Bab 05. Kebenaran

1022 Words
Karin tidak bisa terlelap meski dia sudah beberapa kali berputar posisi tidur. Namun, wajar saja dia tidak bisa lelap, karena Karin tidak terbiasa berbaring langsung di atas lantai. Gadis itupun melirik ke arah tempat tidur dan tiba-tiba tersenyum setelahnya. "Akhirnya orang jahat itu tidur juga. Baguslah, aku tidur di sofa saja sekarang." Gadis itu pun bangkit dan melakukan ucapannya. Berbaring di atas sofa yang ada di sana, meski kemudian dia kembali berdiri. "Sepertinya aku butuh selimut juga!" Dengan menarik keberanian penuh Karin pun mengambil selimut milik Adrian. Dia takut, tentu saja. Akan tetapi, dia juga tidak naif dan membiarkan tubuhnya sendiri terus-terusan tersiksa. "Besok aku harus bangun lebih awal, jangan sampai laki-laki jahat ini bangun lebih dahulu bersama ibunya!" Beruntunglah nasib baik masih memihaknya. Karin terbangun berkat alarm ponsel yang membuatnya sadar. Dia bangkit dan mengembalikan segalanya seperti semula. Kemudiaan sebagaimana menantu yang baik, pagi-pagi gadis itu telah di dapur dan menyiapkan sarapan. "Ternyata kamu cepat belajar. Baguslah, setidaknya kau mulai tahu diri!" cibir Rini begitu masuk ke dapur. Dia seperti pengawas, memperhatikan Karin dengan serius. "Ckckck, apa kau bodoh. Garamnya terlalu sedikit, tambah lagi!" Karin menoleh dan langsung menatap ibu mertuanya dengan kesal. "Kalau Tante merasa lebih baik kenapa tidak melakukannya sendiri?" "Tutup mulutmu miskin!" omel Rini membuat Karin jengah. "Lakukan saja ucapanku, tambah lebih banyak garam pada masakanmu!" Karin terdiam sejenak. Untuk sejenak dia memang kesal, tapi beberapa menit kemudian gadis itu tersenyum aneh tanpa diketahui Rini. Kemudiaan menuruti perintah ibu mertuanya. "Hari ini putri kecilku pulang dari rumah sakit. Dia suka ayam goreng yang krispi, jadi masak itu juga. Capcay dan kentang goreng jangan lupa!" ungkap Rini. Karin mengangguk patuh. Dia pikir gadis kecil yang Rini maksud memang gadis kecil yang masih berusia bocah, sehingga walaupun kesal, gadis itu kembali memasak dengan serius. Hampir satu jam kemudiaan, hidangan pagi itu selesai. Bukan cuma menu sarapan, tapi berkat ucapan Rini, Karin membuatkan beberapa makanan berat. Adrian datang ke meja makan dalam keadaan yang sudah rapih, sementara Rini sibuk menyiapkan makanan yang akan dibawanya ke rumah sakit. "Kamu mau kerja hari ini, Adrian? Bukankah adikmu sudah bisa pulang, apa kamu tidak ingin menyambutnya?" tanya Rini mengingatkan. "Aku bisa kembali ke rumah saat jam makan siang, Mom. Jadi jangan khawatir soal itu," jelas Adrian. Sementara Karin sudah seperti pembantu, sibuk menyiapkan makanan untuk keduanya, tapi dia sendiri tidak bergabung dan hanya menonton mereka menyantap nasi goreng buatannya. "Cih! Apa ini, kenapa rasanya asin sekali?" geram Rini sambil mengeluarkan makanan dari mulutnya. Karin sedikit tersenyum melihat hal itu, sayangnya Adrian justru melihat senyumnya dan menjadi gusar. "Habiskan makanan ini!" perintah Adrian dengan serius. "Apa? Bukan aku yang melakukannya, tanya ibumu, Tuan Adrian yang terhormat. Dia sendiri yang meminta tambahan garam yang lebih banyak di sana!" jelas Karin memberitahu. "Habiskan!!" tekan Adrian tak memperdulikan ucapan Karin. Rini tersenyum puas, dan merasa menang sudah membuat menantunya tak berdaya. Karin pun menurut dan memakan sarapannya. Kini gantian Adrian dan Rini yang menontonnya makan. "Sudah puas?" Karin berdiri dan menatap Adrian dengan kebencian. "Buatkan sarapan baru untukku!" tegas Adrian. Lagi-lagi Karin hanya menurutinya dan pasrah diperlakukan demikian, tanpa adanya perlawanan. Selanjutnya dia kembali melakukan tugas yang sama seperti hari sebelumnya. Namun, saat siang menjelang sore. Tepatnya waktu kepulangan putri kecil yang Rini maksud. Karin terkejut melihat gadis kecil yang di maksud bukan bocah, dan orang itu tak asing baginya. "Kamu?" ujar Karin menghadang mereka. Dia berdiri tepat dihadapan orang yang baru saja pulang di rumah sakit. "Bagaimana kamu bisa di sini?" "Dasar miskin, menyingkir dari hadapan putriku. Ini rumahnya, sementara kau cuma orang asing!" ceplos Rini cukup pedas. Namun, bukan itu yang menjadi perhatian Karin. Dia bahkan tidak perduli dengan ocehan ibu mertuanya, melainkan gadis dihadapannya. Karin berpikir keras dan menimang-nimang apa yang terjadi. Pergelangan tangan gadis itu masih dibalut kain kasa. Dahinya juga masih sedikit mendapatkan perban luka di sana. Hal itu menciptakan berbagai macam spekulasi di kepala Karin. Sementara itu mereka sudah melewatinya, mengabaikan kehadiran Karin yang ada di sana. "Sayang, lain kali kamu lebih berhati-hati. Mommy dan daddy sangat mencemaskanmu. Begitu pula kakakmu Adrian," ungkap Rini yang masih terdengar Karin. "Ayo, ke sana. Mengapa masih di sini, Nak," ujar ujar pria paruh baya yang ternyata ayah mertuanya. Dia terakhir masuk karena harus membereskan sesuatu sebelum masuk, dan Karin saat diajak bergabung hanya mengangguk tanpa menurut. Dia masih syok akan kehadiran gadis yang baru keluar rumah sakit itu bisa ada di rumah suaminya dan sekarang dia tahu gadis itu merupakan adik iparnya. "Siapkan sesuatu untuk gadis kecilku!" perintah Rini yang kembali menghampirinya yang masih di dekat pintu masuk. "Tunggu apa lagi! Sana buatkan sesuatu!" tegur Rini saat Karin hanya diam dan bersikap acuh. Brubh! Rini yang gemas mendorong Karin sampai terjatuh, tapi anehnya Karin masih tak bicara dan hanya diam. Dia bahkan tak memperdulikan ucapan mertuanya dan justru pergi ke kamar. "Apa yang kau lakukan di sini, dan bagaimana bisa kau membuat Mommy marah?!" Adrian tiba-tiba masuk dan menghampirinya, namun Karin tak memperlihatkan ketakutannya. Dia bahkan berani menatap Adrian dengan tajam. "Apa semua ini rencana gadis gila itu?" "Berhentilah bicara omong kosong dan ingatlah prihal hutang ayahmu padaku!" Karin beranjak, menghampiri Adrian dan sedikit mendongak untuk menatapnya. "Omong kosong?" Karin tersenyum hambar di tengah air mata yang ternyata sudah menghiasi pelupuk matanya. "Aku gagal menikah dengan kekasihku dan batal bertunangan. Lalu harus menikah denganmu, karena tiba-tiba ayahku yang bekerja di perusahaan milik keluargamu tiba-tiba mempunyai hutang, dan Thania dia adikmu bukan?!" "Lalu apa yang salah Karina Larasati?" balas Adrian membalas tatapan Karin dengan sama tajamnya. "Kamu masih bertanya seolah-olah tidak tahu apa-apa?!" bentak Karin marah. "Kalian sudah mempermainkan hidupku. Kau dan adikmu yang gila itu pasti sudah merencanakan semua ini. Kalian sengaja melakukannya untuk kepentingan pribadi kalian, dan apa kalian pikir aku bodoh, tak bisa menebaknya?!" Untuk sesaat Adrian terdiam. Karin memang benar, dan ucapannya hampir tidak salah. "Kalian manusia egois! Brengs*k dan biada*!!" umpat Karin marah, tapi dia juga menangis saat mengucapkannya. Tidak menyangka kehidupannya adalah mainan buat suami dan adik iparnya. "Lalu kenapa, Karin? Aku hanya ingin membuat adikku bahagia!!" "Kebahagian seperti apa? Kalian benar-benar gila, apa kebahagiaan itu harus dengan mengambil milikku dan juga kebebasanku?! Gila!! Kalian berdua benar-benar tidak waras!!" *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD