Masa lalu Dena

1010 Words
Hanya Enam bulan waktu yang Dena habiskan bersama Adrian di masa putih abu-abu nya. Dena sebentar lagi lulus sekolah. Tidak akan ada pulang bersama lagi seperti biasanya. Dena ingat, suatu ketika saat pulang sekolah bersama Adrian. Uang yang mereka miliki pas-pasan, mereka hanya bisa patungan membeli satu porsi bakso untuk dimakan berdua. Terkadang Dena berpura-pura kenyang agar Adrian bisa memakan lebih banyak bakso darinya. Dena bukan tipikal cewek yang suka minta ditraktir pasangan. Ia sangat menjauhi itu. Apalagi ia tahu, pacarnya ini masih berstatus pelajar. Rian, begitu sapaan pacarnya. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Semua saudaranya laki-laki. Atau juga ia ingat, sebuah tempat biasa mereka habiskan bersama. Mereka membeli makanan khas Sunda namanya "Tutug Oncom" harganya lima ribu rupiah satu porsinya sudah dapat aneka macam gorengan. Yang lebih lucunya mereka sengaja membungkus makanannya agar di makan di tempat yang nyaman dengan semilir angin. Salah satu mall di kota Samanta, smoking area lantai dua itu menjadi tempat yang tidak terlupakan untuk mereka. "Sudah kenyang?" tanya Rian. Dena mengangguk. "Ayo kita ke arena bermain!" ajak Rian. Ragu sebenarnya ia pergi kesana, mengingat uang sakunya hanya cukup untuk ongkos pulangnya saja, namun ia tetap mengekori Rian. Kadang-kadang memang agar terasa adil, jika Rian membayar uang makannya, Dena akan membayar untuk yang lainnya. Namun sekarang uangnya benar-benar sudah tak tersisa. "Sudah aku saja yang bayar," ucap Rian sembari menyodorkan uang sepuluh ribu rupiah pada kasir untuk membayar enam koin. Dena jadi merasa tidak enak. Dena dan Rian berkeliling mencari permainan apa yang akan mereka mainkan pertama. Basket, permainan kesukaan mereka berdua. Apalagi Rian perawakannya yang tinggi, tidaklah sulit untuknya sekedar memasukkan bola ke dalam keranjang basket. Tinggi Dena hanya sedada Rian. Namun tetap saja wajahnya tidak bisa membohongi, tentu Dena terlihat lebih dewasa, karena ia merupakan seorang "pangais bungsu" atau kakaknya si bungsu dalam keluarganya. Sedang Rian yang memang adalah anak bungsu, mendengarnya saja anak bungsu identik dengan yang paling muda dan paling dimanja. Kadang-kadang Dena selalu merasa rendah diri hanya dengan memikirkannya saja. Setelah puas memainkan beberapa permainan, tampak mereka sudah lelah. Hari sudah mulai beranjak sore. "Aku harus disuruh belanja dulu," ucap Dena. Rian sudah tahu kebiasaan pacarnya itu. Akhirnya mereka berpisah, Rian pulang ke daerah Camawang, sedang Dena pulang ke daerah Malako. Untuk mendapatkan uang saku sekolah, Dena harus berjuang dengan sekuat tenaga. Modal utamanya hanya rajin dan jujur. Ia tidak punya apa-apa lagi yang bisa dibanggakan selain itu. "Dena tulis semua barang yang kosong disini!" Ucap seorang wanita paruh baya yang mempekerjakan Dena di warungnya, sembari memberikan buku tulis dan pulpen nya. Dena mulai menulis barang-barang yang kosong, sambil melihat ke atas dan melirik ke samping kanan dan kirinya. Dari pekerjaannya ini, Dena mendapatkan upah sepuluh ribu rupiah. Dia telah selesai menuliskan catatan belanjanya, selesai memperkirakan jumlah totalnya, Bu Pipit memberikan uang belanjanya. Uang tiga ratus ribu rupiah ia titipkan dahulu pada grosir tempatnya belanja. Ia kemudian pulang dahulu ke rumahnya untuk sekedar berganti baju. Dena seharusnya mempunyai tiga adik, namun adik laki-laki pertamanya telah tiada sejak lahir. Hanya ada dua adik sekarang, yang perempuan duduk di kelas satu SMP, sedang yang laki-laki duduk di kelas dua SD. Kondisi ekonomi keluarganya terbilang kekurangan, sehingga dikategorikan keluarga miskin yang mendapatkan bantuan. Namun hanya beras saja yang mereka dapat, sehingga untuk mendapatkan uang tetap saja masih kelimpungan. "Mah, aku belanja dulu," ucap Dena pada ibunya. Ibu Dena memiliki penyakit gangguan jiwa, sehingga kadang keluarganya selalu menjadi bulan-bulanan tetangga. Pernah pada suatu malam, Ketika Dena tengah mendengarkan siaran radio di handphone nya, ia dibuat kaget. "Praaaanggg" Anak-anak tetangga datang melempari kaca rumahnya dengan batu, membuat kaca jendelanya pecah dan bolong. Beruntung pecahan kaca itu tak sampai mengenai Dena dan keluarganya yang tidur di ruang tengah. Dena sangat murka, ingin rasanya ia memberi pelajaran pada anak-anak kurang ajar itu, namun ia hanya gadis biasa yang tak punya kekuatan apa-apa. Dena dulu tinggal di lingkungan yang hangat, ia mempunyai teman-teman kecil yang banyak. Masa kecilnya sangat bahagia walaupun ia memang dituntut untuk lebih dewasa dari anak lainnya. Dulu ia dan adik perempuannya tinggal bersama nenek buyutnya. Dena menjadi anak yang diandalkan oleh nenek buyutnya itu. Ia selalu bangun subuh setiap hari, untuk mengerjakan pekerjaan rumah sebelum ia berangkat sekolah. Dena merawat nenek buyutnya yang sakit-sakitan. Anak dan cucu nenek buyutnya, tinggal di tempat yang jauh sehingga tidak mempunyai waktu untuk merawat ibu dan nenek mereka. Sedangkan ayah Dena, memang sifatnya urakan jarang berada di rumah. Lalu siapa yang bisa diandalkan dari keluarganya sendiri kalau bukan dirinya dan adik perempuannya. Dena akan meminta bantuan dari keluarga jauh hanya pada saat genting, itu pun harus dengan sedikit paksaan. Terkadang para cucunya datang hanya pada saat ada kepentingan saja. "Nenek buyutmu mempunyai susuk yang ditanam dalam tubuhnya, sehingga ia tidak bisa mati dengan mudah," ucap salah satu pria paruh baya yang dikenal dengan orang pintar. "Kamu ikhlas Dena kehilangan nenek buyutmu?" tanya beberapa sanak saudaranya yang tak lain anak dan cucu nenek buyutnya. Entah apa yang diperbuat oleh mereka, sekilas Dena mendengar mereka menggunakan daun kelor, dan entah apa lagi. Ia ingat saat duduk di kelas tiga SMP, saat itu sedang kegiatan olahraga, beberapa orang menjemputnya. "Sabar ya Dena, nenek buyutmu sudah meninggal dunia," Perasaan campur aduk terasa dalam dirinya saat itu. Bagaimana mungkin? Hati kecilnya bilang, "Apa yang telah mereka lakukan pada nenek buyutnya?" Jika ia tahu hidup nenek buyutnya tidak akan lama lagi, tentu ia akan lebih cekatan merawatnya. Ia tak akan menyuruh sanak saudara lain yang merawatnya. Atau sekilas hati kotornya juga bilang "Tak apa-apa Dena, kamu sudah bisa bebas dan tidak merawat nenek buyutmu yang sakit-sakitan". Dena sampai di rumah anak dari nenek buyutnya. Disana banyak orang yang tengah mengaji dan beberapa orang datang bertakziah. Sampai empat puluh hari dilalui Dena dengan acara mengaji di rumah nenek buyutnya. Saat itu Dena melihat banyak amplop putih yang berserakan. Terkadang dia kumpulkan amplop sobek itu, masih ada amplop yang terlewat belum dibuka. Dena penasaran membukanya, uang lima belas ribu rupiah, lumayan untuk uang jajannya, pikirnya. Dena belum mengerti apa-apa pada saat itu. Ia belum mengerti kalau kehilangan akan sangat merubah hidupnya seperti saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD