Rencana Adam untuk memberitahu Alicia tentang keinginannya menerima tawaran Allan Hank, pencari bakat dari LA, gagal total. Adam yang tak pernah bisa melihat Alicia menangis memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa. Ia akan kembali memikirkan tawaran itu dan membicarakannya dengan Alicia lain hari. Untuk saat ini, biarlah ia fokus pada pekerjaannya yang sekarang ini. Bekerja sebagai pelayan di restoran cepat saji bukanlah pekerjaan yang buruk. Lagipula ia sudah bekerja di restoran ini sejak beberapa tahun yang lalu. Harus menjadi pelayan beberapa tahun lagi sepertinya tidak masalah. Asal jangan seumur hidupnya saja.
"Bagaimana? Apakah kau berhasil? Apa Alicia setuju dengan pilihanmu?"
Kalau yang sangat ingin tahu urusan orang adalah perempuan, mungkin Adam masih bisa maklum. Tetapi ini Patrick Smith, teman gembulnya. Adam mengembuskan napas kasar melalui mulut.
"Ayolah, Adam. Katakan padaku. Kau kan tahu kalau aku sangat tidak kuat penasaran."
Adam memutar bola mata. "Haruskah aku peduli?" tanyanya sedikit kesal.
Patrick yang sejak tadi menatap bangku-bangku kosong di depan mereka segera menoleh mendengar. Dari pertanyaan Adam yang terdengar kesal dapat disimpulkan kalau Alicia tidak menyetujui keinginannya. Tidak mungkin kan Adam kesal karena melihat deretan meja dan kursi restoran yang kosong. Sekarang masih pagi, wajar kalau restoran kosong.
"Teruslah berusaha, sobat!" Patrick menepuk bahu lebar Adam, memberi semangat dan menunjukkan dukungannya.
Adam lagi-lagi mengembuskan napas melalui mulutnya. Diam beberapa saat sebelum kembali bersuara.
"Aku bingung, Patrick," ucap Adam lirih, nyaris berbisik. "Aku sangat lemah pada air mata Alicia. Kemarin Alicia menangis, ia memintaku untuk tidak meninggalkannya. Jadi, bagaimana aku bisa mengatakan padanya kalau aku menerima tawaran Allan?"
Patrick mengembuskan napas. Ia mengerti masalah Adam. Sahabatnya ini terlalu mencintai kekasihnya. Bagi Adam, Alicia adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya saat ini. Adam tidak memiliki siapa-siapa lagi selain gadis itu.
"Kalau kau memang sangat menginginkan pekerjaan yang ditawarkan Allan, cobalah bicara pelan-pelan dengan Alicia," usul Patrick. "Sedikit-sedikit. Aku yakin lama-lama Alicia pasti akan mengerti."
Adam menundukkan kepalanya sedetik. Didetik berikutnya kepalanya kembali terangkat dan menatap Patrick dengan tatapan luruh.
"Menurutmu begitu?" tanyanya.
Patrick tak menyalahkan Adam kalau pemuda itu ragu pada sarannya. Ia sendiri juga masih belum yakin. Adam dan Alicia itu sama-sama saling membutuhkan dan sama-sama saling bergantung. Jadi wajar kalau mereka sangat takut untuk berpisah.
Patrick mengangkat bahu. "Coba saja dulu. Kau bisa mulai nanti sore saat kalian bertemu."
Pertemuan Adam dan Alicia setiap sore di atas bukit sudah menjadi rahasia umum. Tentang bukit itu yang menjadi tempat favorit Alicia juga hampir semua penduduk Southville sudah mengetahuinya.
Adam menatap Patrick dengan mata melebar. Baru saja kemarin sore ia melihat air mata Alicia, hari ini Patrick memintanya untuk kembali melihat itu. Ada menggeleng pelan.
"Aku hanya menyuruhmu untuk berbicara dengan Alicia, dude. Bukan untuk berperang," ucap Patrick memutar bola mata. Reaksi Adam berlebihan menurutnya.
"Tak ada bedanya menurutku." Adam mengibaskan tangan kacau. "Berbicara dengan Alicia malah lebih berbahaya daripada pergi berperang. Kalau Alicia meninggalkanku maka aku akan mati."
Patrick menggeleng pelan. Tak habis pikir dengan orang-orang seperti Adam yang menganggap kekasih mereka adalah nyawanya. Atau mungkin saat ini ia masih belum mengerti saja, ia belum menemukan seseorang yang tepat untuk dicintai.
"Terserah kau saja." Patrick mendesah pelan. "Lebih cepat lebih baik kan? Tetapi kau harus ingat, pelan-pelan dan sedikit-sedikit saja. Kau bisa menyelinginya diantara topik pembicaraan kalian."
Adam kembali diam beberapa saat. Pemuda itu sedang memikirkan perkataan sahabatnya. Sepertinya Patrick benar. Ia harus mencobanya nanti. Dan semoga saja Alicia mengerti dan mendukungnya. Ini kan untuk kebaikan mereka juga nanti.
Adam mengangguk. "Baiklah, aku akan mencobanya nanti sore," ucapnya. "Terima kasih atas saranmu, dude. Itu sangat membantuku."
Patrick mengangguk. Menepuk bahu Adam dan segera berjalan ke salah satu meja yang baru saja diduduki pelanggan. Ia akan menanyakan pesanan mereka.
***
Hari sudah semakin sore, Alicia bergegas merapikan bunga-bunga yang masih berada di luar toko. Membawa bunga-bunga itu ke dalam dan meletakkannya di rak penyimpanan. Bibi Jo akan menutup toko sebentar lagi. Ia juga akan menemui Adam setelah ini.
Seperti biasa, mereka akan bertemu di atas bukit favoritnya. Kalau tidak ada yang memberi kabar sibuk atau apa pun yang membuat mereka tidak bisa bertemu, ia akan selalu pergi ke bukit itu menunggu Adam. Hari ini juga seperti itu, mereka akan bertemu di tempat biasa mereka bertemu.
"Kau sudah selesai, Sayang?"
Bibi Jo bertanya begitu Alicia selesai meletakkan bunga terakhir di rak. Gadis itu mengangguk, membuat rambut pirangnya yang diikat pony tail bergoyang.
"Iya, Bibi," jawab Alicia. Gadis itu memutar tubuh menatap Bibi Jo. "Ada ada yang perlu aku kerjakan lagi, Bibi?"
Bibi Jo menggeleng. Ia sudah tahu kebiasaan Alicia setiap sore. Keponakannya akan uring-uringan kalau sehari saja tidak berjumpa kekasihnya.
"Tidak ada," sahut Bibi Jo. "Sekarang kau cuci tangan saja, mungkin Adam sudah menunggumu di atas bukit."
Pipi Alicia memerah mendengar perkataan Bibi Jo. Gadis itu menundukkan kepala, dalam hati ia merasa malu. Bahkan Bibi Jo mengetahui kebiasaannya. Setelah mengangguk, Alicia bergegas menuju belakang toko. Gadis itu memasuki kamar mandi dan mencuci tangan dengan cepat.
"Bolehkah aku pergi sekarang, Bibi?" tanya Alicia. Gadis itu sudah mengeringkan tangannya. Ia juga sudah merapikan dandanan dan mengenakan sweater rajut berwarna senada dengan flat shoes yang dikenakannya.
Bibi Jo mengangguk. Ia tahu jarak bukit dan tokonya lumayan jauh, sekitar lima belas menit ditempuh dengan berjalan kaki.
"Jangan pulang terlalu larut!" seru Bibi Jo sebelum Alicia benar-benar menghilang di balik pintu toko yang terbuat dari kaca.
Alicia masih sempat mengacungkan ibu jarinya tanda bahwa ia mengerti perkataan Bibinya. Ia memang tidak pernah pulang terlambat. Biasanya Adam sudah mengantarnya ke rumah lima belas atau sepuluh menit sebelum makan malam. Pemuda itu juga membutuhkan istirahat setelah bekerja seharian.
Alicia menggigit bibir begitu melihat motor Adam sudah terparkir di tempat biasa. Bibi Jo benar, Adam pasti sudah menunggunya. Alicia mempercepat langkah, ia tak ingin membuat Adam menunggu lebih lama.
Sampai di atas bukit Alicia melihat Adam berdiri di bawah pohon dengan kedua tangan bersedekah. Alicia tersenyum dengan pipi merona. Dilihat dari sisi mana pun, Adam tetap terlihat tampan. Ia bahagia bisa memiliki Adam yang diinginkan oleh banyak perempuan di kota mereka. Alicia berjalan mengendap. Sampai di belakang Adam, tangannya terulur melingkari perut pemuda itu.
Adam yang sedang memikirkan bagaimana caranya berbicara pada Alicia agar gadis itu bisa memahami keinginannya, terperanjat. Ia tak menduga akan mendapat kejutan manis seperti ini. Adam mengusap lengan mulus yang melingkar di perutnya. Menoleh dan melihat Alicia yang mendongak menumpukan dagu di punggungnya.
"Hai," sapa Adam lembut. Pemuda itu tersenyum melihat pipi Alicia yang memerah.
Setahu Adam, Alicia memang sedikit alergi dengan suhu dingin. Tapi sekarang suhu sedang normal. Cuaca cukup hangat, sehangat senyum yang mengembang di bibir Alicia membalas senyumannya tadi.
"Halo," balas Alicia malu-malu. "Apa kau sudah lama menungguku?" tanyanya dengan dagu yang masih menempel pada punggung pemuda itu.
Adam menggeleng. "Tidak juga. Hanya saja tadi aku melihat kau keluar dari tokomu dan berjalan kemari."
Astaga! Ternyata Adam sudah selama itu dan mengatakan kalau ia belum terlalu lama? Alicia menggigit bibir, ia sangat menyesali keterlambatannya.
"Maafkan aku," bisik Alicia. Gadis itu membenamkan wajah di punggung lebar Adam. "Hari ini pembeli lebih banyak dari biasanya. Kami sudah sore baru menutupnya," jelas Alicia dengan suara yang tidak terlalu jelas. Mulutnya menempel di punggung kekasihnya.
Adam tersenyum. "Tidak apa-apa," ucapnya dengan tangan yang masih mengusapi lengan Alicia di perutnya. "Aku saja yang datang terlalu cepat."
Pelukan Alicia mengerat. Sekarang Adam merasakan pipi Alicia yang menempel di punggungnya. Alicia memang gampang sekali menangis. Hal-hal kecil saja bisa membuat Alicia menitikkan air mata. perasaan Alicia terlalu halus dan lembut. Karena itu Adam berusaha untuk menjaga perasaannya. Sebisa mungkin ia tidak akan mengucapkan kata-kata yang bisa membuat Alicia menangis. Seperti sekarang, Adam yakin gadisnya sedang berusaha menahan air mata agar tidak tumpah.
Adam memutar tubuh. Sekarang mereka berhadapan dan Adam dapat melihat wajah cantik Alicia memerah. Pipi chubbynya yang pada dasarnya sudah kemerahan sekarang menjadi merah pucat. Tangan Adam terangkat, membingkai pipi Alicia dan mengangkat wajahnya. Perlahan Adam menundukkan kepala dan menempelkan bibir mereka. Seperti itu saja sampai Adam merasakan bibir Alicia bergerak mengecup dan melumat bibirnya.
"Maaf," bisik Alicia setelah tautan bibir mereka terlepas. "Maaf sudah membuatmu menunggu selama itu."
Adam tersenyum, menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Pemuda itu menggeleng. Baru kali ini ia datang lebih dulu dan menunggu, gadisnya sudah mengucapkan maaf beberapa kali. Biasanya memang Alicia yang menunggunya. Tapi siapa pun yang tiba lebih dulu tidak masalah bagi Adam. Alicia hanya terlalu mengambil hati.
"Sudah kukatakan tidak apa-apa, bukan? Aku juga sering terlambat." Adam mengusap pipi Alicia. "Dan kau tidak mempermasalahkan itu. Jadi, jangan meminta maaf lagi karena kau tidak bersalah. Mengerti, Sayang?"
Alicia mengangguk pelan. Hatinya masih merasa sesak. Katakan saja ia masih menyesali keterlambatannya, dan itu memang benar. Ia kasihan pada Adam. Pemuda itu sudah lelah bekerja seharian, ditambah harus menunggunya. Membuatnya merasa menjadi gadis yang tidak pengertian.
"Baiklah." Adam mengembuskan napas pelan, memantapkan hati. Ia akan menuruti saran Patrick dan Paul. Membicarakan tawaran Allan Hank dengan Alicia. "Kalau begitu, bagaimana kalau sekarang kau ceritakan bagaimana harimu? Aku ingin tahu apa yang kau kerjakan."
Mereka memang terbiasa berbagi cerita keseharian mereka, terutama saat mereka tidak bisa bersama. Saat seperti ini Adam sangat ingin menikahi Alicia sekarang. Agar mereka tidak berpisah lagi.
"Hari ini toko lebih ramai dari hari-hari biasanya. Pembeli banyak yang datang dari kota sebelah."
Alicia kembali terlihat bersemangat. Adam tersenyum. Bisakah ia memulai pembicaraannya sekarang?
"Kurasa itu artinya toko bunga Bibi Jo sudah terkenal sampai ke luar kota."
Alicia mengangguk cepat. Bibir mungilnya yang berwarna peach alami mengulas senyum.
"Iya, kurasa juga begitu. Sampai-sampai kami harus menutup toko lebih sore dari hari biasanya."
Dan itu menjelaskan keterlambatan Alicia. Lagipula gadis itu tadi sudah mengatakan alasan keterlambatannya.
"Kau juga terlihat lebih lelah," komentar Adam. Ibu jarinya kembali mengusap pipi Alicia.
Alicia mengangguk mengiakan. "Tetapi aku senang," ucapnya dengan binar senyum di mata birunya. "Toko tidak pernah seramai hari ini kecuali saat ada atau kota kita mengadakan perayaan."
Adam mengangguk. "Aku mengerti. Rasanya aku juga ingin melihat saat toko Bibi Jo ramai. Sayangnya aku tidak bisa libur bekerja atau gajiku akan dipotong."
Senyum ceria di bibir Alicia perlahan surut. "Tidak apa-apa." Terganti senyum getir. "Kau bisa ke toko saat Mr. Hulk memberikan libur. Atau kau bisa mengambil cuti."
"Dan itu sama saja aku mengurangi hajiku dengan sengaja." Adam mengembuskan napas. Ia akan memulai untuk bicara sekarang. "Seandainya aku memiliki pekerjaan yang lebih longgar dan penghasilan lebih banyak, aku yakin kita pasti bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama."
Alicia menggeleng pelan. "Tidak ada kalau di kota ini," ucapnya lirih.
Adam mengangguk. Mereka berdua sudah sama-sama tahu bagaimana penghasilan para pekerja di kota mereka. Rata-rata semuanya sama. Tidak ada pabrik ataupun perusahaan di Southville yang menunjang penghasilan besar. Yang ada hanya toko, bar dan restoran. Dan pendapatan semua karyawan toko, bar dan restoran itu sama.
"Kalau penghasilanku lebih besar, kita pasti bisa menikah lebih cepat."
Alicia menatap Adam lekat mendengar kata pernikahan terlontar dari mulut pemuda itu. Tentu saja ia ingin menikah dengan Adam. Menjadi istri Adam adalah hal yang paling diinginkannya saat ini.
"Tetapi sekarang aku masih belum bisa. Tabunganku masih belum cukup." Adam menunduk, membalas tatapan Alicia yang mulai berkabut. "Aku hanya ingin penghasilanku lebih banyak, agar kau tidak usah bekerja lagi setelah kita menikah nanti. Aku tak ingin waktumu terbagi, apalagi kalau nanti kita mempunyai anak. Aku tidak ingin membuatmu kelelahan."
Adam tidak berbohong dengan semua yang dikatakannya. Semua itu adalah impiannya. Ia pulang ke rumah dengan Alicia dan anak mereka yang menyambutnya. Ia ingin kalau mereka menikah dan memiliki anak kelak, anak mereka dirawat oleh Alicia bukan yang lain. Alicia tak boleh bekerja atau melakukan apa pun selain merawat anak mereka.
"A-aku tidak keberatan walau harus bekerja," sahut Alicia terbata. "Aku juga akan merawat anak kita."
"Iya, tentu saja harus seperti itu." Adam menatap Alicia dalam. "Tapi aku tidak ingin kau bekerja sambil membawa anak kita. Aku ingin kau di rumah saja, bersama anak kita menungguku pulang dari bekerja."
Sungguh keinginan yang indah. Tetapi tak mungkin terwujud kalau mereka tetap di kota ini. Alicia tertunduk. Gadis itu menggigit bibir getir. Sepertinya ia tahu maksud Adam. Ini pasti ada hubungannya dengan tawaran pria dari kota besar itu.
"Apa kau akan menerima tawaran pria kota besar itu?" tanya Alicia lamat-lamat. Kepalanya masih tertunduk. Tak ingin melihat mata Adam. Mata biru itu tak pernah berbohong padanya.
"Kalau kau tidak keberatan, aku akan menerimanya."