Bab 7

2086 Words
Sudah lewat tengah malam, tapi gadis itu masih terjaga. Entah kenapa matanya sangat sulit untuk terpejam. Padahal sudah beberapa kali ia menguap, namun ia masih belum bisa tidur juga. Perkataan Adam tadi sore masih terngiang membuatnya tidak bisa memejamkan mata. Adam memintanya untuk tidak memikirkan apa-apa, tetapi nyatanya ia tetap memikirkannya. Ia tak ingin Adam meninggalkan kota mereka, meskipun itu demi kebaikan mereja kelak. Ia yakin, semua akan baik-baik saja kalau mereka terus bersama. Dan mereka pasti akan bisa menghadapi semua kesulitan itu. Alicia menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Lampu utama sudah dimatikan sejak beberapa jam yang lalu. Setelah membersihkan diri ia tidak turun lagi, bahkan ia nekewatkan makam malam. Rasanya tak berselera. Daripada nanti makanan itu terbuang, lebih baik ia tidak makan saja. Besok makanan itu bisa dipanaskan, atau diberikan kepada Nenek Prita seperti biasanya. Alicia sangat ingin tidur. Ia sangat lelah setelah seharian membantu Bibi Jo di toko. Ia harus bisa terlelap untuk mengembalikan tenaganya dan esok hari terlihat segar seperti sediakala. Pekerjaan di toko menunggunya. Tak mungkin ia membiarkan Bibi Jo berada di toko sendirian. Minimal ia harus membantu menjaga mesin kasir. Alicia mengerang kesal. Sungguh ia sangat ingin tidur. Matanya sudah mengantuk, hanya saja ia tidak bisa tidur. Entah kenapa setiap kali ia memejamkan mata dan mencoba untuk tidur, setiap itu juga apa yang dikatakan Adam kembali terngiang dan membuat matanya kembali terbuka. Was-was kalau-kalau Adam benar-benar pergi dari kota mereka menghantuinya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa pemuda itu. Adam adalah penyemangatnya. Alasan ia untuk selalu tersenyum dan ceria. Adam bagaikan matahari baginya. Bisakah kau bayangkan kalau hidupmu tanpa matahari? Pastinya akan gelap dan suram bukan? Begitu juga hidup Alicia tanpa Adam. Ia tak yakin mampu bertahan tanpa pemuda itu di sisinya. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran Adam yang selalu mengisi hari-harinya. Alicia melirik jam digital di atas nakas. Gadis itu mengembuskan napas kasar melalui mulut. Sudah pukul setengah dua pagi. Bukan tengah malam lagi tetapi sudah menjelang pagi. Dan ia masih belum tidur juga. Bagus, Alicia, kau akan terlambat bangun besok pagi! gerutunya dalam hati. Alicia bukanlah gadis pemalas. Ia sudah terbiasa bangun pagi-pagi sekali. Sebelum Bibi Jo bangun ia sudah mengerjakan semua pekerjaan rumah. Saat Bibi Jo bangun semuanya sudah siap, mereka tinggal sarapan dan berangkat ke toko setelah itu. Tapi bagaimana dengan esok? Bisakah ia bangun pagi seperti biasa kalau sekarang saja ia masih belum tidur? *** Tepat seperti dugaannya, Alicia bangun terlambat. Sangat-sangat terlambat. Bibi Jo juga tidak membangunkannya. Alicia gelagapan ketika membuka mata matahari sudah bersinar terang. Kamarnya yang tadinya gelap sekarang terang benderang, karena sinar matahari yang masuk melalui celah-celah jendela. Cepat gadis itu duduk, saking cepatnya kepalanya tiba-tiba berdenyut pusing. Alicia memejamkan mata, tangannya terangkat memijit pelipis. Hanya beberapa saat, setelah pusingnya hilang, gadis itu segera ke kamar mandi. Ia harus membersihkan tubuhnya sebelum menyusul Bibi Jo ke toko. Jarak antara rumahnya dengan toko tidak jauh. Lebih jauh jarak antara toko dan bukit favoritnya. Ia hanya memerlukan waktu lima menit berjalan kaki untuk sampai ke toko. Sepuluh menit waktu yang diperlukan Alicia untuk mandi dan berdandan. Ia tidak seperti gadis lainnya yang sangat lama di kamar mandi. Atau menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin. Ia mandi dan berdandan seadanya aja. Ia bukan gadis yang suka keluar rumah dengan make up tebal. Bedak tipis sajacsudah cukup. Alicia mengambil ponsel dari atas nakas sebelum turun ke bawah. Tujuan utamanya adalah dapur. Tadi malam ia melewatkan makan malamnya dan sekarang ia sangat lapar. Memasuki dapur Alicia mendapati keadaan dapurnya sudah rapi dan bersih, Bibi Jo sepertinya sudah membersihkannya sebelum berangkat tadi. Alicia menghampiri meja makan yang kosong dan rapi. Matanya melirik lemari pendingin tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Ada kertas tempel yang tertempel di sana. Pasti Bibi Jo yang melakukannya, dan pasti kertas berisi pesan itu untuknya. Alicia mendekati lemari pendingin, mengambil kertas dan membacanya. Sayang, Bibi pergi ke toko lebih dulu. Sarapan ada di dalam microwave, kau bisa memanaskannya lagi kalau sarapannya sudah dingin. Maaf Bibi tidak membangunkanmu, Bibi tidak tega. PS: datanglah ke toko segera setelah sarapan. Bibi membutuhkan bantuanmu. Yang tersayang Bibi Jo Alicia menggeleng pelan setelah membaca surat itu. Agak menggelikan tapi sangat romantis. Bibi Jo memang konyol. Alicia tersenyum, melangkah ke arah microwave dan memanaskan sarapannya. Sambil menunggu, Alicia memeriksa ponselnya apakah ada pesan atau telepon atau apa pun saat ia masih tidur tadi. Gadis itu mendesah pelan, sedikit kecewa. Tak ada apa pun di ponselnya, bahkan Adam juga tidak mengiriminya pesan. Alicia meletakkan ponsel di meja makan, sarapannya sudah hangat. Alicia mengambil sarapannya yang berupa sup kemudian memakannya dalam diam. Sungguh, ia masih belum berselera untuk makan, tetapi cacing-cacingan di dalam perutnya sudah berontak minta diberi makan. *** Tak berbeda jauh dengan Alicia, Adam juga sama. Pemuda itu tiba di tempat kerjanya agak sedikit terlambat. Tadi malam, sepulang dari bar milik Paul, Adam tidak langsung tidur. Selesai mandi dan minum s**u, Adam berniat untuk tidur tanpa makan malam. Ia kehilangan selera makan karena masalahnya yang belum menemukan titik terang. Apalagi sore itu ia dan Alicia kembali terlibat oertengkaran kecil. Jadilah ia kehilangan nafsu makan tadi malam. Adam sesungguhnya sangat ingin tidur cepat. Ia membutuhkan tenaga dan tubuh sehat kalau memang berniat serius menerima tawaran Allan. Tetapi matanya tak bisa ia pejamkan. Setiap kali ia mencoba untuk tidur, setiap itu pula kata-kata Alicia kembali terngiang di telinganya. Pertanyaan gadis itu yang membuat Adam gundah. Sungguh ia tidak ingin meninggalkan Alicia. Bukan tidak ingin, tapi ia tidak sanggup. Alicia adalah pusat semestanya. Bagaimana bisa gadis itu berpikir kalau ia ingin meninggalkannya? Adam memencet pangkal hidung, kepalanya sedikit berputar. Pemuda itu menundukkan kepala, duduk di kursi yang tersedia di belakang meja kasir. Restoran memang sudah buka saat ia tiba tadi, namun tidak terlalu ramai. Mr. Hulk yang menggantikannya untuk melayani pelanggan yang membayar. Adam meminta maaf atas keterlambatannya. Ia beruntung Mr. Hulk memahami, mungkin pria besar itu melihat kantung matanya sehingga Mr. Hulk tidak menegur atau memotong gajinya. "Ada apa lagi denganmu?" tanya Patrick. Pemuda itu menarik sebuah kursi kosong dan meletakkannya di depan meja kasir untuk ia duduki. Jari telunjuknya menunjuk lingkaran hitam di seputaran mata Adam. "Kantung mata itu terlihat sangat mengkhawatirkan." Tentu saja seperti itu. Selama dua tahun ia bekerja di restoran cepat saji ini bersama Adam, tidak pernah sekalipun Patrick melihat mata biru Adam di kelilingi lingkaran hitam seperti sekarang. Ini kali kedua ia melihatnya setelah beberapa hari yang lalu Adam juga tidak bisa tidur karena penolakan Alicia atas keinginan Adam untuk menerima tawaran pria dari kota besar itu. Dan hari ini pertama kalinya Adam terlambat datang ke restoran. Biasanya ia selalu tepat waktu. Selama yang ia tahu, Adam sangat konsisten terhadap waktu. Pemuda itu sangat menghargai waktu, baginya waktu adalah uang. Patrick sangat mengenal Adam, ia tahu Adam saat ini sedang mengumpulkan uang untuk menikahi Alicia. Sangat indah, bukan? Ia berharap suatu saat juga akan menemukan gadis yang mencintai dan dicintainya seperti Adam dan Alicia. "Aku tidak bisa tidur tadi malam," jawab Adam lemah. Ia sangat tidak bersemangat hari ini, sudah beberapa kali ia menguap. Patrick mengangguk. "Kau juga terlihat kurang sehat," komentarnya. Adam menggeleng. "Aku hanya kurang tidur." Dan sekali lagi pemuda itu menguap. "Tentu saja," jawab Patrick cepat. "Karena kurang tidur kau jadi tidak bersemangat, kau merasa lelah dan kurang sehat." Adam mengangkat bahu. Pemuda itu meletakkan kepala di meja kasir, melipat kedua tangan dan menjadikannya sebagai bantalan. "Apakah tidak apa-apa kalau aku tidur sebentar?" tanya Adam lirih. Lantik sudah mengambil alih kesadarannya. "Aku sangat perlu tidur saat ini." Patrick berdecak. Tapi tetap membiarkan Adam pada posisinya. Sepertinya pemuda itu memang benar-benar mengantuk. Setelah berkata ia perlu tidur terdengar dengkuran halus darinya. Patrick menggeleng pelan. Seandainya ada yang bisa ia lakukan untuk menolong Adam, ia pasti akan melakukannya. Sayangnya tidak ada. Ia tidak ingin ikut campur masalah antara Adam dan Alicia. Biarkan saja mereka berdua menyelesaikan masalah mereka. Lagipula itu bukan masalah besar, hanya masalah pekerjaan. Tapi, melihat Adam seperti ini membuat Patrick merasa kasihan. Adam tidak salah, sahabatnya ini hanya ingin mewujudkan impian untuk masa depannya bersama gadis yang dicintainya. Sayangnya untuk itu, ia harus meninggalkan kota ini. Sementara sang gadis tidak menginginkan ia ditinggalkan. Bukan masalah besar tapi sangat rumit. Menurut Patrick di sini Alicia yang sedikit bersalah. Hanya sedikit, Patrick menyayangi Alicia seperti adik kandungnya dan ia mengerti perasaan Alicia. Los Angeles bukan kota kecil seperti Southville. Los Angeles adalah kota pusat hiburan di negara mereka. Wajar kalau Alicia tidak mau melepas Adam. Gadis itu pasti khawatir melepas Adam ke kota yang di dalamnya terdapat pusat perfilman dunia itu. Mengingat film, membuatnya jadi ingin juga mengunjungi kota itu. Patrick meringis. Ia sudah terlalu melantur sepertinya. Sementara Adam terlihat semakin nyenyak dan Mr. Hulk sekarang melangkah ke arah mereka. Patrick sedikit gelagapan. Ia ingin membangunkan Adam, tapi sepertinya tidak sempat. Saat ini Mr. Hulk sudah berada di depan mereka. "Ada apa dengan Adam?" Suara besar Mr. Hulk tidak membuat Adam terbangun. Dengkuran halus itu masih terdengar dari mulutnya. Patrick mengusap tengkuk. Ia merasa serba salah. Bagaimanapun ia tidak ingin dicap sebagai teman yang tidak setia kawan karena sudah mengadukan sahabatnya. "Apa ia tertidur? Di jam bekerja?" Patrick mengerjap. Ini gawat. Suara Mr. Hulk meninggi, apakah Mr. Hulk marah? Patrick tidak mau Adam dipecat. Eh, tapi, kalau Adam diberhentikan Mr. Hulk dari pekerjaannya, bukankah Adam mempunyai alasan untuk menerima tawaran dari pria kota itu? Alicia tidak bisa lagi untuk tidak menyetujui keinginan Adam. Patrick mengangguk mengiakan pertanyaan Mr. Hulk. "Astaga! Apa yang terjadi padanya?" tanya Mr. Hulk heran. Adam tak pernah melakukan pelanggaran sebelumnya. Ini yang pertama selama dua tahun pemuda itu bekerja di restorannya. Haruskah ia memberi keringanan? Mr. Hulk menggeleng pelan. Menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara pintu yang terbuka. Seorang pelanggan memasuki restoran. "Bangunkan dia, ada pelanggan." Patrick mengangguk. Tangannya terangkat mengguncang bahu Adam membangunkan pemuda itu. "Adam, bangun!" bisik Patrick lirih. "Ada pelanggan." Adam mengangkat kepala sedikit kemudian kepalanya kembali terjatuh ke meja. Patrick meringis khawatir. Mata birunya melirik pelanggan yang ternyata sudah dilayani oleh Gina. Patrick mengembuskan napas lega. Setidaknya ia memiliki waktu lebih banyak untuk membangunkan Adam. "Adam, ayo bangun!" Sekali lagi Patrick berbisik. Kali ini disertai guncangan di bahu Adam. "Mr. Hulk..." Belum sempat Patrick menyelesaikan perkataannya, Adam sudah lebih dahulu bangun dan tergagap. Adam berdiri cepat dengan mata mengerjap beberapa kali. "Di mana Mr. Hulk?" tanya Adam cepat. Patrick kembali mengembuskan napas lega. Pemuda itu memutar bola mata. "Mr. Hulk di ruangannya," jawab Patrick. "Tapi tadi ia ke sini. Mr. Hulk yang memintaku untuk membangunkanmu karena ada pelanggan." Patrick menunjuk seorang pelanggan yang sedang menghabiskan burgernya. Adam mengerang. Kesal pada dirinya yang tidak bisa menahan kantuk. "Boleh aku minta segelas kopi, Patrick?" pintanya pada Patrick yang berdiri dengan sebelah siku tertumpu pada meja kasir. "Aku sangat membutuhkannya sekarang. Bisakah kau ambilkan? Aku harus ke kamar mandi." "Tentu saja." Patrick mengangguk. "Terima kasih. Aku sangat tertolong," ucap Adam sebelum memutar tubuh untuk segera ke kamar mandi. Ia hendak mencuci muka agar lebih segar. *** Alicia menyenderkan tubuh pada satu-satunya pohon besar di bukit itu. Semilir angin sore menerbangkan rambut pirangnya. Alicia memejamkan mata, menikmati kesegaran angin yang membuatnya sedikit lupa tentang keinginan Adam. Seharian ini Alicia selalu mengingatnya, kalau Adam sangat ingin pergi meninggalkan kota mereka ini. Alicia menggigit bibir. Ia tidak ingin pergi, ia ingin Adam tetap di sini. Ia tidak akan bisa tenang melepas Adam pergi ke kota sebesar Los Angeles. Bukan ia tidak percaya pada Adam, hanya saja kota besar pasti identik dengan gadis-gadis cantik. Alicia khawatir kalau Adam tertarik pada salah satu gadis kota. Ia memang tidak meragukan kesetiaan Adam, tetapi rasa khawatir itu tetap ada. Bagaimana kalau pertahanan Adam akhirnya luluh? Tak ada laki-laki normal yang menolak seorang perempuan cantik. Angin sedikit berembus lebih kencang. Alicia memeluk tubuh untuk menghalau dingin yang ikut serta bersama embusan angin yang baru saja lewat. Gadis itu menoleh sekilas ke belakang, mencari keberadaan sosok Adam yang mungkin saja sudah datang. Tetapi ia tidak melihat siapa pun. Sosok Adam tak tampak padahal hari sudah sore. Matahari sebentar lagi akan tenggelam. Apakah Adam hari ini tidak akan datang menemuinya? Apakah Adam marah karena ia seolah menghalangi pemuda itu untuk maju? Alicia sadar kalau ia egois. Tapi, salahkah ia kalau punya kekhawatiran seperti apa yang terlintas di kepalanya? Adam satu-satunya pria yang dimilikinya. Sejak kecil ia hanya tinggal berdua dengan Bibi Jo. Ia tidak mengenal sosok pria dalam kehidupan mereka. Adam adalah pria pertama yang memasuki kehidupannya. Dan kini Adam ingin pergi keluar kota. Bukankah itu sama saja Adam ingin meninggalkannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD