“Kintan. Pulanglah nak. Abahmu sakit. Dan sekarang membutuhkanmu disampingnya nak." Panggilan telepon dari ibunya. Bisa terdengar bahwa wanita di seberang sana berusaha menahan isakan tangisnya.
“Iya ummi. Kintan izin sama Ustadz dulu mi." Jawabnya tanpa bertanya lebih banyak lagi.
Kintamani, seorang gadis ayu dengan pakaian syar’i dan cadarnya. Gadis Sholeha yang penurut. Membuat setiap orang yang ada di sekelilingnya sangat menyukainya.
Saat ini ia tinggal dan mengabdi sambil menempuh pendidikan dijenjang universitas di pesantren tempatnya menempuh pendidikan sejak Madrasah Ibtidaiyah.
“Assalamualaikum." Sapanya saat mengetuk pintu di ruangan pimpinan pondok pesantren ‘Darul Hasan.'
“wa alaikum salam." Sahut suara seorang Ustadz di ruangan itu.
‘Ustadz Abdul Ghani.' Pimpinan Muda yang baru diangkat menggantikan Abinya memimpin pondok pesantren.
“Masuklah Kintan." Dipersilakannya masuk tamu yang ada di depan ruangan itu. “Ada apa?” Tanyanya saat kintan sudah duduk di depannya.
“Ana mau izin pulang Ustadz. Abah sakit dan minta Ana untuk pulang."
“Kalo boleh tau abah kamu sakit apa?" Tanya ustadz muda itu sopan.
"Ana kurang tau ustadz. Tadi ummi tidak bilang. Karena terus menangis. Ana juga tidak berani bertanya."
"Baiklah. Kapan kamu mau pulang?”
“In shaa Allah sore ini Ustadz. Tadi ummi suruh secepatnya."
“Ya sudah. Semoga abahmu cepat sembuh. Sampaikan salam saya untuk Ummi dan Abahmu."
“Baik ustadz. In shaa Allah Ana sampaikan. Ana pamit Ustadz. Assalamualaikum."
“Wa alaikumus salam." Jawab ustadz Abdul Ghani
Kintan berdiri dan meninggalkan ruangan itu.
***
Setelah mempersiapkan diri dan barang bawaannya, Kintan meninggalkan pondok pesantren dengan adiknya.
Jarak tempuh pondok pesantren dengan rumah Kintan hanya dua puluh menit. Sesampainya di rumah. Kintan segera menuju rumah sakit tempat ayahnya di rawat.
Sesampainya di rumah sakit, Kintan segera bertanya kepada perawat, di mana ruangan Abinya dirawat. Kintan di arahkan menuju ruang rawat abahnya.
Abah Kintan Di rawat di ruangan VVIP. Ia sempat heran. Padahal keluarganya bukan berasal dari keluarga berada.
Ketika Kintan masuk ke ruangan tersebut. Ternyata kondisi abahnya sudah sangat kritis. Namun masih sadarkan diri. Tulang Kaki abahnya remuk. Namun ketika dokter menyarankan untuk operasi abahnya menolak.
Pihak keluarga hanya bisa pasrah. Umminya terus menangis dan berdoa tak tega melihat kondisi suaminya.
"Assalamualaikum." sapanya setelah mengetuk pintu dan membukanya.
Beberapa pasang mata melihat ke arahnya sambil menjawab salam dari Kintan.
"Wa 'alaikumus salam."
“Kintan. Kemarilah Nak." Panggil abahnya dengan suara lirih.
Kintan mendekatkan posisi ke abahnya. Ia juga tak kuasa menahan air matanya Sosok cinta pertamanya. Terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan. Walaupun terlihat lemah. Tapi abahnya tetap tak pernah mengeluh.
“Kamu putri tertua abah, Nak. Jadilah pribadi yang kuat. Abah titip ummi dan adikmu." Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar hati Kintan. Namun ia tidak boleh terlihat lemah.
Ia harus kuat walau air mata seakan tak mau berhenti mengalir. Ia harus kuat menopang tubuh. Menjadikan bahunya sandaran bagi ummi dan adiknya.
“Abah pasti sembuh. Allah pasti menyembuhkan abah." Ucapnya menggenggam jari abahnya kuat.
Abahnya tersenyum. Melihat kondisi abahnya yang semakin kritis dan semakin tak berdaya Kintan menuntun abahnya membaca syahadat di telinga kanannya. Sambil terbata abahnya mengikuti.
Air mata yang berderai seakan tak mau berhenti. Namun ia harus ikhlas. Karena semua sudah Qadar dari Allah.
Saat lisan abahnya selesai mengucap syahadat. Saat itu pula Nafas terakhir abahnya berhembus. Walaupun berat, ada rasa syukur di hatinya. Karena bisa menuntun abahnya mengucapkan syahadat untuk terakhir kalinya.
Ummi Aisyah menangis dengan suara yang tertahan. Tidak di perbolehkan meraung dalam Islam. Semua sudah takdir dan kehendak Allah. Mereka hanya harus belajar ikhlas. Kintan memeluk Aulia, adiknya yang masih MTS dalam dekapan. Mencoba memberi ketenangan padahal ia sendiri begitu rapuh.
Kehilangan kepala keluarga. Sosok yang begitu berarti dalam rumah tangga. Siapapun pasti tak akan kuat.
Di pandangi wajah suaminya untuk terakhir kali. Di kecupnya kening, dan kedua matanya. Di lafazkannya doa, semoga suaminya husnul khatimah. Dan Allah membuka jalan kebaikan bagi mereka. Di bisikkan kata “ummi maafkan semua kesalahan abah. Ummi ridho dengan kepergian abah. Semoga Allah menguatkan langkah ummi dalam kebaikan. Sehingga kita bisa berkumpul kembali dalam jannah." Di usapnya kening suaminya. Lalu perawat menutup wajah pak Sultan, abah kintan. Dan mempersiapkan kepulangan jenazah menuju kediamannya.
Ada sosok yang sangat merasa bersalah. Di tatapnya sendu wajah-wajah keluarga yang baru saja di tinggalkan supirnya untuk selamanya. Supir yang mengabdi dengan kejujuran. Bahkan menjelang akhir hayatnya masih memikirkan keselamatannya. Ya, Dialah pak Bram. Hati yang selalu diliputi Rasa bersalah.
Pak Bram berjalan mendekati keluarga pak Sultan.
“Saya akan mengurus semua keperluan jenazah bu. Ibu bisa pulang dengan anak-anak”. Ucapnya berusaha menenangkan.
Bahkan sampai akhir, supirnya itu tak menceritakan apapun tentang musibah yang sebenarnya pada keluarganya.
Kintan beserta adik Dan ibunya masuk kedalam ambulance di sebelah jasad ayahnya.
Lima belas menit ambulance sampai di halaman rumah mereka. Para tetangga sudah banyak yang berkumpul untuk membantu persiapan pemakaman.
Para pelayat banyak yang ikut menangis. Bagi mereka Pak Sultan adalah sosok panutan. Tetangga yang baik dan pengertian. Selalu ada di saat mereka kesusahan. Tempat warga bertanya tentang kesusahan. Ia selalu bisa memberikan jalan keluar jika ada warga yang meminta saran. Tak pernah terlibat masalah dengan siapapun. Dan mereka tidak menyangka bahwa pak Sultan akan pergi secepat ini. Padahal tadi pagi Pak Sultan masih bertegur sapa dengan warga sekitar sebelum berangkat kerja.
Mereka mengucapkan ucapan bela sungkawa sambil memeluk ummi Aisyah dan anak-anaknya.
“Yang sabar ya ummi. Semoga amal ibadah Abah diterima di sisi Allah. Masuk dalam golongan ahli surga." Ucap mereka sambil mengusap punggung ummi Aisyah menguatkan. Padahal air mata mereka juga jatuh berderai membasahi pipi
Satu persatu pelayat yang tinggal agak jauh mulai berdatangan. Termasuk istri pak Bram, dan para Ustadz Ustadzah mulai berdatangan.
"Yang sabar Ya Kintan. in shaa Allah abah husnul Khatimah. Allah ampuni dosa dosanya dan menerima amal baiknya." Ustadzah Fatimah, Ummi dari Ustadz Abdul Ghani memeluk Kintan. menyalurkan kekuatan melalui pelukan. mencium dahi Kintan. air matanya mengalir. seolah mengerti kesedihan Kintan. karena ia pun pernah merasakan hal yang sama. di tinggalkan oleh orang yang sangat di sayang.
satu persatu teman teman Kintan menyalami dan memeluknya.
Mereka mendoakan kebaikan bagi Almarhum.
Selesai dimandikan, dikafani dan diSholati. Jenazah siap di berangkatkan ke pusara.
Karena Abah Sultan tak mempunyai anak lelaki dan selama prosesi pemakaman wanita tidak di anjurkan untuk ikut mengantar mayyit kepusara. jadi Kintan, Adik dan ummi Aisyah tetap di rumah. karena tamu tamu yang ber ta'ziah masih banyak yang berdatangan.
Menjelang magrib prosesi pemakaman telah selesai. Para pelayat kembali ke rumah masing-masing. Tinggal tiga orang wanita yang tinggal di rumah itu. Mengenang bayangan sosok abah dan suami yang telah tiada.