MISTERI YANG BELUM TERPECAHKAN

1047 Words
Amira masih bergeming mendengar tawaran dari nenek renta di hadapannya. Sebuah takdir baru yang akan mengubah hidupnya yang kelam dan penuh caci maki itu sedang dijanjikan oleh nenek yang minta dipanggil mbah Wanti itu. Ingin Amira mempercayainya, namun rasanya janggal dan terdengar klise. Adakah cara yang ampuh merubah takdir? Sedangkan dokter saja angkat tangan dengan penyakit langkanya. “Aku mau percaya mbah, tapi ….” Amira tak sanggup meneruskan perkataannya. “Tapi tidak bisa dipercaya? Begitu kan maksudmu, nak.” Gumam Mbah Wanti sembari manggut manggut. Ia tahu misinya terdengar mustahil dan sulit meyakinkan gadis itu. Amira menunduk, tak berani menatap mbah itu lantaran apa yang disampaikannya memang benar. “Maaf Mbah.” Lirih Amira. Mbah Wanti melengos, ia tak menjawab lagi kemudian berdiri dan meraih cermin kecil yang digantung di atas meja rias. Perlahan Mbah berjalan menghampiri Amira lagi sembari menyodorkan cermin itu. “Coba kamu lihat, apa yang bisa diharapkan dengan wajah seperti ini?” Tanya Mbah Wanti dengan tenang. Amira menatap nenek tua itu yang masih meyakinkannya menerima uluran cermin, untuk apa harus meyakinkan lagi? Amira tahu wajahnya memang dikategorikan buruk rupa, apa belum cukup fakta itu dan kini Mbah Wanti ingin meledeknya? Namun setelah melihat anggukan Mbah Wanti yang kesekian kali, mau tak mau Amira menerima uluran cermin dari tangan nenek itu. Dengan hati berdebar, Amira mengarahkan cermin menghadap wajahnya. Tangannya bergetar hebat bahkan mulutnya ternganga saat melihat kondisi wajahnya saat ini. “Ini wajahku?” Pekik Amira shock. Ia tak sadar bahwa kecelakaan barusan ikut andil memburukkan rupanya yang sudah buruk. Kini terlihat luka besar menganga pada bagian jidat yang mulai mongering darahnya. Amira yakin meskipun sembuh, namun luka itu akan menimbulkan bekas yang menjijikkan di wajahnya. “Ya, itu wajahmu. Semakin tidak menguntungkan bagiku bukan?” Ujar Mbah Wanti tetap tenang. Sementara Amira mulai menangis ketakutan, takut kehilangan masa depan dan entah bagaimana suramnya kelak, jika penampilannya seperti itu. Kendati ia mempunyai kecerdasan yang brilian, namun selepas sekolah, persaingan kerja di luar sana pun tak hanya mencari yang pintar, tetapi harus yang ditunjang penampilan menarik bisa menjadi nilai plus. “Sudahlah, menangis tidak akan mengubah kenyataan. Mbah yakin air mata yang kamu keluarkan untuk menangisi dirimu sudah sangat banyak, dan kamu tetap tak bisa berbuat apa-apa kan? Sekarang pilihan itu ada pada dirimu, mau diterima atau tidak tawaran yang mbah berikan.” Ujar Mbah Wanti kembali meyakinkan Amira. Amira menatap lesu pada Mbah Wanti, masih banyak pertanyaan yang melekat di benaknya. Termasuk siapa mbah Wanti dan mengapa ia bersikeras menolongnya. “Kenapa mbah mau menolongku? Aku bahkan belum mengenal siapa mbah.” Lirih Amira. Mbah Wanti tertawa kecil yang membuat Amira menyipitkan mata saking bingungnya. “Apa harus ada syarat saat menolong orang? Mbah memang bukan siapa siapamu, tapi begitu mbah melihatmu, mbah tidak tega membiarkanmu menderita lagi. Tapi terserah kamu, nak. Pilihan ada di tanganmu.” Kata-kata Mbah Wanti yang terdengar masuk akal itu sedikit meyakinkan Amira. Gadis itu tampak berpikir dalam diam, ia berusaha meyakinkan dirinya agar tidak takut pada nenek itu dan memberanikan diri untuk mencoba. “Ng, jam berapa sekarang mbah?” Amira teringat kondisinya pasti membuat khawatir banyak orang, bahkan mungkin saat ini orangtuanya sudah tahu kabar kecelakaan ini. Akan sangat merepotkan jika mereka tahu bahwa Amira menghilang, orangtuanya pasti sangat sedih dan bisa bisa melaporkan ke pihak berwajib. “Jam sebelas siang.” Jawab Mbah Wanti singkat. “Jangan cemas, setelah kamu kembali dengan selamat, orangtuamu tidak akan mempersoalkan di mana keberadaanmu saat menghilang. Sekarang mbah hanya ingin mendengar jawabanmu, kamu berani mencoba atau tidak? Takdir akan berubah saat kamu berani melakukan usaha yang lebih.” Yakin Mbah Wanti, ia tampak antusias membujuk Amira menyetujui kehendaknya. Amira terdiam lagi, tampak dari raut wajahnya bahwa ia sedang berpikir keras. Sampai akhirnya Amira memberi isyarat berupa anggukan, dan mbah Wanti tersenyum puas mendapati jawaban positif itu. “Baiklah mbah, tidak ada salahnya mencoba. Semoga saja benar, kehidupanku akan berubah baik setelah itu.” Ujar Amira pelan. Mbah Wanti tersenyum senang, “Pasti… Pasti berubah baik. Mbah jamin. Kalau begitu tunggu sebentar di sini.” Mbah Wanti kembali berdiri dan berjalan meninggalkan Amira sendirian dalam ruang kamarnya. Sepintas Amira mencium wewangian yang ia duga berasal dari semacam dupa yang dibakar. Tak lama setelah itu, mbah Wanti muncul dari balik pintu dengan tangan yang tampak membawa nampan kecil yang entah apa isinya. Amira menatap ke arah nampan di tangan mbah Wanti dengan penasaran, benda apa yang dibawa nenek itu hingga perlu menggunakan alat. Mbah tua itu sepertinya tahu jalan pikiran Amira, sebelum gadis itu bertanya pun ia segera memberitahukan apa yang ingin diketahui Amira. “Ini hanya sebuah bedak, setiap wanita kalau ingin cantik pasti memakai bedak. Segala bentuk ketidak sempurnaan wajah, dengan mudah tertutupi oleh bedak. Tidak ada wanita yang jelek di dunia ini, yang ada hanya wanita yang tidak mau merawat dirinya.” Celoteh Mbah Wanti yang menduduki tempat duduknya yang semula. Amira mengernyitkan dahi, hanya sebuah bedak namun mbah Wanti memperlakukannya secara istimewa? Dan lagi jika hanya bedak, Amira pun setiap hari memakai beberapa macam perawatan wajah, termasuk pelembab, foundation dan bedak padat. Namun semua alat makeup itu tidak berhasil menutupi kekurangan wajahnya. “Mbah, aku setiap hari menggunakan bedak.” Ujar Amira sedikit gugup, takut menyinggung perasaan nenek tua yang sudah berniat baik padanya. Terdengar suara tawa mbah Wanti yang melengking, saking kerasnya hingga Amira bergidik. “Anakku, kamu memang polos. Tentu saja Mbah tahu setiap hari kamu memakai riasan wajah, tapi itu tidak cukup membuatmu percaya diri kan. Bedak ini berbeda, ini tiada duanya dan tidak dijual di manapun.” Mbah Wanti mengambil bedak dalam kemasan bulat berdiameter kurang lebih empat cm itu lalu membukanya. Sekilas tampilannya terlihat seperti bedak two way cake pada umumnya, berwarna kuning gading, dengan cermin kecil dan spoon di dalam wadah bedak itu. Amira melihat dengan seksama, meskipun belum paham namun ia lebih baik diam karena sepertinya Mbah Wanti akan kembali berbicara. “Bedak ini semakin dipakai tidak akan pernah habis. Kamu tidak perlu cemas harus membelinya di mana. Cobalah dan lihat perubahannya.” Mbah Wanti menyodorkan bedak itu lalu mengangguk pelan agar Amira yakin. Kendati masih menyisakan sedikit keraguan, Amira pun mengambil bedak itu dari tangan mbah Wanti. Ia menatap sejenak tampilan bedak itu, sungguh menurutnya ini hanya sebuah bedak biasa namun mengapa mbah Wanti sangat melebihkannya? **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD