"Jadi, kau sudah membicarakannya dengan Alicia dan dia menyetujuinya?"
Adam mengangguk.
Mata Patrick melebar tidak percaya dengan apa yang dikatakan Adam. Beberapa hari yang lalu saja sahabatnya ini masih terlihat kebingungan dan serba salah. Dan hari ini Adam kelihatan lebih ceria.
"Tapi, bukankah katamu..." Patrick tidak melanjutkan kata-katanya. Pemuda itu menatap Adam dengan mata memicing.
Adam menggeleng, tawa menghambur dari mulutnya. "Apa yang ingin kau katakan?" tanyanya sedikit bingung.
Tak menghiraukan pertanyaan Adam yang bingung, Patrick justru balik bertanya.
"Apa ini karena si Paul Paul itu sehingga Alicia menyetujui keinginanmu itu?"
Adam kembali tertawa. Padahal baru saja ia menghentikan tawanya beberapa detik yang lalu.
"Tidak. Bukan." Adam menggeleng lagi. "Paul belum berbicara dengan Alicia."
"Lalu?" tanya Patrick dengan sebelah alis terangkat.
"Yeah..." Adam mengangkat bahu kemudian mengibaskan tangannya kacau. "Aku tidak tahu. Tapi aku rasa karena pertengkaran kami sore itu."
"Astaga! Kalian bertengkar?" Mata bulat Patrick kembali melebar, lebih lebar dari yang pertama saat ia membelalakkan matanya tadi. "Kenapa? Kapan?"
"Apakah aku harus menjawab pertanyaanmu itu?" Adam balik bertanya. Pemuda itu memutar tubuh untuk kembali ke belakang meja kasir.
"Tentu saja!" seru Patrick dari tempatnya berdiri. Pemuda itu mengikuti Adam dan berdiri di depan meja kasir. "Aku sahabatmu dan kau harus menceritakan semuanya padaku."
"Untuk apa?" tanya Adam sambil membuka ponselnya. Memeriksa adakah pesan dari Alicia yang masuk. Ternyata tidak ada. Adam kembali menyimpan ponsel di kantung kausnya. "Tidak penting juga untuk kau ketahui."
"Astaga, Adam. Ayolah!" Patrick menggeram. "Jangan membuatku penasaran!"
"Aku tidak menyuruhmu untuk merasa penasaran padaku, Patrick." Adam terkiki geli. "Lagipula, aku bukan artis yang perlu mengatakan alasan pertengkaran dengan pasangannya di depan wartawan."
Patrick cemberut. Pipinya yang tembam semakin terlihat menggembung.
"Dan satu lagi!" Adam mengacungkan jari telunjuknya di depan hidung Patrick. "Kau bukan wartawan."
Patrick memutar bola mata kesal. "Aku tidak mengatakan kalau aku seorang wartawan, Bodoh!"
Adam tak memedulikan perkataan Patrick. Pemuda itu justru tersenyum melihat sahabatnya yang cemberut.
"Ayolah, Adam," pinta Patrick lagi, kali ini dengan wajah memelas. "Jangan membuatku tidak bisa tidur nanti malam karena penasaran."
Adam mengangkat bahu, berpura-pura tidak peduli. "Itu bukan salahku, dan aku tidak peduli."
Patrick kembali menatap Adam dengan mata memicing. Setelahnya pemuda itu membuang muka kesal.
"Kau sangat tidak lucu!" sungut Patrick.
"Aku bukan badut!" jawab Adam cepat.
"Aku tidak mengatakan kalau kau itu badut!" balas Patrick semakin kesal. "Awas saja nanti kalau kau meminta bantuanku, aku tidak akan mau membantumu!" ancamnya.
Adam mengangkat kedua tangan setinggi kepala seolah ia menyerah. Menimbulkan senyum di wajah bulat Patrick. Sebelum pemuda itu mendengar perkataan Adam.
"Kalau begitu aku akan meminta bantuan Paul saja." Adam tersenyum menggoda Patrick. Pemuda itu menaik-turunkan alisnya. Adam sangat tahu kalau Patrick tidak begitu menyukai Paul. Yeah, bisa dibilang Patrick iri pada Paul.
Patrick menggeram semakin kesal. Ia sadar kalau Adam sudah sangat mengenalnya. Dan tentu saja Adam juga tahu kalau ia tidak menyukai Paul. Emosinya langsung naik turun bila bersinggungan dengan pemuda berotot itu. Yeah, jujur saja, siapa yang tidak iri dengan Paul. Sejak di sekolah menengah dulu Paul selalu terkenal. Bukan karena kenakalannya yang sangat suka membully setiap siswa yang dianggapnya lemah, tetapi Paul justru terkenal karena ketampanannya. Sejak mereka masih sekolah, Paul selalu menjadi idola, bersaing dengan Adam. Adam yang saat itu sudah bersama Alicia tidak membuat kepopulerannya berkurang. Karena persaingan itulah yang menyebabkan Adam dan Paul bersahabat. Sampai sekarang.
Dan yang paling tidak dimengerti Patrick adalah kenapa laki-laki menyebalkan seperti Paul bisa sukses dalam menjalankan usahanya. Sementara ia tetap saja menjadi pegawai di sebuah restoran. Sangat tidak adil baginya. Paul memiliki segala sesuatu yang tidak dimilikinya. Wajah tampan, badan yang proporsional, kulit kecokelatan. Dan jangan lupakan otot-otot di tubuhnya yang membuat para gadis langsung menjerit saat melihatnya.
Patrick memicingkan mata, menatap Adam penuh peringatan. "Sialan kau!" makinya. Pemuda itu membuang muka.
Sementara Adam semakin tertawa. Menggoda Patrick merupakan salah satu hiburan di saat-saat ia menghadapi kejenuhan dalam bekerja seperti sekarang. Ia sudah menghubungi Allan tadi malam dan pria itu memintanya langsung datang saja ke kantornya di LA. Pria itu sudah memberikan fotonya kepada para fotografer di kantornya dan juga kepada bosnya. Dan kata Allan mereka tertarik padanya. Untuk yang satu itu Adam sangat bersyukur, kemungkinan besar ia akan langsung bekerja begitu tiba di LA nanti. Tetapi, Adam masih meminta waktu beberapa hari lagi, ia masih menunggu gajinya dari Mr. Hulk. Juga ia masih perlu memantapkan hati untuk meninggalkan kekasihnya. Meskipun hanya untuk sementara waktu, hal itu justru yang paling sulit bagi Adam.
Beruntung baginya, Allan menyetujui. Allan memintanya untuk menghubungi pabila ia sudah tiba di LA, agar pria itu bisa menjemputnya. Adam mengembuskan napas. Ia harus mengumpulkan kembali keberaniannya, kali ini untuk berbicara dengan Mr. Hulk. Adam berharap Mr. Hulk mau menerima keputusannya. Sedikit berat memang untuk meninggalkan restoran, apalagi ia sudah terbilang lama bekerja di restoran ini. Adam yakin, tempat ini menjadi salah satu tempat yang dirindukannya ketika ia berada di LA nanti.
"Maafkan aku, Patrick. Tetapi kurasa pertengkaranku dan Alicia bukanlah hal menarik yang patut untuk kau ketahui."
Patrick menatap Adam cepat. Dan ia kembali menangkap kegundahan di raut wajah tampan Adam. Sebagai sahabat ia mengerti, semua ini pasti bukanlah hal yang mudah bagi Adam. Pemuda itu akan meninggalkan gadis yang dicintainya beberapa hari lagi. Adam dan Alicia tak pernah terpisah jauh selama mereka berhubungan. Semua penduduk kota mengetahui tentang hubungan mereka dan sangat mendukung dengan itu. Penduduk juga mengetahui kalau kedua anak muda itu selalu bertemu setiap hari di sela kesibukan mereka. Pasangan Adam dan Alicia sudah sangat terkenal di kalangan penduduk kota. Sedikit menyakitkan harus melihat mereka terpisah oleh jarak. Patrick hanya bisa berharap kalau kedua orang itu bisa bertahan dan memiliki akhir yang indah.
"Kau masih bisa membatalkan semua itu kalau kau tidak yakin kan?"
Adam menundukkan kepala. Pertanyaan Patrick sangat mewakili perasaannya saat ini. Ia memang sedikit ragu. Benarkah ia bisa berhasil di LA nanti? Sementara orang yang selalu menjadi penyemangat hari-harinya berada ribuan mil jauh darinya. Tetapi kembali lagi, semua ini dilakukannya demi masa depan mereka. Bukan hanya untuk dirinya sendiri namun juga untuk Alicia. Mereka berpisah hanya untuk sementara, setelahnya mereka akan bersama selamanya.
"Aku tidak bisa membatalkannya, Patrick. Kau tahu itu," jawab Adam lamat-lamat. "Aku memerlukan pekerjaan itu agar aku bisa menikahi Alicia secepatnya." Adam mengembuskan napas sebelum melanjutkan. "Biaya pernikahan tidak sedikit, begitu pun saat kau sudah berumah tangga. Akan ada istri yang harus kau hidupi, lalu juga anak-anakmu ketika kalian memutuskan untuk memiliki anak."
Patrick melongo mendengar perkataan Adam. Mata bulatnya mengerjap beberapa kali. Sungguh ia tidak percaya kalau kata-kata itu keluar dari mulut sahabatnya. Ternyata pikiran Adam sudah sangat jauh ke depan sampai-sampai Adam juga memikirkan nasib anak-anaknya kelak. Untuk hal yang satu ini, Adam sangat patut untuk diacungi jempol. Ia yakin, Paul yang sudah mapan pun belum memikirkan ke arah yang dipikirkan Adam. Patrick salut pada sahabatnya ini.
"Wow, kau sangat luar biasa, Kawan!" Patrick menggeleng-geleng pelan. Pemuda itu menepuk lengan bagian atas Adam beberapa kali sebagai ungkapan kekagumannya. "Kau sudah memikirkan masa depanmu sejauh itu. Aku salut padamu." Patrick mengacungkan ibu jarinya di depan Adam.
Kedua sudut bibir Adam tertarik ke atas mendengar pujian itu. Adam semakin mantap dengan keputusannya. Dukungan dari sahabatmu sangat kau butuhkan saat kau merasa ragu akan keputusan yang telah kau ambil.
"Terima kasih, Patrick!" ucap Adam haru. "Terima kasih karena sudah mendukungku."
"Apa pun itu, asal untuk kebahagiaanmu dan Alicia, aku akan selalu mendukungnya." Patrick juga tersenyum, lebar. Sampai-sampai kedua sudut matanya tertarik sehingga matanya terlihat mengecil.
Adam mengangguk. Dua hari lagi ia akan mengajukan pengunduran dirinya pada Mr. Hulk. Dan setelah itu, Adam akan menghabiskan hari-harinya bersama Alicia sebelum keberangkatannya ke LA.
***
Los Angeles bukanlah kota kecil seerti Southville. Los Angeles merupakan salah satu kota besar di negaranya. Kota itu merupakan pusat hiburan di negaranya. Dan ke kota itulah Adam akan pergi beberapa hari lagi.
Alicia mendesah. Gadis itu mengembuskan napas melalui mulut pelan. Haruskah ia menarik kata-katanya yang menyetujui keinginan Adam untuk mengadu nasib ke kota besar itu? Karena bagaimanapun hatinya masih belum menerima seratus persen persetujuannya itu. Ketakutannya akan kehilangan Adam masih besar. Tetapi ia juga tidak mau mengecewakan Adam. Pemuda itu pasti sedih kalau ia menarik kata-katanya kembali.
Alicia menatap Bibi Jo yang sedang melayani pembeli yang membayar. Haruskah ia meminta saran kepada Bibi Jo? Sepertinya memang harus. Karena, bukankah dua kepala lebih baik daripada hanya satu kepala? Alicia mengangguk mantap. Ia akan membicarakan hal ini kepada Bibi Jo. Segera setelah pembeli itu pergi.
"Terima kasih sudah berkunjung," ucap Bibi Jo ramah kepada pembelinya. "Lain kali datanglah lagi."
"Tentu saja, Bibi Jo. Bunga di tokomu yang terbaik di kota ini!" balas Ashley Summers, pembeli bunga yang berasal dari kota sebelah. Ashley adalah langganan toko. Perempuan itu seminggu sekali akan datang untuk mbeli bunga kesukaannya yaitu bunga lili.
Senyum Bibi Jo mengembang dengan sempurna mendengar pujian Ashley. Bagi pemilik toko, pujian pembeli sangat berarti. Begitu juga dengan Bibi Jo, pujian Ashley membuatnya bersemangat dalam menjalankan bisnis bunga segar ini.
"Bye, Bibi Jo, sampai nanti!" Ashley melambaikan tangannya. "Sampai nanti, Alicia." Ashley juga pamit pada Alicia yang berdiri di depan meja kasir.
"Sampai nanti!"
Alicia membalas lambaian Ashley, kemudian berbalik menatap Bibi Jo. Ia akan mulai bercerita sekarang.
"Bibi Jo, apakah kau ada waktu?" tanya Alicia kikuk. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Dan aku sangat membutuhkan saranmu untuk sesuatu itu."
Alis Bibi Jo terangkat sebelah. Alicia tampak sangat serius. Meskipun terlihat malu-malu dan salah tingkah tapi ia yakin kalau uang ingin dibicarakan keponakannya memang hal yang serius. Selama ini Alicia tak pernah meminta izin untuk berbicara dengannya. Keponakannya itu akan langsung saja mengatakan hal-hal yang ingin dibicarakannya. Tanpa meminta izin seperti sekarang.
"Sesuatu yang penting," sambung Alicia. Gadis itu menundukkan kepala. "Sangat penting!" lanjutnya lagi. Kali ini lebih lirih.
"Baiklah." Bibi Jo mengangguk. "Tentu saja, Sayang. Tetapi, apakah kita perlu menutup toko agar pembicaraan ini tidak terganggu?" tanyanya sambil keluar dari belakang meja kasir. Melangkah menuju pintu toko yang terbuka lebar. Tangan Bibi Jo memegang salah satu pintu kaca itu.
Alicia menggeleng cepat. "Tidak perlu!" jawabnya. "Ini memang sangat penting, bagiku. Tetapi Bibi tidak perlu menutup toko."
"Hm, Bibi paham." Bibi Jo kembali mengangguk. Menjauhi pintu dan menarik dua buah kursi plastik ke dekat Alicia yang masih berdiri di depan meja kasir. "Duduklah. Ceritakan pada Bibi apa masalahmu!" pintu Bibi Jo tersenyum.
Alicia kembali menundukkan kepala. Sejenak ia dilanda ragu. Apakah tidak apa-apa kalau ia bertanya pada Bibi Jo tentang ini?
"Sayang, lihat Bibi!" Bibi Jo meraih dagu Alicia dan mengangkat wajah yang tertunduk itu agar menatapnya. "Katakanlah apa yang kau sembunyikan. Bukankah Bibi sudah mengatakan padamu, kalau kau bisa berbagi dengan Bibi?"
Alicia tidak menjawab. Gadis itu menggigit bibirnya.
Bibi Jo mengembuskan napas pelan. "Apa ini ada hubungannya dengan Adam?" tebaknya pelan dan hati-hati.
Alicia memang sedikit tertutup soal hubungannya dengan Adam. Sangat sedikit yang diketahuinya tentang hubungan mereka. Tapi Joanna yakin, kalau hubungan itu sudah lebih jauh dan lebih serius dari yang ia bayangkan.
"Sayang, bukankah kau ingin bicara dengan Bibi?"
Alicia mengangguk pelan.
"Lalu kenapa kau masih diam? Katakanlah!" pinta Bibi Jo tersenyum. "Bibi akan mendengarkan semuanya dan akan berusaha memberikan solusi yang terbaik untukmu."
Alicia menghela napas. Menjilat bibirnya yang terasa kering sebelum menjawab.
"Ini mengenai Adam," ucapnya lamat-lamat.
Tepat seperti dugaannya. Bibi Jo mengangguk. Untuk saat ini ia akan menjadi pendengar saja dulu. Ia tidak akan berbicara kecuali Alicia yang memintanya untuk berbicara.
"Adam akan pergi ke LA, untuk menjadi model di sana." Alicia menundukkan kepala sekejap. Kemudian kembali mengangkat ketika ia melanjutkan perkataannya. "Ia meminta izin padaku dan aku mengizinkannya. Menurut Bibi, apakah aku salah dengan keputusanku itu? Karena hatiku sangat bertentangan dengan apa yang kukatakan padanya itu, Bibi. Aku sangat takut kalau Adam tergoda dengan para perempuan di sana dan melupakanku. Aku tidak mau kehilangan Adam, aku mencintainya."
Bibi Jo mengangguk. Ia merasa sekarang waktunya ia bicara. Alicia sudah diam, seolah memberikan waktu padanya untuk menanggapi keluh kesahnya tadi.
"Kau sudah melakukan keputusan yang tepat, Nak."
Mata Alicia melebar mendengar apa yang dikatakan Bibi Jo. Benarkah? tanyanya dalam hati.
"Kau harus membiarkan Adam mengejar apa yang ia inginkan." Bibi Jo tersenyum. Mengambil tangan Alicia dan menggenggamnya. "Kau hanya harus memberikan kepercayaan padanya. Dan harus yakin kalau ia akan menjaga kepercayaanmu itu."
Alicia menatap Bibi Jo dengan mata yang berkaca-kaca. Ternyata Bibi Jo mendukung Adam. Sepertinya ia salah sudah berbicara dengan Bibi Jo. Alicia menggigit bibir menahan kecewa.