Happy Anniversary, Sayang

1348 Words
Rakyan sungguh sangat bersemangat menanti hari ini. Hari yang sangat ditunggu-tunggu. Ia bangun lebih awal dari akhir pekan biasanya. Perayaan hari jadi hubungannya dengan sang kekasih akan digelar di apartemennya. Ia memeriksa ke dalam laci nakas. Ashana benar, persediaan pengaman memang sudah habis. Sebelumnya, ia sudah berjanji untuk bantu-bantu di kegiatan kerja bakti yang diadakan di lingkungan rumah Ashana. Berbagai persiapan, termasuk baju ganti pun dibawanya. Rasanya, ingin sekali segera memboyong kekasihnya. Setibanya di rumah Ashana, Hariawan dan beberapa orang bapak-bapak sudah berkumpul. Berbagai macam perkakas sudah siap untuk dijadikan alat tempur. Semua orang menyambut baik kedatangannya. “Belum dimulai, Pak?” tanyanya pada Hariawan. “Sebentar lagi. Pak RT belum datang. Padahal janjinya jam 7 tepat. Saya jadi nggak enak sama kamu, Kian. Kamu sudah menyempatkan untuk datang.” “Nggak apa-apa, Pak. Kebetulan saya memang free kalau weekend.” Teringat akan rencana untuk merayakan hari jadi, ada baiknya sekalian meminta izin Hariawan agar bisa mengajak Ashana pergi. “Pak, kebetulan hari ini saya ada rencana untuk ajak Shana pergi.” “Shana sudah bilang ke saya. Kalian boleh pergi, asal pulangnya jangan terlalu malam. Dia ada jadwal siaran pagi besok,” ucap Hariawan. “Baik, Pak.” Kerja bakti dimulai. Rakyan membaur dengan yang lainnya membersihkan selokan dan saluran air. Membabat tumbuhan liar yang tumbuh di dinding sungai dan membakar sampah hasil kerja bakti. Ia tersenyum dalam hati. Baginya, apa yang dikerjakannya sekarang memang sesuatu yang sangat jarang. Ia lebih sering tenggelam dengan pekerjaannya di kantor. Pekerjaan baru setengah jalan. Selesai membersihkan saluran air dan sungai, mereka berpindah tempat dan menggarap halaman mesjid komplek. Matahari pun sudah semakin meninggi dan bertambah semangat memancarkan semburat sinarnya. Kerja bakti dihentikan sementara. Semuanya mendapat instruksi untuk beristirahat. “Bapak-bapak, istirahat dulu. Nanti dilanjut. Insha Allah sudah selesai sebelum adzan zuhur, jadi kita bisa salat jamaah di mesjid,” ujar Pak RT. Semuanya kompak duduk di teras mesjid. “Mas Kian terima kasih banyak sudah mau berpartisipasi. Terima kasih juga untuk sumbangannya.” “Sama-sama, Pak. Saya senang kalau bisa bantu.” “Makanan satang!” ucap Hariawan. Rakyan menangkap kedatangan Ashana dan beberapa ibu yang sibuk membawa makanan. Pandangan keduanya bersirobok dan saling tersenyum di akhirnya. Wanita itu menata makanan-makanan di lantai mesjid supaya bisa segera disantap yang lainnya. “Mbak Shana ini Mas Kian-nya dicuekkin aja,” goda Pak Anwar. Ashana hanya bisa tersenyum kikuk. “Kalau lihat Mbak Shana dan Mas Kian jadi ingat masa lalu saya dan istri. Romantis.” “Pak Anwar bisa aja,” celetuk Ashana. “Silakan dimakan. Bie, aku pulang dulu. Nanti kamu mandi dulu di rumah. Bawa baju ganti, kan?” “Bawa. Ada di mobil,” jawab Rakyan. *** Ashana tercegang melihat apa yang sudah Rakyan perbuat dengan apartemennya. Begitu banyak ornamen yang terpasang. Sepertinya sebuah pesta besar memang akan segera digelar. Bahkan, kekasihnya itu sengaja memesan makanan yang dimasak oleh seorang koki dari restoran terkenal langganan mereka. Makan malam kali ini akan sangat berkesan. Sebuah buket bunga juga baru saja diberikan Rakyan padanya. “Kamu niat banget sih, Bie?” ucapnya sambil mengendus wangi bunga yang terangkai di buket. “Dapat ide dari mana sampai kamu sulap apartemen jadi secantik ini?” “Browsing di internet,” sahut Rakyan disertai kekehan khasnya. “Kamu suka?” “Suka banget!” pekiknya girang. Makan malam dengan ditemani cahaya lilin memang menjadi hal terbaik untuk merayakan hari jadi 3 tahun hubungan mereka. Suasana romantis terasa begitu kental dan mendominasi. Rakyan tak berkedip menilah betapa ayu rupa wanita yang duduk di hadapannya. Ashana tak butuh baju yang terlalu mewah untuk menunjukkan betapa cantik dirinya. Polesan tipis dan lipstik berwarna nude terasa begitu sempurna untuknya. Keseharian Ashana saat bekerja membuat wanita itu menjadi akrab dengan riasan tebal. Namun, kalau boleh jujur wanita itu tak begitu menyukainya. Setiap selesai siaran, ia akan langsung membersihkan wajahnya dari sapuan riasan tebal sang make-up artist. “Kamu suka makanannya?” tanya Rakyan. Ashana mengangguk. Tangannya mengusap saus steak yang sedikit mengotori sudut bibir kekasihnya. “Saking enaknya sampai berlepotan.” Rakyan menggantikan tugas tisu untuk membersihkan mulut kekasihnya. Setengah magian daging dan mashed potato dibiarkan teronggok begitu saja di piring masing-masing. Rakyan memberikan service awal sebelum menuju ke bagian utama. “Bie.” Ashana melenguh di tengah nikmatnya sapuan lidah Rakyan di batang lehernya. Rakyan tak pernah gagal memancing hasratnya. “Bie, geli.” Pagutan itu semakin dalam. Daging tak bertulang itu menari-nari mengorek rongga terdalam di mulut Ashana. Liur bertukar, kenikmatan didapat. Oksigen terasa semakin menipis. Merasa sesak, tapi anehnya juga semakin nikmat. Rakyan tersenyum melihat Ashana yang kewalahan mengimbangi dirinya. Lipstik nude yang melekat di bibir ranum wanita itu sudah benar-benar hilang. Digendongnya Ashana masuk ke kamar. Tempat tidur sudah siap menyambut sepasang insan yang sedang dimabuk cinta itu. Pertunjukkan yang sempat tertunda kembali dilanjutkan. Jauh lebih panas. Dengan lincahnya, Rakyan melucuti pakaian yang menempel di tubuh molek sang kekasih. Meminggalkan begitu banyak tanda kepemilikannya di sekujur tubuh mulus itu. Laki-laki itu menghidu sedalam yang ia mau. Harum tubuh kekasihnya selalu berhasil menjadi candu baginya. Gairah Ashana sudah begitu terpantik dan siap untuk meledak. Rakyan segera melepas seluruh pakaiannya. Ashana menahan tangannya, sebelum permainan yang sebenarnya dimulai. Ia ingat satu hal. Stok pengaman beli kembali terisi. “Bie, sudah beli belum?” ucap Ashana pelan masih dalam pengaruh gejolak kenikmatan. Rakyan menggeleng. “Nggak mau, ah. Aku takut jadi.” “Tenang. Ini bukan pertama kali kita main tanpa pengaman, kan?” sahutnya. “Aku ngerti caranya, Sayang. Jangan kahwatir.” “Aku baru kelar mens, lho.” Dan permainan pun dimulai. Pertukaran keringat untuk menincar kepuasan terjadi sudah. Desahan dan lenguhan menggema mengisi seluruh ruangan. Keduanya mengerang kencang saat kepuasan didapat. Nama masing-masing digaungkan, seolah sebagai permohonan agar semuanya tak selesai dengan cepat. Peluh membajir di sekujur tubuh. Ranjang tempat keduanya bernaung pun tak luput basah oleh cairan kenikmatan. Baik Ashana maupun Rakyan tersenyum di akhir pergulatan. Keduanya saling berpelukan sebelum perpisahan malam ini terjadi. “Aku bahagia banget malam ini,” ucap Rakyan tepat di telinga Ashana. Bibirnya mengecup kening wanita yang turut berlindung di dalam hangatnya selimut bersamanya. “Terima kasih sudah mendampingi aku selama ini, Yang.” “Aku juga bahagia, Bie. Jangan bilang terima kasih. Terima kasih untuk kejutannya. Aku suka banget.” Rakyan meraba nakas. Tangannya berusaha menggapai handle laci. Sebuah kotak beludru berwarna merah pun diberikannya pada Ashana. “Untuk kamu,” bisiknya. Embusan napasnya terasa hangatdi telinga wanita itu. “Semoga kamu suka. Mau aku pakaikan?” “Isinya apa, Bie?” sahut Ashana tanpa melihat isi kotak itu. “Coba kamu buka,” pinta sang kekasih. Rakyan tak bisa menyembunyikan rasa bahagia saat melihat sang belahan hati yang tersenyum ketika kotak itu dibuka. “Suka nggak?” “Ini bagus banget.” Ashana mengeluarkan sebuah kalung. Sinar lampu menambah kesan betapa mewah kalung itu. “Kenapa repot-repot beli ini sih, Bie? Pasti harganya mahal banget, deh.” “Untuk perempuan cantik kayak kamu, kalung ini sama sekali nggak ada apa-apanya,” “Gombal kamu.” Ashana menyodorkan kalung itu. Meminta sang kekasih untuk memasangkannya di leher jenjangnya. Kalung sudah terpasang. Ia refleks berjalan mematut diri di hadapan sebuah cermin besar yang ada di kamar itu, meskipun sama sekali tak ada sehelai benar yang menutup tubuhnya. Rakyan menghampirinya. Memeluknya erat dari belakang. Diciuminya leher putih mulus itu. Kalung itu sudah menemukan orang yang tepat. “Cantik banget,” puji Rakyan. Semburat kemerahan terpercik jelas di kedua pipi wanita cantik itu. “Malu?” “Kamu selalu tau caranya bikin aku salah tingkah,” sahut Ashana. Ia pun segera membenamkan wajahnya yang sudah merah padam di d**a bidang laki-laki itu. “Terima kasih banyak ya, Bie. I love you so much.” “Sebelum kamu pulang, boleh main sekali lagi?” tanya Rakyan. Ashana mengangguk malu. Rakyan menggandeng wanita cantik yang sudah tiga tahun dipacarinya itu kembali naik ke ranjang. Basahnya ranjang karena sisa-sisa pertempuran tadi sama sekali tak dihiraukan. Sebelum dipisahkan oleh waktu, keduanya akan kembali mereguk indahnya surga dunia. “Jangan di dalam ya, Bie,” pinta Ashana. “Iya. Happy 3rd anniversary, Sayang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD