"Hatsyiiii...hatsyii.."
"Eh lo kenapa Wi? Sakit ya?" Aku menyeka hidung dengan tisu yang ada di atas meja. Hanya bisa menganggukkan kepala saat Mira menatapku dengan prihatin. Pagi ini aku benar-benar menggigil. Kepala pening. Gara-gara kemarin pulang kehujanan. Aku dendam dengan si sam itu. Kejam. "Ya udah ijin gak masuk aja deh." Mira mulai meletakkan telapak tangannya di keningku. "Atau periksa gih. Sama Dokter Sam. Mumpung pasien belum banyak."
Aku langsung menggelengkan kepala. Enggak lagi. Sudah cukup berurusan dengan si kulkas itu. Adanya Nanti Aku malah makin menggigil. "Enggak. Udah minum s**u anget tadi berangkat ke sini." Mira menatapku dengan prihatin.
"Ya udah lo nanti kalau gak kuat bilang deh ya. Biar gue panggilin si Samsul buat gantiin lo." Aku kembali menganggukkan kepala. Kembali bersin lagi. Dan aku segera mengambil masker yang ada di dalam tasku. Langsung memakainya.
Kemarin sampai rumah aku basah kuyup karena harus membawa payung dan motor maticku. Dasar emang kejem. Kayak gitu mau di jodohin sama aku. No way.
"Dia kan udah mapan Wik. Baik kok orangnya. Kakak udah bersahabat ama dia itu dari kecil. Beneran. Orangnya baik." Aku masih terngiang ucapan Kak Cella saat kemarin aku protes kepada Kak Cella tentang acara perjodohan ini. Bunda juga mendukung, ayah apalagi begitu di ceritain sama Kak Cella kalau si kulkas itu sahabatnya dan seorang dokter.
"Lah kamu pacaran juga putus terus kok Wi. Udah sama yang mapan aja. Ayah setuju."
Aku segera menggelengkan kepala lagi untuk mengenyahkan semua yang ada di kepalaku. Memangnya jaman now masih ada apa acara perjodohan?
"Hindia. Ke ruanganku." Astaga! Aku terperanjat saat acara melamunku diganggu oleh si kulkas. Suaranya saja sudah membuat ruangan ini berubah menjadi salju.
Aku hanya menatapnya saat dia sudah ada di ambang pintu. Dengan snelli dan stetoskop terkalung di lehernya dia beneran kayak dokter. Lah dia emang dokter ya? Aduh otakku membeku.
"Eh dokter Sam. Udah selesai pasiennya?" Tiba-tiba dokter Nelly. Dokter gigi di sini masuk ke dalam ruangan dan menyapa dokter Sam yang masih saja menatapku dengan tajam.
Aku bisa melihat Dokter Sam hanya menganggukkan kepala
"Dewi aku tunggu." Setelah mengatakan itu dia segera keluar dari ruangan ini. Astaga sama siapapun kok ya dia dingin banget.
"Cool ya." Dokter Nelly tersenyum kepadaku dan Mira dan menunjuk kepergian Dokter Sam. Aku hanya tersenyum masam.
"Kulkas iya dok." Dan tawa Dokter Nelly yang renyah membuat aku ikut tersenyum. Bahkan Mira yang kali ini terbahak.
"Udah sana di suruh ke ruangannya." Mira menyenggol lenganku. Dan aku menghembuskan nafas lelah. Kenapa harus aku lagi?
*****
"Siang dok." Aku membuka pintu ruangan si kulkas dan mendapati dia tengah sibuk menulis di atas meja. Dia hanya menatapku sebentar lalu membenarkan kacamata yang dipakainya. Dia menunjuk kursi yang ada di depannya menyuruhku untuk duduk.
"Saya dipanggil ke sini ada apa lagi Ya? Saya kan gak cerewet bahkan diam aja dari tadi"
Dokter Sam kini menatapku dan mengernyitkan keningnya.
"Itu pakai masker?" Dia menunjuk maskerku yang masih menutupi mulut dan hidung.
"Pilek." Mendengar jawabanku dia kembali mengernyitkan keningnya.
"Kan udah aku kasih payung."Jawabannya membuat aku mendengus sebal. Aku segera membuka maskerku biar bicaraku jelas. "Dok. Coba bayangin deh. Hujan lebat gitu bawa motor dan pakai payung. Yang ada saya jatuh kalau harus naik motor dan bawa payung."
Dokter Sam makin menautkan alis tebalnya. Dia hanya mengernyit lagi. Tapi kemudian menatapku dengan tajam.
"Payungnya sekarang mana?" Astaga! Ini orang.
"Ya enggak saya bawa. Repot bawa payung...hatsyii..."
Aku terkejut dengan bersinku sendiri dan membuat Dokter Sam langsung menatapku kesal.
Dia beranjak dari duduknya lalu menunjuk brankar yang ada di sebelahnya.
"Tidur."
"Hah?" Aku melongo saat dia menunjuk brankar itu. "Saya mending tidur di rumah aja. Ngapain di sini " Dokter Sam kini malah berdecak sebal lagi. Heran itu muka kok setiap hari kesal terus.
"Tidur. Cepet." Aku tentu saja beranjak dari dudukku dan siap akan membuka pintu. Enak saja dia memerintahku."Aku periksa kamu."
Nah mendengar ucapannya itu aku tentu saja menatapnya dengan ragu. Dia mau memeriksaku? Gak salah denger?
Akhirnya aku melangkah mendekat ke arah brankar. Dan duduk di tepinya. Dokter Sam masih mengamatiku. Tapi kemudian aku terkejut saat tangannya berada di keningku. Ah tangannya bener-bener adem. Membuat keningku yang tadi terasa panas jadi enak.
Dia lalu memakai stetoskop nya dan mulai memeriksaku. Tentu saja badanku kaku. Sedekat ini dengan si kulkas.
"Mau aku suntik atau obat saja?"
"Hah?” Aku kembali melongo mendengar ucapannya. Dia berdecak sebal lagi. Itu kata suntik itu yang membuat aku terkejut.
"Ah. Enggak dok. Obat aja. Obat.". Aku takut di suntik. Sungguh.Dokter Sam mengamatiku.
"Kenapa? Takut di suntik?" Aku langsung menganggukkan kepala. Dan membuat Dokter Sam mengulas senyumnya. Beneran kan ini dia senyum? Meski senyum itu hanya berupa garis melengkung yang samar di bibirnya.
"Aku buatkan resep." Dokter Sam sudah berbalik dan duduk lagi di kursinya. Lalu mencoret-coret kertas resep. Aku turun dari atas brankar dan ikut duduk di depan Dokter Sam.
"Beli di apotek saja. Obatnya yang enggak generik. Biar cepet sembuh.'Aku menerima resep itu dan membacanya. Lalu menatap Dokter Sam.
"Ini obat mahal semua dok. Pakai yang di sini gak apa-apa cuma pilek ini." Aku menghitung uang yang ada di dompet ku. Kan tanggal tua mana bisa aku nebus obat segini. Gajiku juga udah aku depositokan biar gak boros.
Dokter Sam malah merebut kembali resep itu. Lalu beranjak dari duduknya. Lah dia ini gimana sih? Aku bisa melihat dia membuka snelli dan melepas stetoskop nya. Lalu mengambil tasnya.
"Lah resep saya dok." Dokter Sam kembali menatapku dengan masam.
"Antarkan aku ke rumah kamu. Ambil payung. " Astaga! Ini orang maunya apa sih? Payung apa Obat? Haiiiissshhh... puyeeeng.