"Za, lo kok manis banget sih?"
"Za lo pake pelet apa sih?"
"Senyuman lo menyinari duniaku."
Kris terus berceloteh sambil memandangi wajah Khanza yang tengah menyedot es coklat yang dibelinya di kantin. Khanza diam saja. Enggan menanggapi Kris yang makin lama makin gesrek.
"Bege, lo mandang apa? Ngeres pasti?" selidik Gail menabok Kris dengan buku yang di gulung.
"Jangan kasar-kasar, aku ga suka!" ucap kris dengan gayanya yang sangat menyebalkan.
"Jyjyk lo," kesal Gail menonyor kening Kris.
"Lo lihat khanza nyedot es aja udah kesemsem. Apalagi lihat Khanza nyedot yang lain." bisik Gail menaik turunkan alisnya.
Kris tersenyum lembar. "Udah pengen gue," jawab Kris.
"Lo berdua m***m. Sadar woy!" bentak Niko dengan mata melotot.
"Gausah nyaut nyaut. Lo gak diajak!" ejek Gail.
"Hari ini ada balapan lagi, lo mau ikut?" tanya Niko. Kris menghembuskan nafasnya. Ingin sekali ia ikut. Tapi, takut ketahuan sama orang tuanya.
"Kris, gausah ikut balapan. Nanti kakak kamu marah." ucap Khanza menatap dalam manik mata Kris. Tatapan yang selalu melumpuhkan pacarnya itu.
"Hadiahnya kali ini lebih gede, Kris. 10 juta. Lumayan buat beli anggur merah." kelakar Gail.
"Kalian apaan sih ngajakin Kris gak bener. Gausah balapan Kris. Aku gak suka." rajuk Khanza.
"Lumayan Za. 10 juta." ucap Kris mencoba nego.
"Kalau kamu butuh uang. Minta sama papa aku nanti dikasih. Jangankan sepuluh juta. Minta mobil pasti dikasih sama papa."
"Iya yang anak sultan!" teriak Gail dan Niko tepat di telinga Khanza. Memang sudah menjadi rahasia umum kalau Khanza anak orang kaya. Gadis itu selalu dimanja dengan harta kedua orang tuanya.
"Tenang Za. Kali ini gak akan ketahuan sama kakak. Nanti gue jemput lagi ya. Jam sebelas malam!"
"Gak mau. Pokok kamu gak boleh balapan!" rengek Khanza menarik tangan Kris.
"Lo apaan sih Za kok ngatur gue?" tanya Kris tidak suka."
"Kan lo pacar, gue." cicit Khanza.
"Pokok gue nanti harus balapan!" putus Kris final.
"Tapi gue gak suka!" protes Khanza.
"Suka atau tidak suka, gue gak peduli. Nanti gue jemput."
"Gausah jemput. Gue gak mau ikut." ketus Khanza. Lelah menghadapi sifat keras kepala Kris yang sudah mendarah daging.
Saat pulang sekolah pun, Khanza masih enggan berbicara dengan pacarnya. Menurutnya Kris harus menghentikan kenalakannya. Kasihan juga ayah dan bunda Kris terus mengeluh saat bercerita dengan papanya.
"Pulang bareng gue!" ajak Kris menarik tangan Khanza. Khanza diam saja. Kalau dia gak pulang dengan Kris, mau pulang dengan siapa. Papanya kerja. Gak bisa di telfon.
"Za. Mulai saat ini. Kita manggilnya gak boleh lo-gue. Tapi aku-kamu!" ucap Kris dengan tegas.
"Kenapa?"
"Biar romantis lah, gitu aja gak peka." ketus Kris menonyor kening Khanza.
"Hih jangan main nonyor aja. Lo pikir gak sakit?"
"Kok pake Lo sih? Aku-kamu, Za. Sekali lagi salah. Bakal aku cium!" ancam Khanza.
"Gak boleh m***m. Ayo pulang!"
"m***m ku masih wajar. Kan cuma cium."
"Bodo amat!"
"Ntar kalau tau rasanya cipokan, kamu bakal ketagihan. Apalagi kalau aku grepe-grepe."
"Gausah m***m m***m deh!" kesal Khanza menabok punggung Kris. Kris melihat wajah Khanza yang dihiasi semburat merah. Ia terkekeh pelan. Sahabat kecilnya yang dulu sangat tembem, mungil dan menyebalkan. Kini jadi remaja yang cantik, tinggi dan ramping.
__________
Sesampainya di rumah, bukannya langsung masuk trus istirahat. Kris malah mengambil kanebo dan cairan pengkilat motor. Malam ini motornya harus tampil keren untuk balapan. Ia yakin, hari ini ia tak akan ketahuan kakaknya lagi.
"Kris, masuk rumah. Sholat trus makan!" pekik Mika kala melihat anaknya sudah pulang tapi malah membersihkan motor.
"Eh bunda. Iya bun!" jawab Kris mendekati bundanya. Remaja itu mencium pipi Mika dengan mesra.
"Makin cantik aja bun, pantesan ayah bucin banget sama bunda." ucap Kris dengan terkekeh.
"Tumben muji-muji. Pasti ada maunya." selidik Mika.
"Aku ini bukan ayah yang sering pamrih. Kris mujinya iklas." ucap Kris dengan bangga. Ini sebagian dari rencana Kris. Langkah awal yaitu memuji Mika.
"Bun, Kris udah hafal dua juz nih. Nanti bunda dengerin ya, sekalian nanti koreksi kalau ada yang salah." ujar Kris dengan senyum manisnya.
"Beneran udah hafal dua Juz? Kok bunda gak yakin ya."
"Ih bunda. Kris masuk dulu. Pokok nanti malam bunda harus dengerin Kris ngaji."
"Iya iya sana sholat dulu."
Kris tidak bohong kalau dia sudah hafal Al-Quran dua Juz. Walau masih Dua, itu merupakan hal yang patut ia banggakan. Setidaknya itu mampu membuat bunda Mika senang dengan pencapaiannya. Kris, remaja yang masih labil labilnya. Masih gampang terpengaruh dengan teman. Di rumah, ia tak pernah meninggalkan sholat, khusuk mengaji dan hafalan. Tapi, kalau sudah di luar. Diajak mabuk, ia pun juga mau.
Malamnya, Mika menyimak hafalan Kris. Kris menghafal sangat baik, makhraj nya juga sangat pas. Setelah mangaji, Mika mengusap kepala Kris dengan sayang. "Anak bunda makin pinter, jadilah anak yang sholeh. Jangan kecewain ayah bunda." nasihat Mika yang diangguki Kris.
Nyatanya, nasihat Mika hanya masuk telinga kanan, kaluar telinga kiri. Hilang di telan angin. Jam setengah dua belas, ia sudah bersiap siap untuk pergi balapan.
"Kakak! Temenin tidur dong!" rengek Keyara yang tiba tiba masuk ke kamar kakanya.
"Hah?"
"Kakak mau kemana malam-malam begini?" selidik Keyara.
"Hust diam. Jangan bilang macem-macem sama bunda." bisik Kris. "Sini aku kelonin dulu, tapi jangan bilang sama bunda kalau kak Kris lagi main."
Keyara mengangguk. Kebiasaan dari kecil kalau takut sendiri, pasti akan tidur dengan Kris. Keyara menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Kris meyusul untuk mengusap punggung adiknya. Se badung apapun kris, ia sangat menyayangi adiknya. Adik satu satunya yang bisa ia manfaatkan untuk menutupi semua kebobrokannya.
"Kakak mau balapan ya?" tanya Keyara menyelidik.
"Cepet tidur ah, ngomong lagi gue cabein tuh mulut." ujar Kris.
"Ditanya baik baik malah nyolot," sewot Keyara.
"Tidur ya, sayangnya kakak. Kakak harus ke tempat balapan jam dua belas. Besok kakak traktir es krim deh." bisik Kris yang langsung diangguki Keyara.
"Kakak hati hati ya. Aku takut kakak ketahuan polisi. Trus di penjara."
"Polisi mah diajak ngopi langsung damai." kelakar Kris sambil tertawa. Setelah adiknya tidur, ia bergegas turun untuk ke garasi. Untung kakaknya sedang tidak ada di rumah. Ia bisa aman keluar.
Disisi lain, Khanza bergerak tidak nyaman dalam tidurnya. Ia khawatir dengan Kris. Bukan khawatir Kris akan kalah. Tapi khawatir terjadi sesuatu dengan Kris. Resiko balapan, kalau gak kecelakaan pasti di grebek polisi. Khanza sudah berkali kali menelfon, tapi tidak diangkat. Kecemasannya makin menjadi saat Gail dan Niko juga sama sekali tak bisa di hubungi.
Jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Hari kemenangan untuk Kris. Dia beratraksi dengan motornya yang sontak membuat ricuh kaum hawa. Botol bir dan putung rokok berserakan dimana mana. Wajar kalau balapan liar sangat meresahkan masyarakat. Anak muda dengan segala tingkah buruknya menjadi momok para pengguna jalan lain. Menaiki motor dengan ugal ugalan seolah jalan milik neneknya sendiri.
Dalam senyap tanpa sirine. Polisi polisi itu bergerak cepat. Meringkus semua yang ada di tempat tanpa bisa kabur. Kris mengumpat dalam diam. Hari yang sangat s**l. Baru aja dia dilambungkan dengan kemenangan uang sepuluh juta. Tapi harus di ringkus pak polisi. Kalau gini namanya, bersenang senang dahulu, menderita kemudian.
Kris dan yang lainnya di masukkan dalam satu sel yang sama. Sempit, himpit himpitan. Belum lagi mendengar bentakan dan ceramah dari pak polisi yang membuat telinga panas.
"Cepat hubungi orang tua masing-masing!" bentak pak Polisi sambil memukulkan kayu di jeruji.
"Galak banget sih pak." celetuk Gail yang memang lebih parah songongnya.
"Bia mati dibantai Keenan, gue. Kalau hubungin ayah bunda. Ckckck." ujar Kris meratapi nasibnya. Kalau Gail dan Niko, mereka santai karena papa mereka tidak masalah. Pasti papa mereka langsung datang dan membawa mereka pulang dengan selamat tanpa ngomel ngomel. Kalau dirinya, dari rumah di bentak bentak sang ayah, belum lagi dapat jotosan dari kakak laknatnya.
Kris membuka hp nya. Banyak panggilan tak terjawab dari pacarnya. Kris jadi kasihan sudah membuat Khanza khawatir. Ia berinisiatif menelfon balik pacarnya.
"Halo Kris, kamu baik baik aja kan?" tanya Khanza ketika telefon tersambung.
"Gak pernah sebaik ini. Apalagi dengen suara kamu." jawab Kris terkekeh lebar.
"Kamu udah pulang, Kris?"
"Udah, lagi rebahan di-"
"Bohong Za! Nih kita lagi di kantor polisi. Tercyduk balapan!" sela Gail cepat. Kris menatapnya tajam. Buru buru Kris mematikan telfonnya.
"Lo punya mulut ember banget kayak emak emak rempong," kesal Kris menonyor kening Gail.
"Lo bodoh! Dalam sebuah hubungan harus ada kejujuran. Lo bercita-cita jadi Kyai. Gini aja gak ngerti." oceh Gail yang membuat semua orang menutup telinga panas.
"Gue gak mau buat pacar gue khawatir,"
"Baru punya pacar aja sok-sok an. Kencing belum lurus gayanya selangit." ucap pak Polisi yang mendengar celotehan para anak muda pembuat onar itu.
"Waah parah pak polisi. Ini namanya menjatuhkan harga diri. Kok pak polisi tau kalau aku kencing belum lurus? Pak polisi ngintip ya?" selidik Kris yang membuat orang lain tertawa. Beda dengan pak polisi itu yang menjambak rambut Kris dari sela sela jeruji.
"Jangan songong kamu. Aku tau siapa ayahmu. Regan Argenta Ferdian, Dirut Ferdian group, kan?" tanya pak polisi dengan senyum mengejek. Kris membulatkan matanya. Ini gawat, bisa bisa dia dilaporkan pada ayahnya.
"Pak polisi yang baik hati, ntar Kris traktir ngopi ya." ucap kris dengan ekspresi dibuat seiumut mungkin.
"Gak mempan!" kata polisi itu.
"Anjir jijik gue lihat wajah lo!" ucap Niko memalingkan wajah Kris dengan tangannya.
"Lagian lo yang salah. Anak baik-baik gini lo ajakin balapan." protes Kris. Ia ingat, kalau Niko yang telah menawarinya ikut balapan.
"Kok gue? Lo kan juga mau." elak Niko.
"Kalau lo gak bujuk, gue juga gak mau!" teriak Kris.
"Lo yang salah. Mau aja di bujuk setan!" saut Gail menonyor kening Kris.
Plak!
Niko menabok pipi Gail dengan keras "Lo dukung gue apa Kris? Ngapain lo katain gue setan?"
"Gue dukung yang menguntungkan." jawab Gail cengengesan.
"Yok gelud yokk. Gue wasitnya!" kata Aldi yang ikut menimpali.
"Gelud! gelud! gelud!" teriakan dari anak-anak lambe turah membuat para polisi menghampiri mereka.
"Woyy bisa diam gak?"
"Ini pak ada yang adu jotos!" ucap Gail yang mendapat pelototan tajam dari Kris dan Niko.
"Masih gue pantau," ucap Kris tertawa sinis.
"Diamku membunuhmu," sinis Niko tertawa setan.
"Sudah jangan berantem. Kris, Niko, Gail, Aldi, Fero, Nike, Sintia, bisa keluar. Orang tua kalian menjemput." ujar pak polisi yang membuat mereka senang. Mereka yang senang, beda dengan Kris yang takut. Ia gemeteran, tak bisa ia bayangkan marahnya sang raja singa Regan Argenta Ferdian, yang sayangnya juga ayahnya.
"Kris cepetan!" ajak Gail. Kris tampak ogah ogahan keluar. Ia tidak mau ketemu ayahnya. Pasti ngamuknya tidak tanggung-tanggung.
"Kris, lo lemot banget sih!" kesal Niko mendorong tubuh Kris. Gail dan Niko seolah sangat senang mengantarkannya dalam pintu kemurkaan.
Kris berjalan pelan. Dalam hati merapalkan doa agar terhindar dari amukan Regan. Kris memilin ujung kaos nya karena gemeteran.
"Kris kamu gakpapa kan? Aku khawatir sama kamu." Khanza memeluk tubuh Kris dengan erat. Kris kaget mendapat pelukan tiba tiba dari Khanza. Apalagi saat melihat papa Khanza duduk di kursi depan pak polisi sambil memandang Kris dengan senyum mengejeknya.
"Saya kesini untuk menjemput, Kris. Ayahnya yang mewakilkannya." kata Fandy sopan. Setelah acara ceramah dan tanda tangan materai. Fandy keluar dari ruangan pengap membawa serta Kris dan Khanza.
"Om!" panggil Kris yang hanya dibalas Fandy dengan menaikkan sebelah alisnya. Sok kegantengen padahal udah tua.
"Bener ayah yang mewakilkan pada, Om?" tanya Kris penasaran. Lantas Fandy langsung merangkul bahu Kris.
"Kamu tenang aja. Ayahmu gak tau. Tadi Khanza yang minta om buat jemput kamu. Lagin kamu ada ada aja. Gitu aja tercyduk polisi. Kamu kurang cerdas!" ejek Fandy yang membuat Kris merengut.
"Kamu nginep di rumah, om. Nanti biar om yang urus ayahmu. Ini sudah jam empat pagi, nanti bolos aja sekolahnya." Kris tersenyum. Om Fandy memang yang terbaik menurutnya. Kris memandang Khanza. Unchhh rasanya makin cinta.