Bab 18. Menjual kesedihan

1132 Words
"Kamu ngapain sih berantam? Lihat nih, wajah kamu jadi memar gini!" omel Mila pada pacarnya Gio "Pelan-pelan, ssstt ... ini sakit," ujar Gio memberitahu. Tak lama setelahnya, Karin menghampiri keduanya, dan meringis melihat wajah babak belur Gio yang merupakan sahabatnya juga. "Ada apa dengan wajahmu, kayak habis digebukin saja?" tanya Karin penasaran. "Sudahlah ini urusan laki-laki, perempuan seperti kalian mana mengerti, bahkan jika aku menjelasnya sampai sampai mulutku berbusa," jawab Gio langsung mendapatkan cubitan dari Mila. "Arghh! Sayang, itu sakit loh!" peringat Gio kesal. "Yasudah, pergi sana, tapi awas jangan sampe luka-lukamu bertambah. Aku nggak suka kamu berantam apalagi cuma karena hal sepele!" jelas Mila memberitahu. Gio cuma mengangguk dan berdehem, sebelum kemudiaan dia pergi meninggalkan keduanya. "Gio kenapa Mil?" tanya Karin. Mila menghela nafasnya kasar. "Gio berantam sama saudaranya, dia tidak mau pulang, karena bersikeras menolak perjodohannya dengan anak papa aku dari istri pertamanya." Mendengar itu Karin langsung mengusap bahu sahabatnya. Bermaksud memberi dukungan dan menguatkannya. "Aku nggak mau bilang kamu harus sabar, karena aku paham bagaimana masalah kamu, tapi aku nggak mau kamu sampai putus asa," ujar Karin. Mila menatap Karin dan mengangguk setuju, tapi kemudiaan dia melihat sesuatu di dahi Karin dan menyentuhnya. "Kenapa?" bingung Karin. Mila segera menunjukkan apa yang dia temukan. "Aku pikir tadi darah, tapi ternyata cBukan uma benang merah." "Ck, aku pikir apaan sampai membuat kamu tiba-tiba keliatan panik gitu," jawab Karin. Namun, karena mengambil benangnya, dahi Karin jadi biru akibat tangan Mila. Bukan karena tangan Mila sakti, tapi hal itu terjadi karena dia baru saja mengobati Gio mengunakan obat biru. Mila belum membersihkan tangannya dan tak sadar dengan hal itu sampai dia melihat hasilnya. "Kamu kenapa lagi?" tanya Karin menatap Mila. Dia merasa aneh lantaran Mila tiba-tiba kikuk dan menggaruk kepala. Akan tetapi Mila belum juga menjawab, seseorang menghampiri mereka dan itu dosen pembimbingnya Karin. "Siang, Pak!" sapa keduanya dengan ramah dan tersenyum. Dosen itu langsung berhenti, karena merasa familiar dengan Karin. "Kamu anak bimbingan saya bukan?" "Iya, Pak," jawab Karin sedikit gugup. Dia melirik Mila sekilas dan membuat dosennya itu melihat dahinya yang terkena obat biru. "Kapan mau bimbingan, kenapa kamu tidak keliatan selama seminggu belakangan ini, dan ada apa dengan dahimu?" tanya Dosen itu. Karin mengerutkan dahinya, tak mengerti maksud dosen pembimbingnya itu soal dahinya, karena Karin belum sadar. Bersamaan dengan hal itu, Karin sendiri juga bingung harus menjawab apa. Sial padahal biasanya dosen pembimbing itu suka amnesia, kenapa sekarang mendadak dia ingat bahkan mengenal Karin. "An--nu, Pa--" "Hm, sahabat saya ini bukannya tidak mau bimbingan, Pak," jawab Mila memotong kalimat Karin lantaran terpikirkan sesuatu. Hal itu pun menarik perhatian dosen pembimbingnya Karin. "Memangnya ada apa, Karin kamu punya masalah atau kendala dalam menyelesaikan skripsimu?" Karin ingin menggeleng, tapi Mila langsung mencubit tangannya membuat Karin reflek menunduk untuk menahan rasa sakit, karena dia tidak mungkin mengaduh sakit dihadapan dosennya apalagi hal itu karena ulah sahabatnya sendiri. "Karin pasti berat membahas ini dan juga dia paling anti menjual kesedihan, Pak. Akan tetapi sebagai sahabatnya, aku suka kasihan dan juga iba kepadanya. Karin itu menikah karena terpaksa. Pak Danu mungkin tidak akan mengerti hal ini, tapi kami dari kalangan menengah ke bawah sering kali mengalaminya. Menikah untuk membayar hutang, alias jadi jaminan karena tidak mampu bayar hutang orang tua kami." Dosennya yang di panggil pak Danu tersebut sepertinya mulai tersentuh dengan cerita itu, sementara Karin masih menundukkan kepala. Merutuki Mila dan bingung dengan maksudnya membongkar kisah hidupnya dihadapan dosennya. "Tapi setelah itu, Karin juga tidak diperlakukan baik oleh mertuanya. Dijadikan pembantu, dan bahkan suaminya sendiri membiarkannya begitu saja. Bahkan beberapa kali melakukan kekerasan," jelas Mila. Melihat reaksi Karin yang seolah enggan mengangkat kepala, Danu menjadi percaya, meski kemudiaan dia tetap memastikannya. "Apa itu benar Karin?" Akhirnya dengan mengulum bibir, Karin menganggukkan kepala seraya mengangguk. "Iy-ya, Pak." "Malang sekali nasibmu, Karin. Akan tetapi kenapa kamu tidak melaporkan kasus KDR yang kamu alami pada pihak berwajib?" "Saya tidak punya keberanian melakukan itu, Pak. Suami saya itu orang terpandang dan mempunyai kekuasaan. Melaporkannya itu sama saja dengan percuma, saya tidak berdaya. Satu-satunya yang saya inginkan hanyalah ingin kabur dari pernikahan dan menghilang, tapi di saat yang sama saya juga nggak mungkin mengabaikan pendidikan yang tinggal sebentar lagi," kali ini Karin yang menjawab dan dia serius dengan ucapannya. Keinginan kabur dari Adrian ada dalam benaknya. Danu merasa iba dan mengangguk paham. Dia sebenarnya ingin membantu, tapi mereka hanya orang asing, dan seperti yang Karin jelaskan suaminya terlalu berpengaruh, Danu yang cuma dosen mana mungkin sanggup melawannya. "Saya bingung mendengar masalahmu dan tidak bisa membantu banyak, tapi ayo ke ruangan saya. Di sana ada beberapa referensi yang bisa kamu gunakan untuk mengerjakan skripsimu. Saya pinjamkan buku saya!" ungkap Danu serius. Karin dan Mila segera saling melirik satu sama lain. Mereka mengikuti Danu dan setelahnya benar seperti yang Danu katakan. Pria itu memberikan beberapa buku pribadi miliknya untuk dipinjam Karin. Dia bahkan sempat mengajari Karin soal mengerjakan skripsinya dengan sabar. ***** "Aku pikir tadi kamu kenapa sampai bongkar-bongkar masalah rumah tangga aku?" ceplos Karin yang akhirnya paham maksud sahabatnya Mila. Mereka menjual kesedihan untuk mendapatkan empati dari dosen pembimbingnya Karin. "Aku cuma teringat soal anak sebelah, sengaja bawa anak kakaknya terus di akui sebagai anak sendiri supaya dipermudah dosen pembimbing," ungkap Mila. "Apa? Kok aku nggak tahu ya?" "Yah, kamu kan nggak liat. Lagian hal kayak gitu udah biasa, Rin. Kebanyakan orang-orang bahkan yang sedang ikut beberapa audisi suka menjual kesedihan untuk mempermudah jalan kesuksesan mereka, dan kamu jujur. Kita tidak membohongi Pak Danu, setidaknya tak separah anak sebelah, jadi kamu tidak usah khawatir soal kedepannya," jelas Mila. "Iya, juga, sih ..., tapi pak. Danu suka amnesia gimana dong? Kita udah ambil banyak bukunya buat dipinjam. Besok, dia lupa dan berpikir kita mencurinya bagaimana?" "Yaampun, kamu parnoan banget! Dengar ya, Rin ... pak Danu cuma pelupa bukan lansia yang ingatannya lemah. Lagian dia juga begitu kayaknya lagi masalah besar," ungkap Mila. "Apa maksudmu?" tanya Karin penasaran. "Kamu belum dengar gosip?" tanya Mila dan Karin segera menggeleng. "Tiga tahun lalu pak Danu mau mengajar dan bela-belain jadi dosen itu buat bisa dekat dengan kekasihnya. Salah satu dosen di sini, tapi aku tidak tahu dosen yang mana. Akan tetapi, baru-baru ini anak-anak kampus bilang, dosen itu kekasihnya pak Danu mau menikah dalam waktu dekat ini, dan itu bukan dengan pak Danu." Karin paham sekarang dan mengaitkan dengan kejadian belakangan. Danu lebih galak dari biasanya dan bahkan beberapa waktu lalu mengomelinya habis-habisan soal skripnya. "Jangan-jangan karena itu lagi, pak Danu suka marah," jawab Karin. Mila menoleh dan menatapnya. "Apes juga nasib kamu, Rin. Di rumah dihabisi suami dan mertuamu, dan di kampus sama dosen yang lagi patah hati!" "Yah, tapi nggak gitu lagi. Besok-besok jual kesedihan lagi ah, kali aja ACC dan sidang minggu berikutnya!" "Kamu masih harus ke pembimbing satu, Rin!" ingatkan Mila mematahkan mimpi Karin. "Ckckck, merusak impian saja kamu!" *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD