Menuntut Pertanggungjawaban

1631 Words
Saat ini, Ashana dan kedua orang tuanya tengah berada di kediaman orang tua Rakyan. Beruntung sangTuan Besar menerima kedatangan mereka sekeluarga dengan baik. Namun, berbeda dengan Yulia. Ibu Rakyan menatap penuh tak suka, sejak pertama. Ini memang menjadi pertemuan pertama antar dua keluarga selama keduanya menjalin asmara. Selama ini, hanya Rakyan yang selalu datang ke rumah keluarga Ashana. Namun, laki-laki itu belum pernah sekali pun mengajak, apalagi memperkenalkan kekasihnya pada kedua orang tuanya. “Maaf kedatangan kami terkesan tiba-tiba,” ucap Hendrawan membuka suara. “Nggak apa-apa, Pak. Maaf karena kami juga belum sempat ke rumah Bapak dan Ibu. Padahal anak-anak kita pacaran sudah cukup lama ya, Pak.” Prayoga masih bisa tersenyum lebar, padahal apa yang akan disampaikan Ashana dan kedua keluarganya bisa saja membuat laju jantungnya berhenti. “Ashana apa kabar?” “Ba—baik, Pak,” sahut Ashana terbata, tapi tetap terdengar sopan. “Saya sering lihat kamu di siaran berita televisi. Kamu hebat dan begitu profesional. Tapi, kayaknya sekarang kamu sudah nggak siaran tengah malam, ya?” tanya Prayoga. Ashana terdiam. Wanita itu bingung harus menjawab apa. Padahal, ia sengaja mengganti jam siarannya karena kondisi kehamilannya yang lumayan rewel di awal. “Karena itulah kami sekeluarga ke sini, Pak,” sela Hendrawan cepat. “Kami ingin bertemu dengan Kian. Kebetulan, Kian sudah lumayan lama nggak main ke rumah. Shana bilang sedang sibuk kerja.” “Ah, memang benar. Kian memang sedang sibuk kerja bantu-bantu masnya di perusahaan. Dua hari yang lalu kami baru pulang dari pertemuan di Bali.” Prayoga melempar pandangan ke arah Ashana. “Shana sudah hubungi Kian dan kasih tau kalau mau ke sini, kan?” “Belum, Pak. Saya belum hubungi Kian,” jawab Ashana jujur. Prayoga mengernyitkan keningnya bingung. “Saya takut ganggu pekerjaannya.” Tak ingi lagi berbasa-basi, Hendrawan pun berniat untuk langsung ke pokok permasalahan. Yang dari tadi mereka lakukan hanya sebatas berbasa-basi tanpa arti. Masih syukur laki-laki itu bisa menahan emosinya. Anak perempuan satu-satunya kini hamil di luar nikah! “Pak, Ashana hamil,” lapor Hendrawan. Prayoga da istrinya pun sontak membulatkan mata. “Kami baru tahu kondisi Shana siang ini. Itulah kenapa saya langsung minta dia untuk bawa kami ke sini bertemu Bapak dan Ibu. Kian harus bertanggung jawab.” “Tu—tunggu, Pak. Apa Bapak yakin dengan yang Bapak ucapkan?” sahut Prayoga. Apa maksudnya? Apakah Prayoga tak yakin kalau janin yang tengah bersemayam di rahim Ashana adalah benih Rakyan? Apa Prayoga pikir Ashana hamil dengan laki-laki lain dan mengaku-aku kalau itu anak Rakyan demi menyelamatkan harga diri dan nama keluarganya? “Maksud Bapak apa?” bentak Hendrawan. “Kami datang ke sini baik-baik untuk bertemu Bapak dan Ibu. Kami harap dari pertemua ini kita bisa menemukan solusinya. Sekarang, Bapak justru menyangsikan kehamilan Ashana? Kami—saya dan istri membesarkan anak saya dengan baik.” “Anak baik kok hamil di luar nikah,” sambar Yulia. “Anak baik itu nggak akan pacaran melebihi batasan.” “Bu! Anak Ibu sendiri yang buat anak saya hamil!” timpal Minati kesal. “Selama ini saya pikir Kian anak baik, itu kenapa kami merasa tenang setiap kali menitipkan Shana ke dia. Ternyata kami salah. Sekarang, justru dia yang memutuskan hubungan dengan anak kami. Mana tanggung jawabnya?” “Sudah, Bu. Biar Bapak yang bicara. Ibu tenang dulu,” ucap Hendrawan berusaha menenangkan sang istri yang begitu emosi. Laki-laki itu kembali berucap. “Mereka sudah putus. Ashana bilang Kian marah karena dia lebih memilih untuk mempertahankan kandungannya.” “Maksud Bapak?” sahut Prayoga bingung. “Kenapa Kian marah?” “Karena Kian minta Shana untuk menggugurkan kandungan.” “Ya mungkin karena bukan anaknya, jadi suruh digugurin,” cibir Yulia. Astaga! Bikin malu! Sudah menghamili anak orang. Diminta untuk menggugurkan pula. Prayoga dibuat geram bukan main. Kedua tanganny terkepal kencang dan memunculkan urat-urat yang bertonjolan. Putranya mencoreng nama baik keluarga mereka. Tangannya bergerak merogok saki celana. Ponselnya dikeluarkan. Jarinya bergulir di layar dan berusaha untuk menemukan kontak sang putra. Ketemu! “Kamu di mana?” ucapnya saat ada sahutan di sambungan telepon. “CEPAT PULANG SEKARANG JUGA! PAPA TUNGGU DI RUMAH!” *** Suasana ruang tamu semakin mencekam. Semua orang masih terdiam. Rakyan belum juga datang menampakkan diri. Beberapa kali Prayoga terlihat memeriksa ponsel dan mencoba menghubungi sang putra. Namun, tak ada jawaban. Mungkin putranya sedang mengemudi pulang. Suara deru mesin terdengar memasuki pelataran garasi. Itu pasti Rakyan. Ashana semakin dibuat gugup. Sebelumnya, laki-laki itu sudah mengultimatum untuk tidak melibatkan dirinya atas keputusan yang dipilih. Namun, ia justru datang bersama dengan kedua orang tuanya untuk menuntut pertanggungjawaban. “Ada apa—“ Kalimat Rakyan terhenti. Laki-laki itu meminta ke seluruh penjuru ruang tamu rumahnya. Betapa kagetnya saat melihat keberadaan Ashana dan kedua kedua orang tuanya. Batinnya terus menerka. Mungkinkah? “Sini kamu!” gertak Prayoga. Laki-laki itu segera bangkit dari duduknya, berjalan mendekat ke arah sang putra dan merenggut kerah kemejanya. “Siapa yang ajari kamu jadi laki-laki pengecut kayak begini? Siapa?” “Pa—. Dengar dulu, Pa. Aku bisa jelaskan.” “Sudah, ah. Mama mau masuk. Mama bosan sama drama ini,” ucap Yulian sampai akhirnya wanita itu menghilang dari ruang tamu. Prayoga masih memegang kencang kerah kemeja putranya. Laki-laki itu begitu diliputi amarah yang menebal. “Ashana hamil!” hardik Prayoga kencang. Begitu menggelegar. “Shana hamil anak kamu!” “Aku sudah minta dia untuk menggugurkan, Pa!” Satu tamparan mendarat sempurna di pipi Rakyan. Laki-laki itu terhuyung lemah. Ini adalah kali pertama sang Ayah memukulnya. Selama ini, image sebagai anak terbuang membuatnya begitu diperhatikan. Cih, justru itu yang membuatnya begitu menyedihkan. Bersamaan dengan itu, Ashana pun memekik kaget. Suara tamparan itu terdengar begitu nyaring. Ingin rasanya ia mendekap Rakyan dan melindunginya dari amarah Prayoga. Namun, ia tak bisa. “Papa nggak pernah mendidik kamu untuk jadi laki-laki brengsek.” “Tapi, aku nggak bisa, Pa. Aku nggak bisa terima anak itu.” Rakyan beberapa kali menggelengkan kepalanya. “Aku nggak bisa.” “Apa yang kamu lakukan sudah mencoreng nama keluarga. Sekarang, kamu justru minta Shana untuk menggugurkan kandungan. Di mana otak kamu, Kian? Papa malu sama tingkah kamu. Selama ini, Papa besarkan kamu dengan penuh cinta. Papa didik kamu dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya bisa menjadi laki-laki hebat.” Rakyan menertawakan nasibnya dalam hati. Cinta, katanya? Anak siang yang dibesarkan dengan cinta. Sangat tragis, kan? “Selama ini, aku nggak lebih dari anak pungut, Pa. Kehadiranku di sini nggak diinginkan. Aku anak pembawa sial, kan? Aku anak pembawa sial! Bahkan, ibu kandungku sendiri nggak mau mengakui aku sebagai anak. Aku nggak bisa.” Rakyan bangkit dan menatap Ashana. Telunjuknya terarah, begitu mengintimidasi. “Kamu! Aku sudah bilang ke kamu. Gugurkan bayi itu! Kenapa kamu masih ngeyel untuk mempertahakan dia? Kamu lebih memilih dia daripada hubungan kita!” Bukan Prayoga yang menampar. Kali ini, Hendrawanlah yang meluapkan amarahnya di wajah Rakyan. Laki-laki itu tak terima anaknya diperlakukan layaknya w************n. “Nikahi Shana! Nikahi dia atau saya hancurkan kamu!” *** Setelah kejadian di kediaman orang tua Rakyan, Ashana memutuskan untuk memperpanjang cutinya. Ia merasa tak siap untuk kerja dalam keadaan tak stabil seperti ini. Laki-laki itu—Rakyan mengiriminya begitu banyak pesan. Ponselnya penuh. Namun, tak ada satupun yang dibaca. Semua pesannya berisikan caci maki. Hati Ashana sakit. Kenapa cinta bisa berubah menjadi benci yang begitu menyiksa seperti ini? Kenapa ia tak melihat kilatan sayang penuh gairah lagi di mata kekasihnya? “Ya Tuhan, kenapa semua jadi runyam begini?” ucap Ashana dalam hati. Wanita itu mengusapi perutnya. “Kalian bahagia? Mama bahagia kalau kalian juga bahagia. Apa pilihan Mama sudah benar? Mama takut.” Akbar yang baru saja datang pun langsung mendobrak pintu kamar Ashana. Laki-laki itu terlihat begitu marah. Jelasa saja. Kedua orang tuanya baru saja mengabarkan adiknya yang hamil di luar nikah. Dan semakin parah saat ia tahu Ashana diminta untuk menggugurkan kandungannya. “Bangun!” perintah Akbar pada Ashana. “Mas,” ucap Ashana lemah. “Kenapa kamu bodoh begini, Shan? Kenapa?” “A—aku ....” “Jalan 4 bulan?” ucap Akbar. Ashana menjawabnya dengan anggukkan. “Gila! Jadi waktu itu kamu sudah hamil? Ya Tuhan, Shana! Aku benar-benar nggak habis pikir. Kenapa bisa begini?” “Aku minta maaf, Mas. Aku minta maaf.” Ashana menyambar tangak kakaknya. Akbar berusaha menepis. Namun, akhirnya ia pun menyerah. “Aku minta maaf. Biasanya, kami selalu pakai pengaman.” “Biasanya?” Wah! Akbar semakin dibuat heran. Adiknya yang polos sudah melewati ambang batas aman dalam berhubungan. “Aku nggak bisa ngomong apa-apa. Suruh Rakyan ke sini! Aku mau bicara sama dia.” “Nggak bisa, Mas. Aku nggak bisa. Aku nggak bisa hubungi dia.” “Kenapa? Karena kamu kekeh mempertahankan kandungan kamu?” Ashana mengangguk lemah. “Laki-laki biadab! Sudah berbuat tapi pengecut. Nggak berani bertanggung jawab.” “Mas, Kian punya alasan,” ucap Ashana. “Apapun alasannya, kalau sudah berniat untuk melenyapkan darah dagingnya, dia jauh lebih buruh dari hewan. Hewan aja berusaha melindungi anaknya, nggak peduli apapun yang terjadi. Tapi, dia dengan gampangnya minta kamu untuk menggugurkan kandungan. Kurang ajar!” “Mas ....” “Kamu telepon dia sekarang! Suruh dia ke sini!” perintah Akbar, lagi-lagi Ashana menggeleng. Laki-laki itu sontak menyambar ponsel sang adik yang tergeletak di atas tempat tidur. Ia menghubungi Rakyan. Terhubung! “Ngapain kamu telepon aku? Kamu cuma harus duduk manis. Kamu sudah dapat yang kamu mau, kan? Kita akan nikah. Puas?” “Biadab! Laki-laki kurang ajar! Sini lo. Gue mau ketemu sama lo!” “M—mas Akbar?” “Kenapa? Lo takut? Gue tunggu sekarang juga!” Ashana hanya mampu memejamkan kedua matanya. Ia tak mampu melihat wajah sang Kakak yang diliputi amarah. Wanita itu tak sanggup membayangkan apa yang selanjutnya terjadi. “Aku bakal hajar dia habis-habisan!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD