Memilih Bungkam

1089 Words
Tangannya bergetar. Ashana tak bisa mengegrakkan kedua matanya, bahkan hanya untuk sekedar berkedip. Ketakutannya menjadi kenyataan. Bagaimana bisa? Selama ini semua berjalan mulus. Apa yang harus ia katakan pada Rakyan? Bagaimana respons laki-laki itu kalau sampai tahu ada benihnya yang sedang tumbuh di rahim Ashana? Gegas ia menyambar semua testpack yang hampir membuatnya mati berdiri seperempat jam yang lalu. Di mana harus disembunyikan? Jangan sampai orang lain menemukannya. Biasanya, setiap bulan—setiap kali dirinya menggunakan benda itu, ia akan sekalian membuang di sepanjang perjalanan ke kantor. Laci di dalam lemari menjadi pilihannya. Tempat paling aman yang tidak akan dijangkau siapapun selain dirinya. Saat ini, yang memenuhi kepalanya adalah bagaimana caranya agar kehamilannya tidak diketahui orang lain? Yang memenuhi kepalanya adalah membayangkan bagaimana ekspresi Rakyan. Ashana menagang. Otot-ototnya terasa mendadak kaku. “Shan, makan dulu.” Pintu kamar ditutup. Ashana segera mengunci lemarinya. “Ini buburnya sudah matang.” “Taruh di meja aja, Ma.” Minati terlihat khawatir mendapati raut wajah sang putri yang memucat. Tangannya mendarat di kening Ashana. Hangat. Demam kah? Buru-buru Ashana segera bergeser. Ia tak mau mamanya merasakan kegugupan yang tengah melanda. Untuk menutupi semuanya, ia segera meraih mangkok bubur yang bertengger di nakas. Meniup uap panasnya dan mengambil suapan pertamanya. Wanita itu merasa tak nyaman dengan tatapan mamanya. Ashana menyibukkan diri dengan menikmati bubur dan sibuk mengaduk isi mangkok menjadi satu. Jantungnya masih berderu kencang, laksana mobil di lintasan balap. “Mau Mama antar berobat?” tanya Minati. Ashana langsung menggeleng. Diusapnya pipi sang putri. “Mukamu pucat kayak begini. Kamu lagi sering siaran ke luar?” “Nggak kok, Ma. Memang lagi disuruh istirahat aja kayaknya. Aku mau istirahat biar besok bisa ngantor.” “Nggak ambil cuti aja?” sahut Minati. Ashana menggeleng. “ Kan bisa siaran diganti sama temanmu yang lain.” “Iya. Siaran nanti malam diganti sama yang lain. Aku ambil siaran besok pagi, kayak biasanya.” “Sudah kabari Kian kalau kamu sakit?” tanyanya. Ashana menggeleng. “Kasih tau, dong. Nanti dia khawatir.” “Iya. Nanti aku telepon dia. Selesai makan, aku mau tidur. Boleh ya, Ma?” Sepeninggal Minati, wanita itu kembali meletakkan mangkok buburnya di atas nakas. Selera makannya hilang. Jangankan untuk makan, bernapas pun rasanya sangat sulit. Ashana berdiri mematut diri di depan cermin meja rias. Disibaknya atasan yang dikenakan. Perutnya masih rata. Sampai kapan ia bisa menyembunyikan ini semua? Tanpa sadar, tangannya bergerak mengusapi perutnya lembut. Naluri keibuannya sudah mulai muncul. Secepat ini kah? Mama nggak tau apa yang akan terjadi ke depannya. Mama bingung, tapi Mama harap Papa kamu bisa terima kehadiran kamu. Air matanya meluncur. Ashana terisak. Ia kembali ke atas ranjang dan membenamkan diri di dalam selimutnya yang tebal. Seketika ia teringat semua ucapan Rakyan. Laki-laki itu mengalami trauma besar di sepanjang kehidupannya. Apa yang terjadi membentuk dirinya yang sekarang, takut membuat komitmen. Ashana menyambar ponselnya. Ia membuka ruang obrolannya dengan sang kekasih. Wanita itu mengetik sebaris pesan, tapi urung mengirimkannya. Ashana : Aku kurang enak badan. Seharian ini, rencanaku mau di rumah aja. Aku nggak ambil schedule siaran tengah malam nanti. Ambil siaran besok paginya aja. Kamu di mana, Bie? Tak butuh waktu lama, laki-laki yang dikirimi pesan pun langsung membalas. Rakyan : Aku masih di kantor, Sayang. Sudah minum obat? Mau aku antar ke rumah sakit? Mau makan apa? Biar aku bawain sekalian ke rumah kamu nanti. Ashana menghela napasnya kasar. Haruskah laki-laki itu tahu keadaannya sekarang juga? Atau ... bungkam akan membuat keadaan jauh lebih baik? *** Sore hari, Rakyan datang berkunjung. Ia membawa dua kotak roti, padahal Ashana tak meminta. Laki-laki itu juga membawa obat yang sepertinya dibelinya di apotek saat perjalanan ke sini. Minati langsung mengantar laki-laki yang diyakini akan menjadi menantunya itu ke kamar sang putri. Ashana tengah tertidur. Tubuhnya berkeringat, padahal pendingin ruangan menyala. “Sayang,” ucap Rakyan sembari mengusap punggung sang kekasih. Ashana menggeliat. “Hei.” “Sudah datang?” sahut Ashana. Rakyan mengangguk. “Sudah lama?” “Baru banget. Aku bawa beberapa obat. Sempat mampir ke apotek tadi.” “Obat apa?” tanya Ashana. “Aku beli obat demam sama obat lambung. Sudah minum obat?” Ashana mengangguk. Padahal, ia sama sekali belum minum obat apapun. Ia takut gegabah dengan meminum obat sembarangan. Ashana takut obat sembarangan akan membahayakan janin di kandungannya. Ashana menggenggam erat tangan Rakyan. Laki-laki itu heran dengan sikap kekasihnya. Ditambah lagi, wanita itu yang menatapnya tak berkedip. Namun, ada yang berbeda dari cara menatap Ashana. Tidak seperti biasanya. “Kamu kenapa?” tanya Rakyan. Ashana menggeleng. “Kok natap aku sampai segitunya?” “Nggak apa-apa.” “Serius?” sahut Rakyan. “Bie, kalau suatu hari nanti aku buat kamu kecewa, kamu bakal ninggalin aku nggak?” Apa yang sebenarnya terjadi? Rakyan sama sekali tak punya petunjuk. Selama ini, bukan Ashana yang mengecewakannya. Dialah yang sering membuat wanitanya kecewa, bahkan tak sering merasa sedih dan malu karena dirinya yang terlalu muda terpatik api cemburu. Apapun yang terjadi, Rakyan tak peduli. Ia begitu mencintai wanita yang menggenggam erat tangannya saat ini. Ia balik menatap kedua manik mata yang selalu sukses memancing hasratnya. “Jangan ngomong kayak begitu lagi. Kamu itu berharga banget buat aku. Ada hal yang kamu sembunyiin dari aku, Sayang?” “Nggak ada,” sahut Ashana sambil bergeleng. Semoga raut wajahnya cukup meyakinkan. Rakyan tersenyum dan mencium puncak kepalanya. “Nggak ada, kok. Aku cuma mau tau aja segimana besarnya cinta kamu ke aku. Itu aja.” “Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku juga tau kalau kamu nggak bisa hidup tanpa aku. Sesederhana itu, Sayang.” “Iya. Sesederhana itu. Aku cinta banget sama kamu, Bie.” *** Langkahnya ragu saat memasuki lobi sebuah rumah sakit. Usai siaran, Ashana memutuskan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Namun, sepertinya harus dibatalkan. Ia cukup dikenal karena sering muncul di layar televisi. Apa kata orang kalau sampai melihatnya mengantre di depan ruang praktik dokter spesialis kandungan? Ashana membatalkan rencananya. Ia berjalan berkeliling ke seluruh bagian rumah sakit. Sampai akhirnya ... langkahnya berhenti di sebuah ruangan. Ruangan bayi. Wanita itu menatap isi ruangan. Ada begitu banyak bayi merah mungil yang mengisi boks-boks bayi di dalamnya. Mereka tersenyum dalam tidur. Ada beberapa yang menggeliat. Saat bayi-bayi itu menangis bersahutan, Ashana terkekeh. Seketika ruangan bayi dipenuhi tangisan. Bayi-bayi yang tertidur pun terbangun. Beberapa perawat datang dan mencoba untuk menenangkan mereka. Apa Mama bisa lihat kamu sampai lahir nanti? Lagi-lagi Ashana terbawa suasana. Sampai tak sadar kalau seseorang sudah berdiri di sebelahnya. Wanita itu tersentak kaget. “Shan, kamu ngapain di sini?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD