Sial Lagi!

1415 Words
Annisa terkekeh kecil, meskipun hatinya merasa berdebar-debar. "Ah, gak mungkin, Tik! Dia udah kepala tiga, masa suka sama mahasiswa, umur segitu udah nikah kali. Argh, kalian jangan ngada-ngada deh," katanya mencoba meredakan kegelisahan. "Nggak ada yang tahu soal status Pak De, ya kan jadi bisa dikatakan fiveteen fiveteen," sela Ratu. "Iya, lima puluh persen lagi dia bisa aja udah nikah! Aduh udah deh malah ngomongin Pak De, ayo masuk kelas," saru Annisa yang badmood. Annisa merasa badmood ketika mendengar komentar-komentar dari Tika dan Ratu. Wajahnya tertekuk lesu, dan matanya seketika sayu. Dia merasa aneh dengan pernyataan mereka yang menyebut bahwa Dewa mungkin suka padanya. Pikiran itu terus menghantuinya sepanjang perjalanan menuju kelas. Di dalam kelas, Annisa duduk dengan tubuh yang tegang, wajahnya agak murung. Dia memperhatikan infokus tanpa benar-benar melihat, pikirannya melayang-layang pada apa yang mungkin akan dihadapinya nanti dengan Dewa. Tika dan Ratu mencoba mengalihkan perhatian Annisa dengan mengobrol tentang hal-hal lain, tapi Annisa tetap terjebak dalam pikiran yang gelisah. Saat Annisa melamun, Tika menyentil Ratu dan dengan nada becanda berkata, "Ratu, lihat deh si Annisa, dia kayaknya tegang mau diajak kencan sama Pak Dewa," sambil terkekeh. Ratu mengangguk setuju, "Ah, iya kayaknya dia mau diajakin kencan." Annisa merasa jengkel mendengar komentar mereka. "Sttt, gue denger apa yang kalian omongin, kencan, kencan! Kalian nambahin setres pikiran gue tahu nggak!" bisik Annisa dengan geram. "Yeeelah, jangan sewot gitu napa. Lo, semenjak pacaran sama si Rangga hidup lo tegang banget," kata Ratu mencoba menenangkan Annisa. Annisa merasa dadanya sesak mendengar nama yang disebutkan oleh Ratu. "Ya iya si Rangga, udah putusin aja. Cowo toxic gitu masih lo pertahanin," tambah Tika. Setelah dosen menyudahi jam kelas dan keluar dari ruangan, Annisa, Tika, dan Ratu berjalan ke depan kelas. Mereka berdua mencoba menemani Annisa sampai Dewa datang, mereka begitu penasaran kebenaran Dewa yang menyuruh Annisa menemaninya ke suatu tempat. Namun, begitu mereka tiba di depan kampus, Annisa berbalik pada Tika dan Ratu dengan wajah serius. "Kalian ngapain?" tanya Annisa. "Nungguin sampe Pak De dateng," kata Ratu kemudian diangguki oleh Tika. "Astaga, kalian ini! Kepo banget si. Udah kalain pulang aja sana! Gue sendirian aja!" ujarnya mantap. Tika dan Ratu saling bertatapan, mencoba membaca ekspresi Annisa. Raut wajah mereka penuh dengan kekhawatiran dan rasa ingin tahu. "Hmmm, beneran nih? Kita mau mastiin aja loh kalau Pak De itu beneran minta hukuman itu," kata Ratu, mencoba menguatkan dirinya sendiri. "Iya iya, kita juga harus mastiin lo nggak kenapa-kenapa, Nis," sambung Tika, mencoba memberikan dukungan pada Annisa. "Beneran, gue bisa kok sendiri, dah ya sana pulang," kata Annisa dengan mantap, meskipun dia bisa merasakan kekhawatiran yang terpancar dari wajah Tika dan Ratu. Tika dan Ratu bertukar pandang, masih merasa ragu untuk meninggalkan Annisa sendirian. "Oke deh, jangan lupa nanti lo cerita ya," pesan Ratu seraya berjalan meninggalkan Annisa di tepi jalan. Annisa melambaikan tangan pada mereka yang pergi. Dia menunggu dengan tegang di tepi jalan. Tidak lama kemudian, sebuah mobil terparkir di depan Annisa. Kaca mobil terbuka, dan seseorang menyuruh Annisa masuk ke dalam. Annisa melangkah dengan hati-hati, memasuki mobil. Dewa memperhatikan wajah Annisa yang pucat pasi seraya dia menyetir mobil dengan hati-hati. Annisa merasa gugup dan penasaran, bertanya-tanya dalam hati tujuan mereka. "Pak, maaf, tujuan kita mau ke mana?" tanya Annisa dengan suara ragu. Dewa tersenyum ramah. "Kita akan ke panti asuhan," jawabnya sambil tetap fokus mengemudi. Annisa terkejut mendengar jawaban tersebut. "Hah, panti asuhan?" gumamnya pelan. Pikirannya berkecamuk, mencoba mencari tahu alasan di balik perjalanan mereka ke sana. Dengan perasaan campur aduk, Annisa memilih untuk diam dan mengikuti arahan Dewa. Hatinya berdebar-debar, tidak sabar untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya di panti asuhan. Sesampainya di sebuah panti asuhan Harapan Bunda, mobil terhenti, dan Dewa bertanya pada Annisa, "Apakah kamu bisa mengoperasikan kamera?" Seraya ia meraih kamera dijok penumpang. Annisa menggeleng ragu, "Nggak, Pak." Dewa tersenyum ramah, "Tidak masalah. Saya akan mengajarimu cara mengoperasikan kamera dengan sederhana." Dia kemudian memberikan arahan langkah demi langkah pada Annisa dengan membuka kamera dengan sabar menjelaskan setiap tombol dan fungsi kamera hingga Annisa mengerti sepenuhnya. Setelah beberapa percobaan dan penjelasan, Annisa mulai memahami. Dewa menjelaskan pada Annisa, "Kita datang ke panti asuhan ini karena ada acara santunan. Tugasmu adalah untuk mendokumentasikan kegiatan selama di sana. Kamu akan menjadi fotografer resmi kita hari ini." Annisa merasa terkejut dan cemas. "Hah, Pak nggak salah? Saya nggak profesional Pak. Bisa pake handphone aja nggak pak?" tawar Annisa seraya ia menggenggam kamera di tangannya, ekspresinya mencerminkan keraguan. "Nis, kita nggak ada waktu lagi. Udah kamu kan udah ngerti, lakuin aja sesuai sama arah saya tadi, paham?" kata Dewa sambil membuka seat belt dan bersiap untuk keluar dari mobil. Annisa merasa tertekan. "Hmm, ha ... hah," ucapnya ragu, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Hah hoh hah hoh, ayo keluar!" titah Dewa dengan tegas. Akhirnya, Annisa keluar dari mobil dan membuntuti langkah Dewa. Dewa berbalik badan, "Gimana kamu siap nggak?" "Siap apa pak?" tanya Annisa, masih merasa bingung. "Pilihannya mau masuk ke dalam atau kamu ngulang mata kuliah saya." Annisa merasa tertegun dengan pilihan yang diberikan oleh Dewa. "Ah, Pak kok begitu. Iya iya sama siap pak. Saya paham kok," jawabnya dengan cemas, mencoba menyembunyikan kebingungannya. Di panti asuhan, Annisa dengan cermat memotret setiap momen dari acara santunan tersebut. Dia berusaha untuk mengabadikan setiap senyum, setiap kebahagiaan, dan setiap momen berharga yang terjadi di sana. Meskipun awalnya ragu dengan kemampuannya, Annisa mautidak mau harus melakukan hal tersebut karena ia tidak ingin mengulang mata kuliah Dewa. Setelah acara selesai, Annisa dan Dewa kembali ke mobil untuk pulang. Dewa, yang duduk di kursi, mengambil kamera dari Annisa untuk memeriksa hasil kerjanya. Saat Dewa meninjau video yang diambil Annisa, wajahnya tiba-tiba berubah serius. "Ini apa, Annisa?" tanyanya dengan suara yang agak kecewa. Annisa merasa tertegun oleh reaksi Dewa. "Maaf, Pak Dewa. Saya berusaha melakukan yang terbaik," ujarnya dengan nada cemas, mencoba membela diri. Dewa menggeleng dengan ekspresi sedikit kecewa. "Ini bukan tentang berusaha yang terbaik, Annisa. Ini tentang hasilnya. Kamu harus lebih fokus dan serius dalam melakukan pekerjaanmu. Ini tidak cukup baik." Annisa merasa hancur mendengar kritik Dewa. Hatinya terasa berat, dan dia merasa seperti semua usahanya sia-sia. Dewa melihat ekspresi kesedihan di wajah Annisa dan segera berkata, "Maaf, Annisa. Saya tidak bermaksud membuatmu merasa seperti ini. Tapi kamu harus memahami bahwa kita harus selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam setiap hal yang kita lakukan." Annisa mengangguk, meskipun hatinya masih terasa hancur. Dewa menarik nafas dalam-dalam. "Annisa, maaf ya, tapi aku harus kembali ke kampus sekarang juga. Daya punya urusan mendesak." Annisa menelan ludah, merasa semakin tertekan dengan situasi ini. "Ba-bagaimana dengan video dokumentasi tadi, Pak?" tanyanya ragu. Dewa menggeleng pelan. "Kali ini, mungkin lebih baik aku yang melanjutkannya sendiri. Kamu sudah cukup membantu hari ini. Ayo, keluar dari mobil. Kamu pulang aja." Annisa merasa campur aduk. Dia merasa kesal dan sedih atas kritik yang dia terima sebelumnya, ditambah lagi dengan keputusan Dewa untuk melanjutkan tugas tanpa dirinya. Namun, dia tidak punya pilihan selain mematuhinya. Dengan hati yang berat, Annisa keluar dari mobil. Dewa memutar kunci dan melajukan mobilnya meninggal Annisa di depan panti asuhan. 'Ihh, Pak De nyebelin! Kenapa gue harus berurusan sama dia sih?' teriak Annisa. *** Satu bulan kemudian Annisa duduk di sebuah restoran ramen bersama Tika dan Ratu, menikmati hidangan mereka. Mereka tertawa dan bercerita, menikmati kebersamaan mereka. Namun, tiba-tiba Annisa merasa tidak enak badan saat menikmati ramennya. Wajahnya memucat, dan dia merasa mual. "Tika, Ratu, maaf ya. Gue ke kamar mandi bentar," ucap Annisa dengan suara yang lemah. Dengan langkah tergesa-gesa, Annisa berdiri dan menuju ke kamar mandi. Dia merasa semakin mual, dan ketika dia mencapai kamar mandi, dia langsung muntah semua isi perutnya. Tika dan Ratu yang khawatir segera mengikuti Annisa ke kamar mandi. Mereka mengetuk pintu dan bertanya, "Nis, lo nggak apa-apa kan?" Annisa keluar dari kamar mandi dan dia hanya bisa menggelengkan kepala lemah. "Kayaknya asam lambung gue kumat deh," ujarnya dengan suara yang serak. "Yaudah kita pulang aja gimana?" saran Ratu. "Eh, tapi kita kan masih ada jadwal kuliah, kita antar lo dulu habis itu gue sama Ratu ke kampus, biar kita tenang sama keadaan lo." Annisa hanya bisa mengangguk lemah, Ratu segera mengambil inisiatif dengan memesan taksi online. Mereka duduk bersama-sama di bangku, menunggu dengan gelisah. Tiba-tiba, mual yang tak tertahankan kembali menyergap Annisa. Perutnya terasa berguncang, dan tanpa bisa menahan lagi, Annisa muntah dengan keras di pinggir jalan, di hadapan seorang pria yang tengah lewat. Muntahannya melanda tanpa ampun, memenuhi jalanan dengan aroma yang tidak sedap. Mata Annisa memerah ketika dia menyadari keadaan yang memalukan itu. Ratu dan Tika terkejut, "Pak ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD