PROLOG

976 Words
"Neng buruan dong."             "Ih ini malah di tinggal ngobrol. Antrian nya panjang mbak. Anak saya udah rewel ini."               "Nona-nona gigi saya udah sakit sejak tadi. Di tungguin juga."               "Obat nya mana?"               Aku menatap panik ke arah para pasien yang sudah mengantri di loket pengambilan obat. Aku langsung berbalik dan mengangguk ke arah semuanya. Mira yang sejak tadi ikutan ngerumpi denganku  langsung kembali lagi ke botol-botol obat dan resep yang ada di layar monitor. Kami berdua pasti terkena semprotan lagi nantinya. Sudah membuat puskesmas pagi ini menjadi seperti pasar karena keributan yang baru saja terjadi.             "Lo sih ngajakin ngegosip." Senggolan lengan Mira di bahuku membuat aku menyeringai lebar. Aku tahu kok. Aku  memang yang memulai acara ngerumpi mereka pagi ini.             "Maaf deh. Gue kilap deh. Udah di selesaiin. Ntar kita kena semprot lagi sama si dokter itu.." Mira langsung mengangguk paham dan kini meneruskan kegiatannya. Sedangkan aku  mencoba menenangkan pasien-pasien yang sudah menatapku dengan kesal.             "Iya pak, bu. Sebentar ya. Mohon antri nanti namanya dipanggil kalau resep obatnya sudah di buat ya."             "Huuuuuuuuuu" Terdengar teriakan dari orang-orang yang bergerombol di depan loket obat. Akhirnya aku bisa menghela nafas lega karena antrian itu kembali tenang. Setidaknya untuk 1 menit. Karena berikutnya aku sudah langsung pucat pasi saat melihat siapa yang berjalan ke arah loket obat.             "Mati Mir. " Mira langsung menoleh ke arahku. Dan wajah temanku itu juga sama pucatnya.             "Udah buruan deh. Lo duduk dan panggil nih nama pasiennya." Mira memberikan obat-obat yang baru saja di selesaikannya. Dan aku bergegas duduk kembali di balik meja dan mulai memanggil nama-nama pasien. Tepat saat orang yang kami takuti masuk ke dalam ruangan itu.               "Ini di minum 3 kali setelah makan ya bu." Aku  tidak berani menoleh ke samping. Aku hanya terus berkonsentrasi kepekerjaan.. Mira yang duduk di belakangku yang menyapa kedatangan orang itu.             "Pagi dokter." Aku  mendengar temanku itu mulai bersikap manis. Tapi tidak ada jawaban juga dari orang itu. Akhirnya kuberanikan diri untuk menoleh ke arah pria yang kini sudah berdiri menjulang di sampingku. Dan mencoba tersenyum kaku.             "Heheheh..pagi Dokter Sam." Pria berkacamata itu hanya menatapnya dingin.             "Kalian berdua keruangan saya setelah ini." ******             Kuusap dadaku. Membaca bismilah terus menerus saat melangkah menuju tempat yang akan mengeksekusiku. Rela mengorbankan diriku sendiri dan membiarkan Mira terlepas dari masalah ini. Aku  memang yang membuat masalah.             "Loh Wi kenapa belum pulang? Puskesmas sudah mau tutup juga. Pasien udah dari tadi pulang. Lo mau ngapain coba? Biasanya juga lo udah menghilang." Edo. Salah satu perawat yang bertugas di puskesmas ini mencegatku di lorong.             “Haaa ada misi gue." Ucapanku malah membuat Edo mengernyitkan keningnya. "Misi apaan?" Aku  menyeringai lebar. Lalu mendekat ke arah Edo. "Misi melumerkan es batu." Kali ini alis terangkat dari wajah Edo. Tapi kemudian pria itu terkekeh.             "Jangan katakan lagi Lo dipanggil ama dokter Sam. Mampus lo Wi." Kupelototkan matak ke  arah Edo.             "Malah doain gue. Lo kan seneng kalau dokter dingin nan galak itu pindah dari sini? Kali aja dia gak betah ama kelakuan gue terus go out." Edo malah makin membelalak mendengar ucapannya.             "Ya udah. Selamat melumerkan deh. Tapi jangan nangis-nangis ke gue ntar. Kalau lo di pindah dari puskesmas ini." Tentu saja aku langsung menggerutu mendengar ucapan Edo. Aku langsung melangkah menjauh dari Edo. Dan membuat pria itu tergelak.               Akhirnya aku sampai di depan pintu ruangan dokter Sam. Dokter umum yang di tugaskan di puskesmas ini. Ruangan yang sudah sangat sering aku kunjungi karena aku selalu dan selalu mendapat teguran.             "Masuk." Sebelum Dewi sempat mengetuk pintu suara berat di dalam membuatnya akhirnya membuka pintu berwarna putih itu.             "Siang dok." Aku masuk ke dalam ruangan.  Dan melihat Dokter Sam tidak mengangkat wajahnya sedikitpun ke arahku. Pria itu sudah menggantung snellinya di sandaran kursi yang di dudukinya.             "Jangan terlalu lama menyita waktuku. Sekarang jelaskan kali ini apa yang membuat heboh loket obat?" Suara itu. Pertanyaan itu selalu dan selalu membuat aku meringis. Aku memang selalu tidak bisa menahan mulut. Terlalu cerewet dan bawel memang. Tapi itu kan salah satu sifatku yang disukai semua orang. Senang karena mempunyai banyak teman dengan kesupelan dan kecerewetanku. Hanya saja aku memang kadang sedikit berlebihan. Suka tidak kenal waktu dan tempat untuk mulutku yang cerewet ini.             "Ya kan alasannya sama Dok. Saya di protes karena..." Aku terkesiap saat Dokter Sam kini mengangkat wajahnya dari buku yang baru di bacanya. Membenarkan kaca matanya dan kini menatapku dengan datar dan dingin.             "Karena kamu tidak becus bekerja. Apa yang bisa membuat kamu diam untuk sebentar?"             Aku langsung mengernyitkan kening. Tidak paham dengan ucapan dokter muda di depanku.  "Maksudnya?" Dokter Sam kini makin kesal menatapku.             "Apa yang bisa membuatmu diam?" Kutepuk dahiku sendiri karena paham apa yang di maksud.             "Owh  itu ...hehe makanan dok. Saya  kalau lagi makan pasti diam dan..."             "Ok. Mulai besok aku bawakan makanan." Aku kembali mengernyit.             "Lah kalau itu mah saya juga udah bawa dok.  Udah di bawain sama emak saya. Bekal buat makan pagi dan siang. Ada oseng tempe, terancam, sambal terasi dan..." Kuhentikan ucapanku saat melihat tatapan kesal dari Dokter Sam.             "Aku sibuk. Silakan  keluar."             "Hah?" Aku masih terkejut dengan ucapan Dokter Sam.               "Saya gak di skors lagi nih dok. Minggu kemarin kan saya di skors. Kirain dokter mau pindahin saya..." Aku kembali tersenyum kecut saat dokter Sam hanya diam dan kini menatapku dengan dingin lagi dari balik kacamatanya  dan akupun paham. Aku langsung beringsut dari tempatku berdiri.             "Owh  iya maaf dok. Saya permisi." Aku langsung berbalik dan segera membuka pintu. Lalu menutupnya kembali. Bersandar di pintu untuk sesaat.  Mana bisa aku melumerkan pria itu. Kalau es batu ya tetap es batu.  "Huuu dasar es batu. Ngapain juga nyuruh gue ke sini kalau cuma di kasih tatapan dingin kayak gitu. Dasar..."             Tiba-tiba pintu terbuka dan membuat aku terjengkang ke belakang. Aku benar-benar terkejut saat menyeimbangkan diri. Dan berdiri kikuk saat Dokter Sam menatapku dengan mengintimidasi. Tentu saja aku langsung membalikkan badan dan melangkah dengan cepat. Meninggalkan dokter dingin itu. Azka Samudra.              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD