendiri itu terbantahkan ketika pria berkacamata yang tadi memperkenalkan dirinya sebagai Allan Hank pada Patrick berdiri di depan meja kasir yang dijaganya. Pria itu menatapnya dengan tatapan menilai.
"It's perfect!"
Pria itu menatap Adam dari atas ke bawah, kembali ke atas lagi.
"I mean you are perfect!"
Alis Adam berkerut. "Sempurna untuk apa?" tanyanya bingung.
"Sempurna untuk menjadi seorang model," jawab pria berkacamata sambil mengulurkan tangannya. "Aku Allan Hank, seorang pencari bakat."
Adam mengangguk-angguk, mengulurkan tangan menjabat tangan Allan.
"Adam Wayne," ucap Adam memperkenalkan dirinya.
"Well, Adam Wayne, apakah..."
"Maaf, tapi aku rasa tidak." Adam menarik tangannya, mengusap tengkuk.
Mata cokelat Allan melebar. "Benarkah? Apa kau tahu apa yang akan kutanyakan?" tanyanya.
"Yeah, kurasa aku tahu," jawab Adam sambil mengangguk. "Tapi aku sungguh tidak tertarik untuk bekerja denganmu, Sir. Maafkan aku."
"Padahal aku ingin menawarimu untuk menjadi seorang model." Allan mengangkat bahu. "Kau sangat sempurna dan aku yakin kau pasti bisa menjadi model yang sukses. Sungguh sangat disayangkan kau menolak tawaranku."
"Maafkan aku," ucap Adam menyesal. Ia merasa sangat tidak enak.
"Tidak apa-apa, aku mengerti."
Allan tersenyum. Ia memang seorang pencari bakat yang sangat profesional. Allan merogoh kantung kemejanya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah kertas, tepatnya kartu nama.
"Mungkin kau berubah pikiran?" Allan menyodorkan kartu namanya pada Adam. "Kau bisa menghubungiku di nomor itu, anak muda," ucap Allan ketika kartu itu beralih ke tangan Adam.
Adam mengangguk. "Iya, Sir."
"Baiklah, berapa yang harus kubayar untuk makananku?"
Adam menyebutkan harga menu yang dipesan Allan.
"Apakah aku juga harus membayar kalian untuk bicara denganku?" kelakar Allan, yang disambut dengan tawa oleh kedua anak muda itu.