Sebuah Tanda

1456 Words
Selamat membaca! Matahari semakin beranjak hingga terasa begitu terik menerpa kulit. Membuat Laura yang sudah satu jam belajar bela diri kini menjadi semakin lelah. "Alan, aku sudah capek banget. Aku rasa cukup ya hari ini." Laura pun mulai duduk di atas rerumputan yang terpotong dengan begitu rapi. Napas yang terengah, semakin menunjukkan bahwa wanita itu benar-benar sudah tak sanggup meneruskan latihannya. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya dan ini adalah untuk kali pertama. "Ya sudah kamu istirahat saja. Aku masih harus latihan, ya paling tidak satu jam lagi." Laura terhenyak dengan kedua alis yang saling bertaut dalam. "Apa kamu tidak merasa lelah?" tanya Laura bingung. "Tidak sama sekali. Sudah kamu istirahat saja sana! Tapi apa boleh aku minta tolong diambilkan minum?" pinta Alan dengan senyum yang mengembang. "Baiklah nanti aku panggil Emily untuk bawakan minum ke sini." "Entah kenapa saat mendengar nama itu, aku jadi merasa lemah. Seandainya saja aku bisa melindungi mereka, pasti Emilia dan Bella masih hidup sampai saat ini. Semua ini adalah kesalahanku," batin Alan mematung diam dengan tangan yang mengepal erat. Laura yang melihat hal itu pun mulai bangkit dari posisi duduknya. Mendekati Alan dan berdiri tepat di hadapannya. Setelah mendapati pria itu ternyata sedang melamun, Laura kini mulai menyodorkan tangan di depan wajah Alan, lalu mengibaskan ke kiri dan kanan. "Alan, kamu kenapa? Kenapa hanya diam saja?" tanya Laura menatap penuh selidik. Lamunan Alan pun seketika buyar, saat melihat Laura yang tengah berdiri di hadapannya. "Aku tidak apa-apa. Hanya saja nama asisten rumah tanggamu itu hampir sama dengan nama istriku." Penasaran akan sosok wanita yang dikatakan oleh Alan, Laura pun mulai bertanya penuh selidik. "Memangnya seberapa besar kamu mencintainya sampai kamu begitu merindukannya? Terus apa dia begitu berarti untukmu?" tanya Laura penasaran. "Kenapa aku merasa jika kamu seperti sedang menginterogasiku seolah-olah ada kejahatan yang aku lakukan?" Bukan malah menjawab, Alan justru balik bertanya pada Laura yang sebenarnya sudah tak sabar mendengar jawaban darinya. "Ya, anggap saja aku sedang menginterogasimu. Sekarang cepat jawablah!" titah Laura lebih menuntut. "Apa itu penting untuk aku jawab?" tanya Alan kembali. "Kenapa agen MI6 itu menyebalkan sepertimu ya? Disuruh jawab malah balik bertanya terus," keluh Laura sambil mengerucutkan bibirnya kesal. Di tengah kekesalan Laura karena belum mendapatkan jawaban dari Alan tentang Emilia, suara Jeff tiba-tiba terdengar memanggil dari dalam rumah. "Itu ayahmu datang. Sepertinya dia ingin memastikan apa yang sempat Diana dengar, saat kita bicara. Jadi sebaiknya kamu bersiap untuk akting. Oke!" "Ya sudah, aku pergi dulu ya! Ingat! Kamu berhutang cerita tentang Emilia dan kamu harus cerita nanti malam!" ucap Laura terdengar memaksa. Membuat Alan seketika mengulas senyum tipis yang disertai sebuah anggukkan kepala sebagai tanda bahwa ia mengiyakan perkataan Laura. Setelah kepergian Laura yang semakin menjauh darinya, Alan pun kembali melakukan beberapa gerakan bela diri. Kali ini gerakan itu semakin terlihat cepat disertai beberapa kombinasi gerakan memukul juga menendang. "Lumayan baru sekali latihan, tubuh Andrew sudah bisa lentur dan tidak lagi kaku. Sepertinya kalau sering dilatih, tubuh ini bisa lebih gesit dibanding tubuhku," ucap Alan dengan suaranya yang pelan. Kini pria itu mulai kembali serius dalam berlatih. Terlebih saat kenangan bersama Emilia dan Bella mulai menari dalam pikirannya. "Aku pasti akan secepatnya membalaskan dendam kita Em. Aku janji tidak akan membiarkan mereka semua hidup!" kecam Alan penuh amarah dalam hatinya. Sementara itu, Laura masih terus melangkah menghampiri ayahnya yang tampak sudah menunggu diambang pintu. Pintu yang menghubungkan antara ruang tengah dengan taman belakang rumahnya. "Kenapa, Dad?" tanya Laura sesaat setelah berada di hadapan Jeff. "Daddy mau bertanya sama kamu, apa benar pria itu bukan Andrew? Apa benar dia adalah Alan?" Jeff terdengar begitu menuntut. Meminta jawaban jujur dari Laura yang saat ini coba bersikap biasa menanggapi pertanyaan sang ayah. "Apa maksudmu, Dad?" Laura pun mulai berakting dengan berpura-pura tidak mengerti tentang apa yang Jeff tanyakan. "Kamu tidak perlu bohong. Sekarang jawab jujur! Apa pria itu adalah Alan Walker, agen MI6 yang sudah menembak perdana menteri Inggris, Frederick Spencer?" "Ya Tuhan, kenapa Daddy bisa tahu sampai sedetail itu? Apa Diana benar-benar mencari tahu semua tentang Alan?" batin Laura merasa semakin tenggelam dalam keterkejutannya. Setelah beberapa detik, Laura masih terlihat masih diam dan tampak gugup. Bahkan wanita cantik itu sampai tak berani menatap wajah Jeff yang penuh amarah. Saat ini, keterdiaman Laura semakin membuat Jeff yakin bahwa apa yang dikatakan Diana adalah benar adanya. Namun di saat Jeff hampir menyimpulkan tentang semua itu, tiba-tiba Alan datang tepat di samping Laura. "Laura mungkin kecapekan, Tuan. Soalnya dia baru saja saya ajarkan beberapa gerakan bela diri. Kalau soal itu, saya rasa tidak mungkin. Soalnya mana ada di dunia ini orang bisa bertukar jiwa. Sangat tidak masuk akal. Jadi sebenarnya, tadi itu saya dan Laura sedang berakting untuk pentas drama yang akan kami perankan pada acara pensi kampus. Kebetulan temanya memang tentang kota London. Makanya, saya dan teman-teman sengaja mengangkat cerita Alan Walker karena kami yakin bahwa dia bukanlah pembunuh Frederick Spencer. Menurut pandangan kami, semua dibuat seperti sebuah kamuflase yang diciptakan untuk menggiring opini bahwa Alan Walker-lah pelaku penembakan itu. Padahal yang terjadi sebenarnya tidak seperti. Mungkin saja Alan Walker malah mati karena mereka dibunuh. Jadi saya dapat peran sebagai Alan, sedangkan Laura menjadi Emilia. Benar begitu, kan?" ungkap Alan diakhiri sebuah pertanyaan dengan siku tangannya yang menyenggol lengan Laura. "Iya, Dad. Benar kata Andrew. Lagipula mana mungkin jaman sekarang ada pertukaran jiwa. Masa Daddy percaya itu," ucap Laura setelah sebelumnya melihat Alan dengan senyum yang tipis. Jeff masih mencerna sambil menatap putrinya dan juga sosok Andrew secara bergantian dengan penuh selidik. Sampai akhirnya, pria yang sempat menaruh curiga itu pun mulai tersenyum. "Benar juga ya, kenapa aku bisa percaya dengan hal bodoh itu? Ya sudah, kalian lanjutkan saja latihannya lagi!" Jeff pun memutar tubuhnya dan mulai melangkah pergi. Namun baru saja dua langkah pria itu menjauh, Jeff yang lupa mengatakan hal penting yang ingin disampaikannya pada Laura pun kembali berbalik menghampiri Laura. "Oh ya, mulai besok kamu sudah akan dikawal oleh seorang bodyguard ya! Daddy tidak mau hal kemarin itu terulang lagi," imbuh pria itu. Membuat wajah Laura seketika menampilkan raut tidak suka akan keputusannya sang ayah yang tak bertanya lebih dulu padanya sebelum memutuskan. "Ya Tuhan, Dad. Kenapa harus ada bodyguard?" tanya Laura masih tak menyangka jika ayahnya sampai menyediakan bodyguard untuk mengawalnya. "Ini semua demi kebaikan kamu." Jeff tersenyum sambil menepuk pundak Laura sebelum akhirnya pria itu kembali melangkah pergi. Meninggalkan Laura dengan rasa kesal yang belum sempat disampaikannya pada sang ayah. "Dad, ayolah! Aku tidak mau, Dad." Penolakan dari Laura tak mendapat tanggapan berarti dari Jeff. Pria itu terus melangkah pergi tanpa menoleh sekalipun untuk melihat Laura. "Sudah tidak apa-apa, Laura. Kamu memang butuh seorang bodyguard. Apalagi kamu kan tahu, kalau aku masih belum bisa diandalkan untuk menjaga kamu. Tubuh ini masih belum mampu terlibat dalam pertarungan. Terlebih jika harus menghadapi banyak orang," ucap Alan coba membuat Laura mengerti bahwa keputusan Jeff adalah demi melindunginya. "Tapi dengan adanya bodyguard itu akan mengekang aku, Alan," ungkap Laura masih keberatan dengan pemberian bodyguard dari ayahnya. "Laura, dengarkan aku!" Alan menangkup kedua lengan Laura. Membuat wanita itu seketika diam tak lagi menggerutu. "Ya Tuhan, kenapa wajah Andrew jadi terlihat sangat tampan seperti ini ya? Andrew kelihatan lebih gentle jika seperti ini," batin Laura hanyut dalam sorot mata Alan yang begitu tajam menatapnya. "Ayahmu itu sayang sama kamu. Makanya, dia berusaha melindungimu. Kamu harus percaya ini untuk kebaikan kamu." Laura masih tak bersuara. Pandangannya masih nyaman menatap wajah Alan. Bahkan sampai pria itu mengurai tangannya. "Ya sudah, aku sepertinya sudah lelah. Aku masuk duluan ya kembali ke kamarku." Alan pun mulai melangkah masuk. Meninggalkan Laura yang masih hanyut dalam rasa kagumnya. "Apakah mungkin aku sudah mencintai, Alan? Bukan lagi Andrew." Laura coba bertanya pada dirinya dengan suara yang terdengar begitu terbata sambil terus melihat sosok Alan pergi semakin menjauh darinya. *** Beberapa jam setelah menyelesaikan latihan perdananya, tepat pukul 15.00, Alan masih tampak terlelap di atas ranjang. Pria itu memang memilih untuk mengistirahatkan dirinya dengan tidur siang karena merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tubuh Andrew yang memang belum terbiasa melakukan berbagai gerakan bela diri. Sesuatu yang sangat wajar terjadi. Bahkan hal ini pun pernah Alan rasakan saat dulu ia mengikuti pelatihan khusus di kesatuan MI6. Kala itu suasana hening di ruang kamar, tiba-tiba pecah seiring dengan suara teriakan Alan yang terdengar memenuhi ruangan. Suara itu disebabkan dari mimpi yang dialami pria itu. Mimpi buruk yang membuatnya sampai berteriak begitu histeris. "Kenapa aku bisa mimpi seperti itu? Apa maksud dari mimpi itu?" Sambil mengusap keringat yang membasahi wajahnya berulang kali, Alan coba mengatur napasnya yang terdengar tak beraturan. Sampai akhirnya, pria itu dikejutkan dengan sebuah goresan hitam di nadi tangan kirinya. Sebuah goresan yang jelas terlihat menunjukkan angka 24. "Angka apa ini?" Kedua alis pria itu bertaut dalam. Menatap tajam dua buah angka pada tangannya dengan penuh pertanyaan. Bersambung ✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD