Karena kita adalah ketidakmungkinan yang selalu kusemogakan
***
Hari ini Dinda terpaksa pulang menjelang malam karena kegiatan pementasan yang akan diadakan oleh UKM-nya semakin dekat. Dirinya sebagai ketua pelaksana harus ekstra keras memantau setiap perkembangan yang ada. Setelah melewati tiga jam dalam ruangan akhirnya ia bisa bernafas lega.
Dengan senyum mengembang, Dinda membenarkan letak tasnya, menghampiri Nathan yang memaksa menjemput.
"Udah lama?" tanyanya menyentuh pundak Nathan yang segera menegakkan badan, mencabut earphone yang menyantol di telinganya. Lelaki itu menggelengkan kepala. "Enggak kok, aku juga baru dateng."
"Kamu udah makan?" tanya Nathan kemudian.
Gelengan Dinda membuatnya berdecak. "Kamu itu yah, udah aku bilang sesibuk apa pun, jangan sampai lupain makan. Kalau maag kamu kambuh gimana?"
Melihat kekhawatiranya, Dinda tersenyum. Ada kebahagiaan tersendiri yang memenuhi rongga dadanya. Nathan memang tak seromantis lelaki di luar sana, namun perhatian kecil lelaki itu selalu berhasil membuatnya merasa sangat disayangi. "Aku gak bakal kenapa-napa. Ada kamu yang selalu ingetin."
Nathan mengacak rambut hitam legamnya dengan gemas. "Jangan terlalu bergantung sama aku. Gimana kalau suatu saat ak-"
"Kamu gak bakal ke mana-mana," potong Dinda cepat.
"Emang siapa yang mau pergi?" Nathan menahan tawanya melihat raut was-was di wajah kekasihnya. "Aku cuma mau bilang gimana kalau suatu saat kita lagi sama-sama sibuk dan aku gak sempet ingetin? Kamu pasti gak bakal inget makan."
"Enggak, aku bakal inget karena aku gak mau buat kamu khawatir."
Nathan urung tersenyum mendengar ucapan gadis itu. Tanpa menunggu lama, mereka memutuskan untuk beranjak.
***
Setelah mengantar Dinda, Nathan tidak langsung pulang, melainkan menjemput Naina yang minta diantar ke toko kue. Kebetulan hari ini mamanya berulang tahun.
"Udah?" tanyanya sesaat setelah Naina keluar dari toko sembari membawa kue tart yang masih terbungkus rapi. Gadis itu mengangguk lalu mendudukkan diri di boncengan Nathan.
"Hubungan kamu sama Lintang gimana?" tanya Nathan saat kendaraannya sudah melaju. Ia melirik gadis itu lewat kaca spion. Naina menghela nafas berat. "Gak tau."
"Dia mendaki lagi?" tanya Nathan. Kekasih dari sahabatanya merupakan anggota Mapala yang sering melakukan pendakian. Jarak dan komunikasi menjadi permasalahan dalam hubungan keduanya. Lintang lebih memilih menghabiskan waktunya untuk menundukkan alam, sedangkan Naina, semakin lama ia mulai merasa jengah terus ditinggalkan. Gadis itu ingin seperti pasangan kebanyakan yang menikmati malam minggunya bersama sang kekasih.
"Gak tau, dia gak ada kabar," lirih Naina berubah muram. Melihat sahabatnya bersedih menciptakan perasaan tak suka. Dulu Nathan kira, membiarkan Naina bersama Lintang adalah pilihan terbaik, tapi setelah melihat bagaimana gadis itu sering mengeluhkan kekasihnya, harapan yang sempat ia kubur malah kembali muncul.
Tidak, Nathan menggeleng samar. Dinda sudah cukup berperan selama ini untuk membantu melupakan perasaannya meski ... hanya sedikit. Dirinya tidak boleh serakah.
Tak terasa motor yang mereka kendarai sudah sampai di depan rumah sahabatnya. Naina segera turun, menyiapkan kue dan menyalakan lilin. Gadis itu tampak antusias sekali. Nathan ikut bahagia melihatnya.
***
Dinda menatap sendu pada sebuah foto yang baru saja diunggah beberapa menit lalu di i********: milik seseorang. Helaan nafas terdengar disusul dengan senyuman miris yang terbit di bibirnya.
Setelah lelaki itu mengantarnya pulang, Dinda merasakan khawatir yang luar biasa karena Nathan menghilang begitu saja, tidak mengabarinya sama sekali.
Dinda tidak masalah dengan Nathan yang mengingkari janjinya untuk menelepon. Ia hanya butuh diberi kabar agar tidak merasa cemas, takut terjadi sesuatu pada lelaki itu setelah mengantarnya pulang.
Ternyata ketakutannya hanyalah hal yang sia-sia. Nathan malah bersenang-senang merayakan ulang tahun mama Naina.
Dinda tak pernah membatasi kedekatan mereka. Ia merasa tidak memiliki hak untuk itu. Hanya saja, tidak bisakah Nathan meluangkan waktu sejenak hanya untuk memberinya kabar?
Apakah sesulit itu atau ... dirinya memang tak masuk prioritas sehingga Nathan dengan mudah melewatkannya.
"Aku pikir, ngasih kamu kesempatan adalah keputusan terbaik," lirih Dinda kembali memandangi gambar sepasang sahabat tersebut. "Apakah aku terlalu bodoh karena pernah berpikir, bahwa kamu udah berhasil lupain perasaan kamu sama dia."
Hening, hanya terdengar deru kendaraan dari jalanan kompleks. Naina tersenyum miris. Hanya karena sebuah foto ia menjadi lemah seperti ini.
"Nath, aku hanya perlu sabar buat kamu, 'kan?" Dinda lagi-lagi bermonolog.
Baginya, melepaskan Nathan adalah keputusan terakhir yang akan ia ambil. Sekarang ia akan berusaha membuat lelaki itu menjadikannya yang pertama, menggeser posisi Naina, bahkan jika perlu ... ia akan bersikap egois seperti yang kerap Naina lakukan.
***
Nathan sedari tadi sibuk sendiri, sesekali menatap pada ponselnya. Sejak semalam ia mengirimkan chat pada Dinda, tapi tak ada balasan, menelepon pun tak diangkat sama sekali.
"Nath, nanti sore kamu bisa anter ke mall? Aku mau beli sesuatu."
Lelaki itu mengalihkan tatapan pada Naina. "Kenapa gak minta anterin pacar kamu? Lintang udah pulang, 'kan? Tadi pagi aku liat dia di parkiran."
Naina berdecak. "Aku gak tau. Dia ngehubungin aku."
"Nai, aku mau aja anterin kamu, tapi aku gak enak sama Lintang. Gimanapun dia-"
"Ya udah lah kalau kamu gak mau, aku bisa pergi sendiri," ketus Naina memotong ucapannya.
Nathan menghela nafas. Kalau sudah seperti ini, tandanya ia harus mengalah. Nathan mengalihkan atensi pada ponselnya yang bergetar. Matanya membola melihat isi chat yang dikirimkan seseorang.
Arga, mengiriminya foto Dinda yang tengah berduaan dengan Satya. Hal tersebut membuatnya menggertakkan gigi kesal. Dinda sejak pagi mengabaikannya dan sekarang malah berduaan dengan adik tingkatnya. Ia tidak menyadari, sejak tadi Naina memperhatikan tingkahnya. "Nath?"
"Nai, maaf. Aku harus pergi." Tanpa menunggu jawaban, lelaki itu bangkit dan berjalan keluar dari area fakultasnya untuk menemui Dinda. Perasaan jengkel bercokol di hatinya.
Memasuki perpustakaan, Nathan dibuat tertegun mendapati Dinda tengah duduk sendirian, fokus membaca buku di tangannya. Satya sudah tidak ada di sana.
"Nda," panggilnya membuat gadis itu mendongak. Bukannya menjawab, Dinda malah membereskan buku-bukunya, bersiap untuk pergi.
Melihat tingkah kekasihnya, Nathan segera menahan lengannya. "Kamu mau ke mana? Kenapa kamu abain chat dan telepon aku?"
Dinda memilih bungkam, kembali melanjutkan langkah. Hal tersebut membuat lelaki itu berdecak. Nathan berusaha menyamai lajunya. "Kamu kenapa sih?"
Masih tak ada jawaban.
"Aku buat salah?" tanya Nathan lagi, tak peduli di mana dirinya berada.
Dinda melengos. "Pikir aja sendiri!"
Seketika Nathan ingin membongkar isi kepala gadis di sebelahnya. "Aku gak tau ya, aku punya salah apa sampai kamu ngabain aku dan malah berduaan sama Satya."
Dinda yang mendengar tudingan tersebut hanya mendengkus. Semalaman ia tidak bisa tidur hanya karena memikirkan Nathan, lebih tepatnya mencemaskan lelaki itu. Ia kira Nathan akan menyadari kesalahannya, bukan malah balik menyalahkan.
Dinda menyerahkan buku yang akan ia pinjam pada penjaga perpustakaan, setelah selesai dengan urusannya, ia berjalan ke arah loker untuk mengambil tasnya, sedangkan Nathan? Lelaki itu masih setia membuntutinya.
Nathan berjalan mendahului untuk menghalangi langkahnya. "Nda, kam-"
"Kamu pergi ke mana semalem?" potong Dinda akhirnya. Mereka kini berdiri berhadapan.
Nathan tergagu, merasa serba salah menjawab pertanyaannya.
Mendesah pelan, Dinda mendekap bukunya, tatapan lelah terpancar jelas di matanya. "Aku tau kamu bareng Naina semalam buat rayain ulang tahun tante Mela," ucapnya membuat lelaki itu melemparkan raut bersalahnya. "Aku gak marah Nath jika tahu hal itu."
Dinda memejamkan matanya sejenak. Berusaha mengatur nafasnya yang tak beraturan. "Nath, kamu tau sendiri kalau aku gak pernah ngelarang kamu pergi sama Naina, dia sahabat kamu." Tatapan Dinda berubah teduh. "Aku cuma pingin kamu jujur. Apa itu sulit?"
Nathan memegangi kedua bahu gadis di depannya. "Maaf ya?" pintanya tulus. "Aku emang salah. Lain kali aku gak akan kayak gitu lagi."
Meski ragu dengan perkataan lelaki itu, Dinda akhirnya mengangguk. Baginya, tak baik bertengkar berlarut-larut.
"Makasih, Nda. Makasih," ucap Nathan tersenyum lega.
Dinda hendak membalas, tapi ia malah dibuat tertegun melihat keberadaan seseorang di belakang Nathan.
"Na-Nath," lirihnya menggapai lengan lelaki itu, berusaha memberitahu. Tapi, Nathan tak peka.
"Kenapa?"
Dinda tergagu. "I-itu ..."
"Apa sih?" Nathan mengernyitkan dahi kemudian membalikkan badan. Matanya membeliak mendapati Naina yang berdiri tak jauh darinya. "Nai?"
"Hai, Nath! Hai juga mm mantan sahabat?" Naina menatap keduanya secara bergantian kemudian bertepuk tangan. "Hebat!"
"Kamu ... kenapa bisa ada di sini?" tanya Nathan, raut wajahnya berubah khawatir.
"Kalau kamu bisa ada di sini, kenapa aku gak bisa, Nath? Aku ikutin kamu dan ternyata kamu ninggalin aku demi dia?" tunjuknya sinis.
Dinda tidak suka dengan cara Naina menatapnya. Seolah dirinya virus yang menjijikan.
"Jadi dia cewek yang kemarin jalan sama kamu?"
Nathan tergagu. Tentu Dinda tahu seberapa besar ketakutan kekasihnya membuat gadis bertubuh semampai itu terluka, tapi apa Nathan tak memikirkan lukanya juga?
Bukannya menjawab Nathan malah menarik lengan Naina. "Nai, kita bicarain ini nanti ya?"
Naina berusaha melepaskan tarikan lelaki itu. "Enggak, Nath. Aku cuma butuh jawaban kamu. Iya atau enggak, kamu pacaran sama dia?"
Lelaki itu menghembuskan nafas berat sebelum melirik Dinda yang menunggu responnya. Ia kembali beralih pada Naina yang menunggu tak sabar. "Nanti sore aku ke rumah kamu buat jelasin. Sekarang kita kembali ke kelas, kamu masih ada jadwal juga, 'kan?"
Naina melengos, berbeda dengan Nathan yang kembali menatapnya dan berkata, "Nanti aku telepon kamu."
Dinda baru akan menjawab, tapi Nathan sudah berlalu sembari menarik tangan Naina, membawanya pergi. Melihat itu, Dinda tersenyum miris.
Apa susahnya Nathan mengatakan secara terang-terangan mengenai hubungan mereka? Naina benar, lelaki itu hanya perlu mengatakan 'iya' atau 'tidak' dan Nathan malah memilih opsi yang semakin membuat Dinda ragu akan perasaan lelaki itu.
Tidak salah bukan Dinda merasa kecewa? Ia hanya ingin diakui.