Nara menatap kedua tangannya yang sudah sembuh. Luka yang sebelumnya menghiasi kedua telapak tangannya itu kini sudah tak terlihat lagi, berkat Moa.
Gadis itu menghela napas, lalu menengadahkan kepalanya ke atas, menatap dedaunan di atas sana yang menari-nari tersapu angin.
"Maafkan aku, Yooshin," batinnya. "Aku juga tidak mengerti kenapa aku melakukan semua ini."
Nara mengepalkan tangannya, lalu memejamkan mata. Mendadak, entah kenapa, ia merasa begitu berdosa kepada kedua orangnya. Jika keduanya masih hidup, mungkin Nara bisa melihat raut kekecewaan yang ada di wajahnya.
Nara meremas pakaiannya.
"Ada makhluk jahat yang hidup jauh sebelum kakekmu lahir. Mereka jahat, sangat jahat, dan tidak memiliki belas kasihan sedikit pun."
"Apa mereka membenci manusia, Bu?"
"Hm. Mereka sangat membenci manusia. Dan yang jadi masalahnya adalah, mereka itu abadi dan hampir tidak bisa dikalahkan bahkan oleh raja di negeri ini. Makhluk itu seolah tidak memiliki rasa takut, dan akan terus menyerang manusia, lalu menghisap jiwa-jiwa gelap manusia."
"Menakutkan sekali. Lalu bagaimana cara mengalahkan mereka?"
"Mereka tidak akan mempan oleh serangan manusia, tapi mereka bisa kalah oleh sesama bangsanya."
"Maksudnya?"
"Manusia bisa melawan makhluk itu, selama manusia memiliki sesuatu yang berasal dari kekuatan mereka. Moa akan kalah."
Di hari itulah pertama kali Nara mendapatkan peralatan memanahnya. Di umur lima tahun, gadis itu sudah diperkenalkan dengan panah dan pedang. Kedua orang tuanya dan juga sang kakek melatihnya hingga Nara tumbuh menjadi gadis yang hebat walau usianya masih belia.
Gadis itu adalah calon pendeta penerus sang Ibu, Kiara. Namun seiring berjalannya waktu, rencana Kiara seolah hancur secara bertahap hingga suasana berubah menjadi seperti sekarang. Kini putrinya justru terpenjara di dalam hutan dan tak bisa keluar dari sana. Mia benar-benar mengurungnya di sana. Lalu parahnya, Nara dibuang oleh penduduknya sendiri begitu ia jatuh sakit karena melawan Moa. Ia terluka parah dan tak sadarkan diri selama berhari-hari, lalu penduduk memilih untuk membuangnya.
Sangat menyedihkan.
Dan kini mereka seolah memintanya untuk kembali ke desa, namun hal itu tidak berjalan dengan mudah karena Moa sudah ada bersamanya. Makhluk itu bahkan tak membiarkannya pergi dari sana.
Semakin lama menghabiskan waktu di sana, Nara seperti kehilangan niat untuk melarikan diri. Ia bahkan sudah tidak memikirkan lagi norigae peninggalan ibunya yang sudah ia kubur di suatu tempat.
"Aku minta maaf, Ayah, Ibu. Kalian pasti kecewa dengan apa yang aku lakukan sekarang," batin Nara.
Nara berpikir kalau nyawanya akan langsung melayang saat dirinya sudah berada di depan mata Moa, namun yang terjadi justru sebaliknya. Yang Moa lakukan justru menyelamatkannya berkali-kali, bahkan membantunya menyembuhkan luka di beberapa anggota tubuhnya.
Nara tak tahu apakah ia harus takut, bersyukur, atau bingung. Semuanya bercampur aduk di dalam kepalanya.
"Haruskah aku mengakhiri hidupku sendiri?"
Nara menatap jurang di belakangnya. Jangankan untuk bunuh diri, setiap dia terpeleset saja Moa seringkali muncul secara tiba-tiba. Gerakan makhluk itu masih begitu cepat dan ia tak bisa mengimbanginya.
"Dibandingkan menyiksa, Moa lebih pantas disebut merawatku selama aku berada di sini bersamanya. Bukan aku yang mengabdi padanya, tapi justru dia yang terlihat mengabdi padaku. Dia membawakan aku pakaian, menolongku, mencarikan makan, dan juga menyembuhkan lukaku. Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini?"
Kepala Nara mendadak pening. Tanpa sadar, ia masuk semakin dalam ke dalam hutan, sekaligus masuk ke dalam kungkungan Moa dan membuat makhluk itu mendekapnya dengan semakin erat.
"Beban pikiranmu pasti banyak bertambah setiap harinya selama berada di sini," ujar seseorang.
Nara mengerjap dan ia tersadar dari lamunannya. Gadis itu lalu menoleh ke sumber suara dan melihat Moa yang sudah duduk di sebuah batu yang tak jauh dari posisinya, entah sejak kapan karena bahkan Nara tak menyadari keberadaannya juga tak mendengar langkah kaki pria itu.
Nara lalu membuang pandangannya ke arah lain. "Ada yang ingin aku tanyakan padamu. Apa aku boleh mengatakannya?" ujarnya pelan.
"Ya, silakan. Kau bebas bertanya padaku, termasuk kapan waktu kematianmu."
Nara menelan ludah. "Jika kelak kau sudah membunuhku dan aku mati, apa yang akan kau lakukan?" tanyanya.
"Aku akan mengakhiri hidupku."
Kedua mata Nara berkedip dua kali. "Benarkah?"
"Menurutmu aku terdengar berbohong? Tujuanku adalah membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri. Aku mungkin sudah berhasil membunuh ibu dan ayahmu, tapi kau adalah keturunan mereka dan kau hanya akan membuat semua dendamku bertambah parah. Jadi, untuk itulah aku mengincar nyawamu bahkan sebelum kau dilahirkan oleh Kiara."
"Hidupmu pasti berat sekali. Orang tuaku membunuh bangsamu bukan tanpa alasan. Kalian juga membunuh manusia, dan kedua orang tuaku hanya melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan."
"Dan kakekmu adalah dalang dari semuanya."
"A-apa?"
"Kakekmu, Kim Seungmo, adalah manusia picik yang juga aku benci hingga detik ini. Dia penyebab dari semua ini. Dia mengadu-dombakan aku dan juga ibumu. Dia tahu kami membuat kesepakatan dan dia mengacaukan segalanya. Dia dan juga orang-orangnya membunuh penduduk lalu berkata pada Kiara kalau akulah yang membunuh mereka semua."
"Ka-kau pasti bohong!" tukas Nara. Ia teramat terkejut mendengar penjelasan Moa yang benar-benar tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia mengenal sang kakek dengan pribadi yang begitu baik. Kakeknya, tak mungkin membunuh orang-orang tak berdosa dengan cara yang begitu kejam. Lantas apa bedanya dia dengan Moa?
"Ibumu marah dan menyudutkanku. Dia dan ayahmu diam-diam masuk ke dalam hutan di malam purnama dan membunuh semua keluargaku. Dia membunuh mereka saat mereka dalam kondisi lemah karena purnama. Dan aku tidak menyangka kalau putri kesayangannya ini justru melakukan hal yang sebaliknya. Putrinya justru berkata kalau ia tak tega membunuh mahluk yang sudah membunuh kedua orang tuanya saat makhluk itu dalam kondisi lemah. Dia benar-benar pintar menyia-nyiakan kesempatan besar." Moa menatap Nara yang masih tertegun mendengar penuturannya.
"Aku mengenal kakek dengan begitu baik, kau pasti salah." Nara bergumam pelan.
"Lalu kenapa dia sampai membuangmu? Dia membuangmu ke laut. Bahkan saat kondisimu hampir sekarat dan dia masih berpikir untuk membunuhmu dan menyingkirkanmu dari hadapannya. Dia dengan mudah menganggapmy tak berguna. Lalu dia menyuruh orang-orangnya untuk membakar perbatasan hutan, membiarkanku masuk ke wilayahnya dan membunuh manusia yang ada di sana. Berharap orang-orang akan mengejarku dan membunuhku."
Kedua mata Nara berkaca-kaca. Cairan bening merembes keluar dari sela-sela matanya hingga pandangannya menjadi buram. Kakeknya adalah salah satu orang yang memiliki kepribadian yang begitu baik dan dia begitu disegani oleh orang-orang di sekitarnya, bahkan Tuan Hwang mempercayainya sejak lama.
Kedua tangan Nara mengepal dan meremas pakaian yang dikenakannya.