Part 6

2840 Words
Reza                         “ Jaga Luna ya Za. Jangan bikin dia nangis. Dia udah mempertaruhkan masa depannya demi kamu.” Ucap Aji sebelum dia pamit pulang malam itu. Resepsi pernikahan sudah berakhir sejak sore tadi. Bahkan, keluargaku dan keluarga Luna sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu. Aji sengaja ikut mengantarkan aku dan Luna pulang ke apartemen tempat aku tinggal beberapa bulan terakhir. “ Maaf ya Ji, adikmu aku bawa sejauh ini.” “ Nggak papa. Aku bilang nggak papa karena yang bawa dia itu kamu. Aku percaya kamu nggak akan nyakitin dia. Jaga dia baik-baik.” “…”             Setelah Aji pulang, aku menghampiri Luna yang saat ini sedang tidur di mobil bagian belakang. Sejak dia melepas semua atribut pengantin, dia sudah mengeluh lelah dan minta untuk segera istirahat. Tapi berkali-kali ibunya bilang, dia harus bersabar sampai semuanya selesai. “ Aluna… Bangun. Kita sudah sampai.” aku menepuk lengannya pelan. Luna tidak bergerak sedikitpun. “ Aluna…” kali ini aku lebih keras menepuk lengannya. “ Eh, iya?” Luna bangun kemudian duduk dan mengerjapkan matanya berkali-kali. “ Ayo turun. Kita sudah sampai.” “ Sampai mana pak?” “ Apartemen saya.” “ Apartemen bapak?” aku mundur beberapa langkah begitu Luna keluar dari mobil. Dia menoleh kanan kiri. “ Pak, kita tadi beneran udah nikah ya?” tanyanya sambil menatapku lurus. “ Iya. Lupa?” “ Ya enggak. Maksud saya, ini kaya mimpi.” Balasnya kali ini sambil merapikan rambut. “ Ayo masuk.” “ Bentar pak.” “ Ada apa?” “ Ini ceritanya kita bakal tinggal satu rumah?” “ Iya. Ayo buruan masuk. Udah malam.”             Selama menuju ke apartemenku, Luna berjalan mengekor dibelakang. “ Anggap kaya rumah sendiri.” Ucapku setelah kami berdua masuk apartemen. Aku melepas jaketku dan mengambil air minum di kulkas. Rasanya haus sekali. “ Pak?” “ Hm?” “ Kamar saya yang mana ya?” tanya Luna sambil duduk di kursi tinggi dekat pantry dapur. Aku memberinya satu gelas air putih. Dia mengambilnya dan langsung meneguk sampai habis. “ Ayo ikut saya.” Jawabku sambil berjalan menuju kamarku. Lagi-lagi Luna hanya mengekor di belakang. “ Kamu bisa tidur disini. Terus baju kamu bisa diletakin di lemari itu. Itu kamar mandi. Yang sebelah sana, pintu menju balkon. ” Aku menunjuk satu-satu apa yang barusaja aku sebutkan. “ Ini tas kamu isinya baju ganti. Tadi Aji yang bawa.” Lanjutku sambil menyerahkan tas ransel berwarna hitam. “ Mas Aji tadi ikut kesini?” “ Iya.” “ Kok nggak pamit saya?” “ Kamu keenakan tidur di jok belakang.” “ Ohhh… Ngomong-ngomong bapak tidur dimana?” tanyanya sambil berjalan menuju lemari yang tadi aku tunjuk. “ Disini. Kita tidur satu kamar.” “ Heh?” Aku mengerutkaan alis heran ketika Luna tampak terkejut. Memangnya ada yang salah? “ Kita tidur satu ranjang pak?” Dia menatap kikuk ranjang yang biasa aku gunakan untuk tidur. “ Kenapa tidak? Kita kan sudah suami istri.”  jawabku santai kemudian merebahkan badan di ranjang. “ Tapi pak,” “ Kenapa? Kamu takut saya apa-apain?” Luna berjalan mundur ketika aku tiba-tiba bangun dan berjalan kearahnya. Aku nyaris tertawa melihat wajah Luna yang mulai merah. “ Bapak mau ngapain?” tanyanya sambil terus berjalan mundur. Dia meringis ketika punggungnya sudah mentok menabrak tembok. “ Kira-kira saya enaknya ngapain kamu malam ini?” Entah kenapa, aku jadi tertarik menggodanya. “ Pak Reza---” cicitnya ketika aku mendekatkan wajahku. “ Selamat tidur. Istirahat yang cukup, besok kuliah.” Ucapku sembari mengusap kepalanya. Setelah itu, aku balik badan dan mengambil selimut di lemari. Aku keluar menuju kamar yang biasa digunakan Ana kalau sedang menginap di apartemenku. Jujur saja, ketika barusan aku melihat Luna sedikit ketakutan, aku memutuskan sebaiknya kami tidak tidur satu kamar terlebih dahulu. Pasti akan sangat canggung jika kami memaksakannya. Walau bagaimanapun, hubungan kami sebelumnya memang hanya sebatas dosen dan mahasiswa. *** Luna               Aku masih terjaga bahkan ketika jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Kamar seluas ini membuatku susah sekali memejamkan mata. Apalagi semuanya masih terasa asing. Aku yakin sekali kamar ini adalah kamar Pak Reza. Kamar ini benar-benar menujukkan bahwa pemiliknya adalah laki-laki. Dinding kamarnya berwarna putih dan interiornya berwarna abu-abu.             Ketika aku menaikkan selimut sampai hidung, aku dapat mencium aroma wangi menguar. Sebentar, ini kenapa wangi banget? Lima menit Sepuluh menit … Setengah jam             Aku masih saja terjaga dan belum bisa memejamkan mata sedikitpun. Karena aku merasa bosan, akhirnya aku bangun dan keluar kamar. Aku berjalan menuju pintu yang terletak tepat di samping kamar. Tok tok tok             Aku mengetuk pintu itu pelan. Aku yakin sekali Pak Reza pasti ada di dalam. Tok tok tok             Sekali lagi aku mengetuk pintu. “ Pak… saya nggak bisa tidur. Bapak bisa keluar sebentar?” Tok tok---             Aku baru akan mengetuk pintu ketukan ketiga ketika pintu itu dibuka dari dalam. Aku mundur satu langkah begitu Pak Reza muncul lengkap dengan wajah habis tidur dan rambutnya yang berantakan. Kalau boleh jujur, Pak Reza terlihat semakin tampan dengan muka bantal seperti itu. Saat ini aku bukannya sedang terpesona. Aku hanya menyuarakan apa yang aku lihat. “ Ada apa?” tanyanya dengan suara serak. “ Saya nggak bisa tidur pak. Bapak temenin saya begadang ya?” “ Besok kan kamu ada kuliah.” “ Bolos sehari nggak papa lah pak. Lagian bapak kan ambil cuti. Jadi kuliah besok kosong.” “ Tapi kan saya ngasih tugas.” “ Ya ampun pak, kalau situasinya nggak kaya gini saya pasti masuk kuliah loh..” Pak Reza terdiam sesaat sambil menatapku.  “ Memangnya kenapa kok kamu nggak bisa tidur?” tanyanya sambil berjalan keluar dan menuju kamar yang tadi aku tempati. “ Kamarnya kurang nyaman?” Tanyanya kemudian. “ Bukan gitu pak. Sayanya aja yang lagi susah tidur. Lagian kamar segede ini saya pakai sendiri. Horor tau pak?” “ Ya sudah saya temani kamu tidur disini.” Mataku melebar begitu mendengar ucapannya. “ Emmm pak. Maksud saya--” “ Aluna, saya lelah sekali hari ini. Badan saya lelah, pikiran saya juga lelah. Saya ingin istirahat. Besok kita bicarakan apa yang perlu dibicarakan. Sekarang kita istirahat dulu.” Ucapnya sambil membaringkan badannya di ranjang. Sedetik kemudian, Pak Reza menarik selimut dan memunggungiku. “ Mending saya tidur di sofa kalau gitu mah.” Gumamku pelan. Aku beranjak menuju sofa yang ada di kamar ini. Aku mengambil jaket di tas yang kemudian aku gunakan sebagai selimut.             Ajaibnya, setelah aku membaringkan badan di sofa, tidak ada tiga menit setelahnya aku sudah jatuh ke alam mimpi. *** Reza                         Kring!             Aku membuka mata ketika mendengar alarm jam berbunyi. Aku langsung bangun dan merenggangkan otot-ototku. Badanku terasa pegal dimana-mana. Aku tertegun begitu menoleh ka samping kanan dan mendapati Luna meringkuk di sofa. Astaga, anak itu tidur di sofa? Aku turun dari tempat tidur untuk membangunkannya. Aku diam sejenak mengamati wajah Luna dari jarak yang cukup dekat. Matanya terpejam rapat begitu pula bibirnya. Dan kini pandanganku berhenti di bibirnya. Bibirnya tipis dan berwarna pink pucat. Bibir itu terkatup rapat membentuk pola hururf em. Lucu sekali.             Drrrrttt             Aku menoleh dan mendapati handphone Luna bergetar. “Abang jelek?” gumamku ketika melihat nama kontak yang tertera disana. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangkat panggilan itu. “ Heh adik durhaka. Bisa-bisanya ya lo nikah pas gue lagi nggak dirumah?! Lo butuh restu dari gue juga, oon. Adik macam apa Lo? Lo mau gue pecat jadi adik?” ucap orang di sebrang sana bahkan sebelum aku sempat mengucapkan ‘hallo’. “ Maaf, ini bukan Luna.” Ucapku akhirnya. “ Eh… ini Mas Reza ya? Maaf mas. Dek Unanya ada?” “ Masih tidur. Mau saya bangunin?” tanyaku sambil melirik Luna yang masih terlelap dan belum ada tanda-tanda dia akan bangun. “ Nggak usah mas. Nanti saya telfon lagi saja. Maaf mas, udah marah-marah nggak jelas. Heee,” “ Nggak papa. Ini sama Danu kan?” “ Iya mas.” “ Lain kali kita ngobrol ya Nu,” “ Oh iya mas, siap.” “ Adik kamu aman sama saya, saya janji.” “ Hehe, iya mas. Saya percaya kok.” “ Maaf ya Nu,” “ Nggak papa mas." “…”             Setelah kembali meletakkan handphone milik Luna di meja, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Dua puluh menit kemudian, aku sudah selesai mandi dan berganti pakaian. Melihat Luna yang masih belum bangun, akhirnya aku menghampirinya. “ Aluna, bangun… sudah pagi.” Aku menggoyangkan lengannya. “ Masih ngantuk.” Balasnya tanpa mau membuka mata. “ Aluna…” kali ini Luna langsung membuka matanya. Dan… Brak!             Aku terjungkal kebelakang membentur meja kayu yang ada di belakangku. “ Aluna! Apa-apaan kamu?” “ Bapak mau apain saya?” matanya mendelik. “ Saya cuma mau bangunin kamu. Apanya yang salah?” balasku sambil mengusap punggungku yang sedikit nyeri. “ Punggung saya sakit kamu dorong sekeras itu.” lanjutku sambil berdiri. “ Maaf pak. Saya kira bapak mau apa-apain saya.” Balasnya lengkap dengan tatapan rasa bersalah. Ini anak satu pagi-pagi sudah bikin sakit punggung. “ Lagian kalau saya mau apa-apain kamu juga sah-sah saja. Saya punya hak.” “ Jangan bahas itu dulu dong pak. Ngeri saya dengernya.” “ Ngeri gimana?” “ Ya ngeri aja. Sekali lagi maaf ya pak. Sumpah, saya nggak ada niat buat dorong bapak sekeras itu. Saya reflek. Hehehe.” “ Ya sudah. Kamu sekarang mandi sementara saya bikin sarapan. Setelah itu kita langsung siap-siap.” “ Siap-siap kemana pak?” “ Ke rumah saya.” “ Kata bapak saya harus kuliah?” “ Mau kuliah jadinya? “ Ya enggak sih.” “ Nah...” “ Emangnya kita mau ngapain ke rumah bapak?” “ Nanti kamu juga tahu.”  “…” *** Luna             Aku duduk diam di meja makan seperti patung sementara Pak Reza masih menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Tadi aku sempat menawarkan bantuan. Tapi dia menolak dan menyuruhku untuk menunggu saja. Saat ini pikiranku melayang kemana-mana. Ini aku beneran udah nikah?             Pertanyaan semacam itu terus muncul di otakku sejak tadi aku mandi dan masih berlanjut sampai sekarang. Peristiwa kemarin berputar terus-menerus di kepalaku seperti kaset rusak, tumpang tindih tak karuan. Mulai dari detik-detik mendebarkan ketika akad nikah berlangsung, gaun pengantin yang sedikit kebesaran, dan jumlah mas kawin yang bisa bikin aku melongo untuk beberapa detik. Tidak hanya itu, aku juga ingat ketika Pak Reza mencium keningku dan aku mencium punggung tangannya sebagai tanda kami sudah sah menjadi sepasang suami istri. Satu lagi, aku juga ingat ketika Adit terus menertawakanku sampai perut dia sakit karena melihatku memakai gaun pengantin. Aku memang sempat menelfon Adit dan menyuruh anak itu datang. Dan semua ingatan itu membuat kepalaku pusing. “ Sarapan cuma sama nasi goreng nggak papa kan?” “ Eh?” aku langsung mendongak begitu mendengar suara Pak Reza. “ Melamun?” tanyanya sambil meletakkan dua piring nasi goreng yang entah kenapa terlihat sangat menggoda di mataku. “ E.. enggak.” “ Ya sudah itu dimakan.” “ Iya pak.”             Aku mulai menyuapkan nasi goreng ke mulutku. Seperti ekspektasiku, nasi goreng buatan Pak Reza memang enak. Entah enak karena memang asli enak atau karena aku yang terlalu lapar sehingga membuat nasi goreng itu terasa enak. “ Makannya pelan-pelan, Aluna. Tidak ada yang mau minta nasi goreng kamu.” “ Kelewat lapar pak.” “ Telan dulu baru ngomong.”             Aku hanya nyengir sekilas sebelum melanjutkan makan. Asal kalian tahu, terakhir aku makan nasi kalau tidak salah sekitar dua hari yang lalu. Kemarin pagi, aku sengaja tidak sarapan karena aku pikir aku bisa makan sepuasnya di acara nikahannya Pak Reza. Tapi siapa yang tahu kalau ternyata aku bakal jadi pengantin pengganti dan ujung-ujungnya tidak doyan makan? Hmmm… pengantin pengganti ya? Miris banget ya, hidupku? “ Setelah kerumah saya, kita ke rumah kamu.” Ucap Pak Reza setelah aku selesai makan. “ Ngapain ke rumah saya juga pak?” tanyaku bingung. “ Kamu nggak mau ambil baju sama keperluan yang lain?” “ Oh iya. Bapak bener juga.”             Untuk sejenak, aku dan Pak Reza hanya diam. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. “ Untuk seterusnya, biaya hidup kamu, saya yang tanggung. Jangan minta orang tua kamu lagi.” “ Eh?” “ Jangan keseringan melamun, Aluna.” Ucapnya memperingatkan. “ Maaf pak. Barusan bapak bilang apa?” “ Untuk seterusnya, biaya hidup kamu, saya yang tanggung. Jangan minta orang tua kamu lagi.” “ Termasuk biaya kuliah?” “ Tentu saja.  Nanti kamu saya kasih atm. Kamu bisa pakai itu. Tapi ingat, jangan boros. Beli yang kira-kira emang butuh.” Ucap Pak Reza sambil menatapku lurus. “ Itu nafkah lahir. Untuk nafkah batin, maaf saya belum bisa.” “ Uhuk uhuk !!!” aku tersedak minuman begitu mendengar kalimat Pak Reza yang terakhir. Aku mengibaskan kedua tanganku didepan wajah. Entah kenapa, wajahku tiba-tiba terasa panas. Entah karena ucapan Pak Reza atau karena efek tersedak. Pak Reza menuangkan satu gelas air putih dan memberikannya padaku. “ Hati-hati minumnya.” “ Minta tisu pak…” pintaku dengan suara yang masih tercekat ditenggorokan. Pak Reza langsung menyodorkan tisu yang berada tepat di depannya. Gila, kali ini aku tersedak cukup parah. Brrrtttt…             Aku mengelap ingusku dengan tisu yang Pak Reza berikan. “ Kamu jorok.” “ Maaf pak. Saya kalau tersedak pasti nangis. Terus berlajut ngeluarin ingus.” Jawabku jujur. “ Kamu terkejut ya?” “ Sedikit.” Jawabku sambil menetralkan napas. Brrrt…             Sekali lagi aku mengelap ingusku dengan tisu. Pak Reza hanya geleng-geleng melihatku. “ Saya minta maaf.” “ Nggak papa pak.” “ Atau kamu ingin saya kasih nafkah batin secepatnya?” tanya Pak Reza sambil tersenyum miring. “ Nafkah batin bukan cuma urusan ranjang, bapak.” “ Memangnya barusan saya bilang tentang ranjang?” “ Senyum bapak mengisyaratkan begitu.” Ketusku. Bisa aja nih dosen satu bikin aku keki. “ Jadi sebagai imbalan kalau hidup saya bapak yang nanggung, saya harus ngapain?” tanyaku beberapa saat kemudian. “ Kamu bisa melaksanakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci dan menyetrika baju. Memasak dan membuatkan saya minuman. Mengepel lantai jika kotor--” “ Kok saya malah jadi kaya babu sih pak?” Potongku cepat. “ Nanti saya juga ikut bantu. Tenang saja.” “ Oke deal.” Balasku akhirnya. “ Tapi kamu juga harus siap-siap jika sewaktu-waktu saya minta hak saya.” Praktis aku menelan ludah susah payah. “ Bapak udah kepikiran sampai sana?” “ Saya laki-laki, Aluna. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Saya hanya minta kamu untuk siap-siap.” “ Kenapa harus saya pak?”             Sedetik kemudian aku menyedari kalau pertanyanku benar-benar bodoh. “ Kamu masih nanya? Ya jelas karena kamu istri saya. Saya berhak atas kamu. Dan kamu juga berhak atas saya. Kita memiliki hak dan kewajiban masing-masing.” Pak Reza benar. “ Oke. Tapi bapak juga jangan sampai lupa sama kewajiban bapak. Jangan hak saja yang diingat, tapi kewajiban juga.” “ Hak dan kewajiban itu beriringan. Seperti contoh, kewajiban saya kan menafkahi kamu. Dan dengan saya minta hak saya, itu berarti saya juga sedang menafkahi kamu nafkah batin. Saya benar kan?” “ Nafkah batin tidak melulu tentang itu, pak. Termasuk bikin saya bahagia hidup dengan bapak juga namanya nafkah batin.” “ Saya tahu.” “ Lagipula kewajiban yang saya maksud itu adalah…” aku menjeda kalimatku. “ Adalah?” tanya Pak Reza membeo. “ Bapak sudah janji mau membantu saya mengerjakan skripsi.” “ Oh kalau yang itu, kamu tenang saja. Saya pantang mengingkari janji. Tapi kamu juga perlu ingat. Saya hanya ‘membantu’ bukan ‘mengerjakan’. Ingat itu.” balas Pak Reza penuh penekanan. “ Iya. Saya tahu.” “ Bagus.” “ Satu lagi pak, ada yang ketinggalan.” “ Apa?” “ Untuk tidur bagaimana?” “ Kalau saya pinginnya kita tidur satu ranjang.  Nggak seperti tadi malam. Tapi terserah kamu.” “ Alasannya?” “ Simpel. Agar kita semakin mengenal satu sama lain. Kita bisa adakan pillow talk sebelum atau sesudah tidur. Ingat, kita menikah bukan untuk bercerai.” Ucap Pak Reza tegas. “ Tapi kasus kita beda loh pak.” “ Jadi kamu ada pikiran mau cerai sama saya?” “ Bukan gitu juga pak. Maksud saya, kita kan baru kenal beberapa bulan yang lalu. Hubungan kita sebelumnya juga hanya sebatas dosen dan mahasiswa. Saya belum tahu benar bapak itu seperti apa dan bapak juga belum tahu benar saya ini seperti apa. Misalnya nih pak, kalau ditengah jalan kita ternyata nggak cocok, kita bisa apa?” “ Kita butuh cinta supaya rumah tangga bisa kokoh. Makanya, kamu harus bisa bikin saya jatuh cinta sama kamu.” “ Ya jangan saya saja dong pak. Bapak juga harus bisa bikin saya cinta sama bapak.” Balasku tak mau kalah. Oh ayolah, kenapa tiba-tiba aku tidak yakin?  Jatuh cinta sama Pak Reza? Yang benar saja? “ Oke. Berarti kita harus sama-sama berusaha. Jangan cuma saya saja atau kamu saja.” “ Saya usahakan. Eh tapi pak, kalau tetep nggak bisa gimana dong?” “ Kita coba saja dulu.”  “ … ”             Dan pagi itu, kami masih membicarakan banyak hal. Tidak berhenti sampai disitu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD