7. Berbagi Suami

2027 Words
Pagi ini cuaca masih sedikit mendung. Hujan yang turun dari tadi malam disertai suara petir masih menyisakan gerimis. Dingin yang menusuk tulang membuat Diana bangun lebih terlambat dari biasanya hingga ia belum sempat memasak untuk sarapan pagi. Ia baru sempat membuat kue untuk dititipkan ke warung-warung. Pagi-pagi sekali Hari sudah bersiap dengan kemeja dan celana panjang kain warna hitam. Tidak seperti biasanya, Hari ini Hari pergi lebih pagi dari biasanya. Seperti biasa tak lupa ia berpamitan pada Diana dan Ayu yang baru bangun dari tidurnya. “Ayah berangkat dulu ya Ayu. Doakan Ayah ya.” Hari mencium Ayu bertubi-tubi. Rasa sayang pada gadis kecil itu memang tak perlu diragukan lagi. Hari adalah seorang laki-laki dan Ayah yang bertanggung jawab. “Tumben mas, biasanya agak siangan.” Tanya Diana merasa Hari tak seperti biasanya. “aku belum sempat masak mas buat sarapan.” Lanjutnya. “Iya bu, aku mau mampir ke kantor dulu sebentar mau ada yang diambil. Biar kantor masih sepi.” Hari yang tidak biasa berbohong terlihat gugup. Diana menyadari hal itu, namun pikiran buruknya ia tepis. Ia tau suaminya sedang dalam situasi yang tidak nyaman untuknya, kehilangan perkerjaan dan belum mendapatkan pekerjaan yang baru. Ia tidak mau lagi membebani pikirannya, apalagi memulai pertengkaran lagi dengannya. “Nanti aku sarapan di jalan aja kalau laper.” Lanjut Hari. Hari mencium kening istrinya itu dengan lembut sambil mengusap rambutnya kemudian pergi. “Dadaaaaa Ayah…” seru Ayu sambil melambaikan tangannya. “Dadaaaa… sayang… baik-baik ya di rumah sama Ibu. Inget, jangan nakal.” Hari melaju dengan sepeda motornya. Pagi itu ia menemui Siska di warungnya yang sudah buka dari jam enam pagi untuk menyediakan menu sarapan bagi para pelanggan. Setelah memarkir motornya, Ia langsung masuk menemui Siska. Siska yang baru saja melayani pembeli mengajak Hari masuk ke dalam dan duduk di rajang kecil disana. Hari menarik nafas panjang dan menghembuskannnya secara perlahan, cukup menunjukkan betapa berat beban yang sedang ia pikirkan. “Sebelumnya aku mau minta maaf ke kamu De’. Aku tau kita sudah salah, sudah berdosa besar. Harusnya aku sebagai laki-laki bisa menjaga kehormatan kamu. Harusnya aku sebagai seorang laki-laki yang sudah beristri bisa menjaga kesetiaaanku untuk istri dan anakkku. Tapi semua sudah terjadi. Aku pun sangat menyesal sudah merusak masa depanmu.” Semakin lama suara Hari semakin terbata seakan terasa berat untuk melanjutkannya. Hari mencoba menguasai emosinya, Ia menghembuskan napasnya dengan sedikit tekanan. “Aku mau menikahi kamu sebagai istri keduaku.” Hari tertunduk dengan pandangan kosong. “Aku mau bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan.” Hari terlihat mantap dengan perkataannya. Siska hanya terdiam. Ia tau ia salah, tak seharusnya ia menggoda lelaki yang sudah beristri hanya untuk kepuasannya membalas dendam pada mantan kekasihnya. Penyesalan pun sudah tidak ada gunanya, sekarang ia kehilangan kehormatan yang selama ini ia miliki sebagai seorang wanita. Apapun resikonya harus ia hadapi, termasuk jika Ia hamil. “Terserah mas Hari aja. Aku pasrah mas. Aku tau aku salah.” Jawab Siska dengan perasaan bersalah. “Tapi aku mohon sama kamu, tolong sembunyikan masalah ini dulu dari istriku. Kasih aku waktu untuk membicarakan ini baik-baik ke keluargaku. Aku janji ini tidak akan lama.” Kata Hari meyakinkan Siska. “Nanti sore kita bicara sama keluargamu ya” “Ya mas.” Jawab Siska pelan. *** Sore itu Hari menjemput Siska di warungnya setelah seharian Ia memilih untuk menarik ojek di sebuah pangkalan ojek dekat perusahaan lamanya. Kebetulan Ia mengenal beberapa tukang ojek disana karena seringkali Ia menghabiskan waktu istirahatnya untuk duduk-duduk disana sekedar ngobrol ngalor ngidul dengan beberapa tukang ojek. Mereka pun langsung menuju rumah Siska yang letaknya tak jauh dari warung tempat Ia bekerja. Sesampainya dirumah Siska, Ia langsung mempersilahkan Hari untuk duduk, kemudian Siska memanggil Ratna yang saat itu tengah memandikan anak keduanya. Ratna adalah kakak Siska satu-satunya. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, karena itulah Siska ikut tinggal bersama dengan keluarga kakaknya yang sudah memiliki dua orang anak. “Siapa Sis? Udah langsung dibawa ke rumah aja” tanya Ratna menggoda adiknya ketika ia sudah bertemu dengan Hari. Ratna pikir Siska telah menemukan pengganti mantan kekasihnya yang b***t itu dengan cepat, sehingga ia pun ikut berbahagia karena Siska tak perlu bersedih lagi. Siska hanya diam dan langsung mengenalkan Hari pada Ratna. “Ini Mas Hari Mba.” Hari menjabat tangan Ratna dan kembali duduk di kursinya. “Saya Hari Mba, Saya kesini ada yang mau saya sampaikan ke mba sebagai wali Siska.” Perkataan Hari membuat kening Ratna berkerut. “Ada apa ini ya?” Ekspresi Ratna seketika berubah. Ia tau ada yang tidak beres dengan kedatangannya. Ratna penasaran dan ikut duduk di kursi tamu tepat di depan Hari. “Maaf Mba, mungkin kedatangan saya tiba-tiba kesini membuat Mba Ratna bingung, tapi sayang datang kesini dengan niat baik. Saya kesini bermaksud untuk menikahi Siska.” Kata Hari dengan sedikit Ragu. Ia tau pasti kakak Siska tidak akan bisa menerima keadaan ini begitu saja. “Saya bermaksud menikahi Siska sebagai istri kedua saya.” “Hah??? Istri kedua???” Ratna begitu syok mendengar perkataan Hari. Ia menatap Siska, Siska hanya menunduk seolah mengiyakan perkataan Hari. Sepertinya mereka berdua telah membuat kesepakatan penikahan sebelum mengatakannya pada Ratna. “Saya ngga ngerti. Tolong kamu jelaskan.” Tanya Ratna dengan nada yang mulai meninggi. Ia tidak terima adiknya akan dijadikannya istri kedua. Entah apa yang merasuki adiknya itu hingga rela menjadi madu. Dengan gentlemen Hari mengakui segala kesalahan dan kekhilafannya di hadapan Ratna. Hal itu tentu saja membuat kemarahan di hati Ratna. Ia begitu marah kepada Hari, ingin rasanya Ratna menampar laki-laki di hadapannya itu. Ratna juga amat sangat kecewa dengan sikap adiknya itu. “Kamu udah bener-bener ngecewain mba Sis. Apa kata almarhum orangtua kita kalau tau kamu begini?” Ratna berusaha menahan amarahnya. “Maafin aku Mba… aku tau aku salah Mba.” Siska berurai air mata dan bersimpuh di hadapan Ratna. “Aku berdosa Mba, aku siap dengan semua resikonya Mba.” Ratna pun sebenarnya tidak tega melihat adik satu-satunya ini seperti itu. Ia pun akhirnya mengijinkan Siska menikah dengan Hari demi masa depan Siska, yang jelas ia ingin Siska bahagia. Seminggu kemudian, pernikahan siri keduanya pun digelar di kediaman rumah Ratna, kakak Siska, tanpa sepengetahuan Diana, istri pertama Hari maupun keluarga besar Hari. Ratna pun tak sepenuhnya menyalahkan Hari atas apa yang terjadi, Siska lah yang masuk terlalu jauh kedalam biduk rumah tangga Hari dan Diana. Hari-hari setelah pernikahan mereka lalui dengan bahagia hingga satu bulan berlalu akhirnya Hari diterima bekerja di sebuah perusahaan periklanan. Gajinya memang tidak sebesar di perusahaan lamanya, tapi cukup untuk memberi nafkah untuk kedua istri dan satu anaknya dengan berkerja sambilan sebagai ojek online sepulang bekerja. Ia harus bekerja lebih keras, apalagi ketika Siska dinyatakn hamil setelah dua bulan pernikahan siri mereka. Sore itu sepulang bekerja Hari mengunjungi Siska di rumah Ratna. Siska terlihat murung, ia tak menyambut istimewa kedatangan Hari seperti biasanya. Ia langsung masuk ke kamar setelah membukakan pintu untuk Hari. Hari mengikuti istri mudanya itu masuk ke dalam kamar. “Kamu kenapa sih De’? Masa suani dateng bukannya seneng malah dikasih tampang cemberut gitu?” tanya Hari sambil mencium kening Siska. Mereka kemudian duduk di pinggir ranjang. “Aku cape Mas dengan hubungan seperti ini. Aku mau kamu berterus terang pada istri pertamamu. Aku juga ingin diperlakukan sama layaknya istri, kamu janji akan bersikap adil. Selama ini kamu ngga pernah menginap disini, aku ini apa mas…?” kata Siska yang merasa hak-hak nya tidak Hari penuhi. Selama ini Ia sudah cukup bersabar, Ia tau posisinya selama ini, tapi kehamilannya membuat Ia menjadi lebih sensitif dari biasanya. “Iya De’, maafin Mas ya. Tolong kasih aku waktu satu minggu. Aku janji akan bicara pada Diana.” Jawab hari lembut. Siska hanya mengangguk, ia begitu menurut pada suaminya itu. Hari mengecup dengan lembut kening Siska, lalu berdiri menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Di dalam sana mereka mencurahkan segala kerinduan yang mereka pendam setelah dua hari tak bertemu. *** Sesuai janji Hari kepada Siska, Sore itu Hari memilih pulang lebih cepat dari biasanya. Ia berniat mengajak Diana dan Ayu jalan-jalan ke taman di dekat pusat kota, ia bermaksud menceritakan apa yang terjadi selama ini kepada Diana. Di tempat yang nyaman dengan suasana yang lebih santai. Di sebuah bangku besi di dekat arena bermain, Hari dan Diana duduk mengawasi Ayu yang terlihat begitu senang berlarian kesana kemari seperti menikmati kebebasannya di alam luar. Hari itu bukan hari libur, suasana taman tidak begitu ramai, hanya ada beberapa anak yang terlihat bermain kejar-kejaran ditemani orangtuanya di sudut taman. “Ada yang mau aku bicarakan Bu.” Kata Hari tiba-tiba memecah keheningan. Diana yang sedari tadi terlihat mengawasi Ayu langsung menoleh kearah Hari. “Bicara apa Mas? Kebetulan, aku juga mau kasih tau kamu sesuatu.” Kata Diana sambil tersenyum, raut wajahnya menunjukkan ada sebuah kebahagiaan yang ingin Ia sampaikan. “Ya udah, Mas aja dulu.” Kata Diana sambil memandang wajah Hari. Hari menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan “Aku tau ini salah Bu, aku betul-betul minta maaf.” Suara Hari tiba-tiba terasa berat seperti tertahan. Ia kembali menarik nafas panjang dan melanjutkan perkataannya lagi. “Aku sudah menikah lagi Bu.” Diana menahan tawanya, seolah tidak percaya dengan pengakuan Hari. “Kamu ini ada-ada aja, jangan bercanda seperti itu Mas… takut nanti ada yang mengaminkan.” Kata Diana dengan santai. “Aku betul-betul serius Bu.” Hari menatap tajam mata Diana, Ia ingin meyakinkan Diana bahwa apa yang dikatakannya adalah benar. Hingga akhirnya Hari menjelaskan semua yang terjadi pada Diana dari awal pertemuannya dengan Siska. Diana menangis sejadinya, beberapa kali Ia terlihat memukul badan Hari sebagai bentuk pelampiasan kemarahan dan kekecewaannya. Ia tak kuasa menahan rasa sakit akibat kebohongan dan penghianatan suaminya itu. Hari menyadari apa yang telah dilakukannya benar-benar membuat Diana begitu sakit. Ia pun menerima semua perlakuan Diana sampai Diana merasa tenang dan puas melampiaskan emosinya. “Jahat kamu mas! Tega kamu lakuin ini sama aku!” Kata Diana ditengah isak tangisnya. “Iya Bu, aku tau aku salah” Hari berusaha memeluk tubuh Diana untuk menenangkannya, namun dengan cepat Diana menepisnya. Entah harus berapa lama ia bisa menerima penghianatan ini. “Aku mau pulang.” Kata Diana dengan suara sedikit ketus. Hari pun mengiyakan dan memanggil Ayu yang masih asik bermain dengan teman barunya. *** Sudah lebih dari satu pekan berlalu setelah Hari mengakui pernikahan sirinya, namun rasa sakit yang dirasakan Diana tak kunjung hilang. Sudah selama itu pula Diana dan Hari saling diam tanpa banyak bicara. Hingga di satu kesempatan Hari memergoki Diana yang muntah-muntah di kamar mandi. Hari begitu khawatir dan langsung mengetuk pintu kamar mandi yang tertutup itu. “Bu, kamu ngga papa bu?” tanya Hari tepat di depan pintu. Namun tak ada jawaban. Ia tetap menunggu hingga Diana keluar. Saat pintu kamar mandi dibuka, terlihat Diana dengan wajah yang pucat dan terlihat lemas. “Kamu kenapa bu?” tanya Hari panik sambil memegangi tubuh Diana yang hampir jatuh. “Ngga papa mas.” Jawab Diana dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Hari memapah tubuh Diana dan membaringkannya di sofa depan televisi. “Kita ke dokter ya bu, kamu pucat sekali.” “Ngga usah mas.” Kata Diana sambil memejamkan matanya. “Ngga usah bagaimana? Badanmu lemas begini.” kata Hari sambil memegang tangan Diana yang berkeringat dingin. “Aku hamil.” Kata Diana singkat. Seketika membuat Hati terdiam. Yang ia pikirkan bagaimana ia harus membiayai kedua istrinya yang hamil di saat yang bersamaaan. Ia tau biaya periksa dan melahirkan yang tidak sedikit. Itu artinya ia harus bekerja lebih keras lagi. Namun hari tetap merasa bahagia dengan kehamilan Diana. Anak adalah amanah, itu artinya Allah masih memberikan kepercayaan padanya. Ia yakin ia mampu. “Nanti sore kita ke dokter ya bu. Biar kita tau keadaan calon bayi kita.” Kata Hari dengan lembut pada Diana. Ia kecup keningnya dengan sangat lembut, membuat Diana begitu nyaman dan seketika rasa sakit yang ia rasakan sedikit berkurang. Dengan kehadiran calon bayi dalam rahimnya serta kehangatan yang Hari berikan selama ini, Ia pun berusaha menerima apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Toh semua sudah terjadi, yang terpenting Hari bertanggungjawab atas dirinya dan anak-anaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD