Meminta Izin Menikah

1265 Words
Dewa dengan perlahan membantu Annisa memasuki mobil, memperhatikan setiap gerakannya untuk memastikan kenyamanannya di kursi penumpang. Dengan cermat, ia menyesuaikan bantal di belakang Annisa untuk memberikan dukungan tambahan. Sesampainya di kos, Tika dan Ratu sudah menunggu di depan teras dengan ekspresi khawatir yang jelas terpancar di wajah mereka. "Nis!" Annisa disambut oleh Tika dan Ratu yang tampak khawatir. Wajah mereka dipenuhi dengan rasa lega saat melihat Annisa dalam keadaan yang aman. Mereka segera menyambut Annisa dengan pelukan hangat dan kata-kata kelegaan. "Kita khawatir banget sama, lo, Annisa! Kita mau ke rumah sakit juga nggak tahu lo di rumah sakit mana. Ya Allah syukurlah lo udah bisa balik," kata Tika dengan suara yang penuh dengan kelegaan. Annisa tersenyum lemah, merasa bersyukur memiliki teman-teman yang peduli dengannya. "Maafkan gue ya, udah buat kalian khawatir," ucapnya dengan suara serak. Annisa tersenyum tipis, merasa hangat di hati karena memiliki teman-teman yang selalu peduli dengannya. "Maafkan aku telah membuat kalian khawatir," katanya dengan suara serak yang penuh dengan rasa bersyukur. Setelah memastikan bahwa Annisa aman dan ditemani oleh teman-temannya, Dewa pamit, "Hmmm, kalau gitu saya pamit ya. Jangan lupa obatnya diminum. Hmm ... Saya titip Annisa." "Si-siap, Pak. Bapak hati-hati ya!" kata Tika. "Pak Dewa, makasih ya pak," ucap Annisa dengan suara lembut, tatapannya penuh dengan rasa terima kasih. Dewa tersenyum lembut. "Ehm." Tika dan Ratu berdehm, "Ciee pake dititipin segala!" ledek Ratu. Annisa, Tika, dan Ratu mengantar Dewa sampai ke pintu, melambai-lambaikan tangan saat Dewa pergi. *** Dewa tiba di kos Annisa pada pagi hari keesokan harinya dengan tekad yang bulat. Dia ingin berbicara dengan keluarga Annisa dan mengambil tanggung jawab atas apa yang telah terjadi. "Loh kok Pak Dewa ke sini?" tanya Annisa ketika melihat Dewa berjalan kearanya. "Saya sudah berjanji semalam, kalau saya akan nikahin kamu, saya akan jadi ayah dari bayi yang kamu kandungan. Jadi, ayo hari ini kita ke keluarga kamu buat minta restu," kata Dewa. "Hmm, Pak "Dewa, saya sudah tenang," ucap Annisa dengan suara yang tenang tapi penuh dengan ketegasan saat Dewa menyampaikan niatnya. "Saya akan merawat bayi ini sendiri, jadi bapak tidak perlu bertanggung jawab dengan menikahi saya, toh bukan beban buat bapak." Dewa menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak, Annisa. Saya tidak bisa membiarkanmu menghadapi ini sendirian. Saya akan bertanggung jawab, saya akan menikahi kamu sesuai janji saya semalam." Annisa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Hatinya dipenuhi dengan perasaan campur aduk. Meskipun dia menghargai perasaan Dewa, dia juga tidak ingin merasa seperti dia harus diikat oleh rasa tanggung jawab. Dia memandang Annisa dengan mata penuh dengan ketegasan dan kepedulian. "Saya akan selalu ada untukmu, Annisa. Kita akan menghadapi ini bersama-sama," ujarnya dengan suara yang mantap. Annisa merenung sejenak setelah mendengar perkataan Dewa. "Tapi bagaimana kalau keluarga bapak tidak setuju?" tanyanya dengan suara pelan, rasa kekhawatiran terpancar dari matanya. Dewa tersenyum lembut, mencoba memberikan rasa nyaman pada Annisa. "Jangan khawatirkan itu, Annisa. Keluarga saya adalah urusan saya," katanya dengan tegas. "Yang terpenting sekarang adalah kita, dan bagaimana kita menghadapi situasi ini bersama-sama." Annisa merasa sedikit lega mendengar jawaban Dewa. Meskipun masih ada banyak ketidakpastian yang harus mereka hadapi, setidaknya dia tahu bahwa Dewa bersedia untuk berdiri di sisinya dan menghadapi segala hal bersama-sama. Dengan hati yang lebih lega, Annisa mengangguk dan memberi tanda setuju pada Dewa. *** Saat Annisa dan Dewa tiba di rumahnya di Bandung "Teteh, Annisa!" Mereka disambut oleh kehangatan yang menyentuh hati saat dua gadis kecil berlari mendekati Annisa dengan senyuman cerah, memeluknya erat. Annisa tersenyum bahagia melihat kebahagiaan kedua anak kecil itu. "Teteh bawa makanan buat kalian," kata Annisa. Dewa pun mengusap kepala adik-adik Annisa. Namun, senyum Annisa memudar ketika dia melihat ibunya, Rumi, yang berdiri di ambang pintu dengan sikap dingin. Tatapannya menusuk ke dalam hati Annisa, memancarkan ketidaksetujuan yang jelas. "Bu," ucap Annisa seraya menyalami tangan Rumi. Begitu pula Dewa dia menyodorkan tangannya pada Rumi, tetapi tidak disambut dengan baik. Rumi, justru malah masuk ke dalam rumah. Annisa menatap ekspresi Rumu yang begitu kecut dengan kehadiran Dewa, Annisa menatap ke arah Dewa. "Pak, silakan duduk." Dewa pun duduk di ruang tamu. Annisa merasa tegang saat menghampiri ibunya di dapur. Dia merasakan ketegangan yang menggelayuti ruangan saat Rumi menghela napas dan mengajukan pertanyaan tajam sembari membuat minum. "Siapa laki-laki itu?" tanya Rumi dengan suara yang dingin, tatapannya menembus mata Annisa. Annisa menelan ludah, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab. "Dia adalah Pak Dewa, ibu," ujarnya dengan suara yang bergetar sedikit. Rumi mengangguk, ekspresinya tidak berubah. "Dan apa rencanamu sekarang, Annisa? Bukannya kamu ingin fokus kuliah dan karier? Kok sekarang kamu bawa laki-laki?" lanjutnya dengan nada yang tajam. "Kenapa kamu jadi berubah pikiran? Kamu mau nikah kan?" Annisa menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Ibu, aku mengerti apa ibu pikir. Ibu juga benar kalau aku mau minta izin nikah. Tapi aku punya alasan, bu. Aku ini lagi ...," ucapnya tertahankan. Rumi menggelengkan kepala, ekspresinya penuh dengan ketidaksetujuan. "Dulu, kamu tolak dijodohkan dengan orang terkaya di desa kita, yang memiliki kekayaan berhektar-hektar dan lahan pertanian yang luas. Terus sekarang kamu minta izin nikah dengan dia yang cuman seorang guru?" Annisa merasa tertekan mendengar pertanyaan ibunya. Dia tahu bahwa dia harus menjelaskan keputusannya dengan baik, meskipun sulit. "Ibu, Bapak Dewa nggak cuman dosen, karier dia juga bagus, bu. Jadi ibu nggak perlu khawatir," ucapnya dengan suara yang lemah. Rumi hanya menggelengkan kepala dengan sedih, masih tidak bisa menerima keputusan Annisa, Rumi menitikkan air matanya. "Karier bagus aja nggak cukup, Nis! Tetap aja dia itu cuman guru! Liat sekarang adik-adik kamu! Masih sekolah, butuh biaya banyak. Nanti kalau kamu nikah yang cuman guru itu nggak akan bisa kamu biayai lagi! Nanti kamu hamil, punya anak! Andai aja kamu dulu mau nikah sama juragan Kosim, kita nggak akan hidup kaya gini!" papar Rumi sembari menyeka pipinya. Annisa memperhatikan lekat-lekat tangan ibunya itu, Annisa memegang tangannya. "Annisa, udah bilang, ibu jangan mau capek sendiri! Annisa kan udah janji bakalan urus ibu sama adik-adik, asal ibu mau tinggalin laki-laki patriarki itu, bu!" Annisa telunjuknya mengarah ke sama kemari. Rumi menepis tangan Annisa, "Gitu juga dia ayah adik-adik kamu, Nis!" "Tua bangka, sukanya mabok sama kdrt masih ibu pertahin?" Annisa menekankan ucapannya. "Dia juga masih ngasih nafkah kok, Nis buat ibu sama adik-adik kamu." "Ibu bohong kan? Terus kenapa setiap bulan ibu selalu bilang kekurangan uang? Beras nggak ada, biaya apapun suka bilang sama Nis?" "Yaudah kalau kamu mau nikah sama dia, ibu bebasin kamu buat nikah." Rumi memeluk Annisa sembari ia mengelus kepalanya. "Makasih, ibu," ucap Annisa dengan suara yang penuh rasa syukur, meskipun hatinya masih tertekan oleh ketegangan di antara mereka. Rumi hanya mengangguk, ekspresinya masih tegang. "Terserah kamu, Annisa. Tapi pastikan bapak tirimu tidak mengetahui hal ini. Ibu mau masalah yang lebih besar terjadi," ucapnya dengan suara yang tegas. "Cepat, kamu pulang aja ke Jakarta, nanti keburu bapak kamu pulang," pinta Rumi sembari mendorong tubuh Annisa keluar dari dapur. Annisa menelan ludah, merasa sedih dan kecewa dengan keputusan ibunya. Namun, dia tahu bahwa dia harus menghormati keputusan itu. "Pak Dewa, tolong jaga Annisa. Tapi, saya mau titip pesan jangan bapak stop kiriman uang dari Annisa buat adik-adiknya nanti ya, Pak. Syukur-syukur bapak mau nambahin buat biaya mereka." Rumu tanpa basa-basi itu dengan lancang meminta pada Dewa. Annisa terkejut dengan perkataan ibunya, "Ibu!" "Oh, itu tentu, Bu." Dewa memberikan amplop pada Rumi. "Makasih ya, Pak Dewa. Gercep juga," kata Rumi dengan tersenyum. Selain itu, dia juga memberikan uang jajan kepada adik-adiknya Annisa. "Makasih, Pak." Annisa tersenyum. Pada saat mereka akan masuk ke dalam mobil, tak disangka pria yang sudah disebut-sebut oleh Rumi pun datang. "Nisa?" panggilnya. "Kamu bener kan Annisa? Dasar anak durhaka!" pria itu menarik rambut Annisa dengan kasar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD