SAH!

1670 Words
Hari yang dinanti-nanti pun tiba. Rumah sudah disulap sedemikian rupa menggantikan megahnya aula atau bahkan ballroom hotel berbintang untuk menggelar acara hari ini. Hanya akan ada sebatas acara ramah tamah dengan tetangga kanan kiri dan keluarga besar. Semua orang hilir-mudik mengurus ini dan itu. Hendrawan sibuk menyapa tamu-tamu yang hadir. Tak banyak yang diundang. Minati pun sama. Wanita itu sibuk memeriksa kesiapan makanan-makanan di meja. Meskipun hanya sekedar acara ramah tamah, tapi menjamu tamu adalah adab yang paling utama. Ashana baru saja selesai dirias. Tak ada kebaya cantik rancangan desainer ternama. Hanya sepotong kebaya yang masuk ke dalam paket rias pengantin sewaannya. Beruntung kebayanya sesuai dengan ukurannya. Sama sekali tak terasa sesak di bagian perut, itulah yang terpenting. “Benar nggak sesak kan, Mbak?” tanya sang perias. Ashana mengangguk. “Kalau sesak, biar kita ganti dengan yang lainnya. Minggu lalu fitting masih muat, takutnya perut Mbak Shana tambah besar. Saya takut Mbak sesak nanti malah berefek ke bayinya.” “Nggak sesak kok, Mbak. Beneran, deh. Kalau sesak, saya pasti sudah laporan ke Mbak Dian,” sahut Ashana. Wanita itu tengah mematut diri di depan cermin. Cantik sekali. Ia sungguh berharap Rakyan akan memujinya. Yang membuatnya berbeda dengan calon pengantin lainnya adalah ia datang seorang diri untuk mencoba pakaian pengantin. Rakyan sama sekali tak menemani. Untuk hal itu, Ashana sama sekali tak mempermasalahkannya. “Sudah selesai dandannya?” tanya Minati yang baru saja masuk ke kamar. Ashana mengangguk. “Tunggu di sini dulu. Kian dan keluarganya belum datang.” Satu hal yang masih ditakuti Ashana. Rakyan pasti akan datang, kan? Mengingat begitu banyak film yang ditontonnya. Calon mempelai laki-laki kabur entah ke mana, padahal hari pernikahan sudah di depan mata. Ashana takut akan hal itu. Jika itu sampai terjadi, keluarganya pasti akan kembali menanggung malu. “Sudah makan, kan?” tanya Minanti. Ashana mengangguk. “Ya sudah. Mama mau ke bawah dulu. Nanti kalau sudah waktunya keluar, Mama kabari. Istirahat dulu.” “Iya, Ma.” Sembari menunggu, Ashana berulang kali memeriksa jam dinding yang tertempel di dinding kamarnya. Sebentar acara akan segera dimulai. Namun, tanda-tanda kedatangan keluarga Rakyan belum juga terlihat. Ashana berdiri di balik jendela kamarnya yang mengarah ke jalan di depan rumah. Sebuah tenda berhiaskan bunga-bunga sudah terpasang di halaman rumah sejak tiga hari yang lalu. Ada beberapa mobil tamu yang terparkir di luar. Senyumannya seketika terbit begitu saja saat melihat yang dinantikan datang juga. Beberapa mobil yang ditumpangi calon suami dan keluarga besarnya tiba. Ia begitu antusias. “Kamu ganteng banget, Bie,” gumamnya saat melihat Rakyan. Laki-laki itu saja masuk melewati gerbang rumah Ashana yang dibuka lebar. Rakyan sempat melirik ke arah jendela kamar Ashana. Untuk beberapa detik, terjadi kontak mata di antara mereka berdua. Namun, laki-laki itu buru-buru memutus. “Bie ....” Dari kamarnya, Ashana bisa mendengar sambutan-sambutan disampaikan, Ia masih menunggu di kamarnya. Sampai akhirnya, pintu kamar kembali diketuk. Sosok mamanya muncul. “Sudah waktunya turun. Kamu sudah siap kan, Dek?” “Su—sudah, Ma. Turun sekarang?” “Iya. Kian dan keluarganya sudah datang. Pak Penghulu juga sudah ada, Akad nikah harus cepat dilaksanakan. Yuk! Mama bantu turun ke bawah.” Ya Tuha! Hati Ashana begitu bergemuruh. Bahagia bercampur takut dan khawatir. Bahagia karena akhirnya ia akan menjadi istri dari laki-laki yang dicintai. Takut dan khawatir tiap kali membayangkan apa yang akan terjadi setelahnya. Langkahnya begitu hati-hati saat menuruni tiap-tiap anak tangga. Semakin dekat, irama jantungnya semakin berpacu begitu cepat. Semua orang yang hadir menyambut dirinya. Macam-macam ekpresi mereka. Senyum, entah tulus atau tidak. Bahkan, ada yang jelas-jelas menatapnya degan pandangan merendahkan. Biarlah. Ashana tak mau ambil pusing. Rakyan sama sekali tak menoleh ke arahnya. Padahal, kini Ashana sudah duduk tepat di sebelahnya. Tak ada pujian seperti yang ia harapkan. Boro-boro. “Kita mulai acaranya sekarang, ya?” *** “SAH!” Seruan itu menjadi pertanda penyatuan dua anak manusia ke dalam sebuah hubungan halal yang insha Allah dirihdoi Sang Pencipta. Ashana merapal doa di dalam hatinya. Tak bisa berhenti bersyukur karena hatinya merasa begitu lega. Rakyan resmi menjadi suaminya. Satu kecupan tersemat di kening Ashana. Hatinya terasa berdesir. Namun, kecupan itu begitu hampa. Jauh berbeda dari kecupan-kecupan yang sebelumnya. Seperti tak ada cinta di dalamnya. “Kamu puas?” bisik Rakyan tepat di telinga Ashana sesaat setelah kecupan itu selesai diciptakan. Ashana tercenung. “Kita sudah menikah. Sekarang, mau apa lagi?” “Bie,” sahutnya lemah. Wanita itu bergeleng pelan. Seakan jantungnya baru saja dihujam belati tajam. Sakit. “Please.” Kedua mempelai berdiri menyalami para tamu yang hadir. Semua memberikan selamat, baik yang sungguh-sungguh maupun hanya kepura-puraan saja. Masa bodoh! Tak ada pelukan hangat dari ibu mertuanya. Yulia hanya menyalami seperlunya. Ashana bergumam dalam hati. Apa dirinya juga akan menanggung rasa benci yang Yulia timbun untuk Rakyan? “Jadikan pernikahan ini sebagai penebusan dosan untuk kalian berdua,” pesan Prayoga. Hanya Ashana yang mengangguk, sementara Rakyan memilih untuk diam. “Selamat datang di kelaurga kita, Shan.” “Terima kasih banyak, Papa.” Acara ramah tamah berlanjut ke makan bersama. Ashana masih setia duduk di sebelah Rakyan. Laki-laki itu sama sekali tak mengajaknya bicara. Kehamilannya kerap membuatnya mudah kelaparan. Wanita itu berniat untuk mengambil makanan. Namun, sebelumnya, sebagai seorang istri ia harus melakukan kewajibannya. Melayani sang suami. “Kamu lapar nggak, Bie?” ucap Ashana. “Aku mau ambil makan. Kalau kamu mau, biar sekalian aku ambilin untuk kamu.” “Nggak perlu,” jawab Rakyan datar, tapi begitu menyelipkan emosi yang menusuk. “Aku nggak lumpuh sampai-sampai makanan harus diambilin. Kamu urus diri kamu sendiri. Aku bisa urus diriku sendiri.” Ya Tuhan. Jawaban yang begitu menohok. Syukur semua itu diucapkan Rakyan dengan nada suara yang pelan. Orang-orang tak mendengar. Namun, sepertinya beberapa orang tengah berbisik saat melihat keduanya yang terlihat tak akur di pelaminan. “Bie, seenggaknya jangan begini. Ada banyak orang yang mengamati kita.” “Aku nggak peduli,” bisik Rakyan. “Aku sama sekali nggak menginginkan pernikahan ini. Ini maunya kamu. Iya, kan?” “Ya Tuhan, Bie. Aku mohon. Aku mohon kaga sikap kamu. Seenggaknya samapi acara ini selesai. Kita baru aja nikah.” “Aku bisa langsung ceraikan kamu kalau kamu mau.” Ashana menggeleng. Ada kilatan amarah di kedua manik mata Rakyan. Wanita itu tak berani menyahut. Ia lebih memilih meninggalkan Rakyan dan berjalan menuju meja prasmanan. “Kian nggak diajak makan sekalian, Dek?” tanya Minati saat mendapati putrinya makan seorang diri di meja makan yang sudah disiapkan untuk keluarga besar. Ashana menggeleng. “Kenapa?” “Belum lapar, katanya. Nanti kalau sudah lapar biar aku yang ambilin.” “Oh, begitu. Kalian nggak habis berantem, kan?” Ashana yang tak mau membuat mamanya khawatir pun segera menjawab dengan gelengan. “Syukurlah. Mama pikir kalian berantem. Soalnya Mama perhatikan Kian banyak diam setelah akad nikah tadi.” “Mungkin Kian kecapekan, Ma. Aku minta maaf ya karena sudah buat Mama salah paham,” ucap Ashana. “Ya sudah. Mama mau menyapa tamu-tamu dulu. Kamu makan yang kenyang supaya mereka nggak rewel,” bisik Minati yang kemudian mendapatkan respons kekehan dari Ashana. Minati menunjuk ke arah di mana keluarga besar mereka tengah berkumpul. “Mama ke sana dulu. Kalau ada apa-apa panggil Mama atau Mas Akbar, ya.” “Iya, Ma.” *** Acara sudah selesai. Tamu-tamu sudah meninggalkan kediaman orang tua Ashana. Hanya beberapa yang masih tinggal. Sepasang pengantin baru itu sudah masuk ke kamar Ashana. Kamar itu sudah dihias sedemikian rupa menyerupai kamar pengantin. Tempat yang sangat tepat untuk memadu kasih. Satu koper yang Ashana yakini milik sang suami pun sudah teronggok di pojok kamar. Kemungkinan besar koper itu baru dibawa hari ini. Ashana duduk di hadapan cermin. Wanita itu tengah berusaha melepas seluruh perintilan sanggul yang bertengger di kepalanya. Dari cermin, pantulan sang suami yang sedang memainkan ponsel pun terlihat. Rakyan belum berganti pakaian. “Bie, ganti bajunya dulu,” ucap Ashana lembut. “Nanti lanjut main handphone-nya.” Rakyan tak merespons. Laki-laki itu masih sibuk memainkan ponsel. Game online memang menjadi candu baginya. “Bie,” panggil Ashana. Rakyan masih terdiam. “Bie.” Ashana dibuat takut saat tiba-tiba Rakyan mentapnya sinis. “Ganti bajunya dulu. Aku siapin, ya? Mau pakai kaos aja?” Ashana baru saja akan bergerak menjangkau koper Rakyan, tapi suaminya suaminya menahan. Laki-laki itu dengan sigap memindahkan koper ke sisi lain di kamar Ashana. Tangannya mulai bergerak membuka kunci kombinasi dan mengeluarkan beberapa potong pakaian dari sana. “Aku ambilin makan, mau? Kamu belum makan sama sekali. Atau mau aku buatin teh manis” tawar Ashana dengan nada lembut, seperti biasanya. Rakyan terdengar menghela napas. “Bie.” “Kamu harus tau satu hal. Kita memang sudah menikah. Tapi, bukan berarti aku mau terima semua perlakuan kamu. Sejak hari di mana kamu memutuskan untuk mempertahankan kehamilan sialan itu, hari itu juga perasaanku selesai untuk kamu. Kamu sudah menyia-nyiakan perasaan dan cinta yang aku kasih selama ini.” Tubuh Ashana menegang. Wanita itu seketika mengusap perutnya. Sungguh ia berharap anak-anaknya tak mendengar kata-kata yang tak pantas mereka dengar saat ini. “Kalau aja kamu ikutin mauku. Gugurin kandungan itu, aku pasti masih tergila-gila sama kamu! Paham?” Tubuh tegap itu telah menghilang di balik pintu kamar mandi. Ashana menangis. Pernikahan ini jelas hanya sebuah kedok di hadapan keluarga mereka. Keterpaksaan. Ya Tuhan. Kenapa sesakit ini rasanya? Kenapa sulit sekali melunakkan hati ayah dari anak-anaknya? Kenapa? Rakyan kembali dengan pakaian yang sudah berganti. Laki-laki itu kembali merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Ashana yang sudah selesai pun menyusul merebahkan diri di samping suaminya. Tubuhnya terasa pegal setelah seharian menyapa banyak orang. Pinggangnya sakit. Wanita itu tidur menghadap suaminya. Namun, lagi-lagi sebuah penolakan diterimanya. Rakyan gegas membalik tubuh. “Ya Tuhan,” gumam Ashana seraya memunggungi sang suami. Inikah pernikahan yang seharusnya? Sampai kapan ia mampu bertahan? Ia menangis dalam diam. Ranjang bergerak. Seseorang pergi. Sampai akhirnya terdengar empasan bantal di atas lantai kamar. Lampu dipadamkan. Suara napas yang perlahan berubah menjadi dengkuran pun tercipta. Rakyan lebih memilih untuk tidur di lantai ketimbang seranjang dengan istrinya. "Bie, segitunya kamu sama aku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD