Chapter 21

1155 Words
Moa membawa tubuh Nara ke permukaan dan ia langsung kehilangan keseimbangannya. Pria itu menatap Nara yang masih tak sadarkan diri. Suhu gadis itu juga kian menurun. Moa meraih wajah Nara dan ia mendekatlan wajahnya. Diberinya napas buatan, berharap gadis itu segera menunjukkan pergerakan. Dengan tenaga yang masih tersisa, Moa berusaha mengeluarkan air yang kemungkinan masuk ke dalam tubuh Nara. "Sadarlah! Kau bisa!" Moa kembali memberikan napas buatan. Setelah beberapa saat, Nara terbatuk pelan namun kedua matanya tak kunjung terbuka. "Hei, apa kau mendengarku? Kau bisa mendengarku?" Moa menepuk-nepuk pelan permukaan pipi Nara namun gadis itu masih memejamkan kedua matanya, sesekali mengerutkan dahi. Moa menatap kedua telapak tangan milik Nara yang terluka. Gadis itu nekat sekali. Jika saja pedang yang melukainya adalah pedang milik Moa, nyawanya pasti akan langsung melayang kurang dari satu menit. Begitu hujan reda, ia segera membawa Nara pergi dari sana. Ia tak akan bisa bergerak lebih cepat jika seandainya Yooshin masih mencari keberadaanya. Beruntung Moa tak sampai terbawa ombak dan terseret ke tengah lautan. Ia berpegangan pada rerumputan dengan sekuat yang ia bisa dengan Nara yang juga bersamanya. Hujan deras pasti akan memburamkan pandangan Yooshin dan kesempatan itu manfaatkan oleh Moa untuk bergerak. Ia masih berada di sekitar Hutan Moa, dan ia beruntung. Ia harus segera sampai ke istananya sebelum Yooshin menemukannya. Dan berkat hujan, darah yang menetes ke permukaan rumput dan dedaunan bisa menghilang dalam sekejap. Di samping itu, Yooshin juga terluka dan lelaki gerakan lelaki itu juga terbatas. Moa beberapa kali limbung namun ia dengan segera bangkit agar bisa dengan cepat menemukan istananya dan memulihkan kondisi tubuhnya. Luka yang berada di tubuhnya mungkin akan hilang dalam waktu kurang dari tiga hari dan setelah itu kondisinya akan pulih. Namun ia tak yakin dengan Nara. Meskipun gadis itu terluka bukan karena pedangnya, tapi Nara adalah manusia biasa. Dan tidak seperti sebelumnya, Moa hanya bisa menyembuhkan luka yang berasal dari dirinya. *** Dengan bertumpu pada pedang miliknya, Yooshin berjalan menyusuri tebing, berharap ia menemukan keberadaan Moa atau pun Nara. Hujan yang reda sedikit membantu penglihatannya dan ia segera bergerak secepat yang ia bisa dengan sisa kekuatannya. Tinggal sedikit lagi, maka ia akan bisa membawa Nara pulang. Namun yang terjadi benar-benar membuatnya kehilangan harapan. Nara menyelamatkan Moa, bukan? Dia bahkan sampai mengorbankan dirinya dan membuat Yooshin diiputi rasa bersalah yang sudah pasti tidak akan dengan mudah ia lupakan dan akan ia rasakan dalam waktu yang lama. "Sebelum aku membawa Nara, aku tidak akan pernah bisa memafkan diriku sendiri." Yooshin kehilangan keseimbangan tubuhnya dan kedua lututnya menyentuh permukaan tanah. Tangannya mengepal kuat, bersamaan dengan cairan bening yang merembes keluar dari kedua sudut matanya. *** Jemari milik Nara bergerak bersamaan dengan kedua matanya yang terbuka. Dengan pandangan yang masih terlihat buram, ia menatap ke sekitarnya dan menemuka seseorang yang tertidur di sebelah ranjang yang ia tempati. Rambut hitam panjang dengan pakaian serba hitam, Nara sudah bisa mengenali sosok itu tanpa harus melihat wajahnya. Nara hendak bangkit namun ia mengerang pelan begitu merasakan sakit di bagian perutnya dan juga kedua tangan. Hal itu membuat sosok di sebelahnya terbangun dan ia menatap Nara yang sudah membuka mata. "Kau sudah sadar?" Moa mengerjapkan kedua matanya dan menatap Nara yang tampak masih kesakitan. "Kau terluka, jadi jangan banyak bergerak." Ia membantu Nara menidurkan kembali dirinya. Nara menatap kedua telapak tangannya yang dibalut oleh kain. Ia perlahan mengingat kejadian semalam, dan menyadari betapa nekatnya dia. Dan ia tak mengerti kenapa ia bisa melakukan hal yang berbahaya itu, bahkan menyelamatkan Moa di depan kedua mata Yooshin. "Yooshin pasti sekarang membenciku," batin Nara. "Kenapa kau melakukan hal sebodoh itu? Kau sengaja? Kau ingin mati?" ujar Moa. "Aku tidak tahu. Tubuhku seolah bergerak sendiri." Nara menjawab dengan lirih. "Kau tahu, aku sudah memperingatkanmu sebelumnya kalau kau akan mati jika berani melewati api itu. Dan apa yang kau lakukan justru di luar dugaanku, karena kau sampai berani memegang pedang milikku yang mungkin saja bisa langsung membakar habis kedua tanganmu. Apa alasanmu melakukannya? Kau kasihan padaku? Atau ... merasa berhutang budi? Tunggu sampai lukanya cukup mengering, lalu aku akan mengibati lukamu. Jika aku mengobati lukamu sekarang dalam keadaanmu yang sadar, kau pasti akan berteriak hingga suaramu habis." Moa beranjak dari tempatnya. "Tunggulah, dan jangan banyak bergerak. Aku akan mencarikan sesuatu." Nara menatap Moa yang berjalan terpincang. "Tapi kau juga terluka," ujarnya. Namun Moa seakan tak mendengarnya dan ia tetap melangkah pergi. *** Burung-burung berkicau dengan begitu riang begitu matahari menampakkan diri. Moa berjalan perlahan mendekati sosok yang tergeletak di atas permukaan tanah. "Aku sudah memperingatkanmu agar menyerah." Ia lalu pergi dari sana, meninggalkan Yooshin di antara pohon ek yang belum tumbuh. Sekuat tenaga ia menahan diri agar tak menghabisi nyawa pemuda itu. Moa, ak mengingkari janjinya. Ia lalu kembali ke dalam hutan dan mencari sesuatu untuk Nara. Ia belum bisa menyusup ke pasar dan mencuri beberapa makanan, dikarenakan kondisinya yang berlum pulih. Moa akan mencari beberapa bahan makanan di hutan. Dengan langkah yang masih pincang, ia berjalan mendekati pohon mulberi yang berbuah cukup banyak. Manusia memang merepotkan karena harus memakan makanan yang rumit, tidak sepertinya yang bisa bertahan hidup walau hanya menghisap jiwa manusia. Berkat keberadaan Nara, buah-buahan yang ada di dalam hutannya menjadi lebih berguna. Moa tak begitu sering memakan buah atau pun sayur, ia lebih memilih ikan atau daging. Tentu saja, ia lebih memfavoritkan jiwa-jiwa kelam manusia yang penuh dengan dendam. *** Nara menatap ke sekitar dan juga pakaiannya yang berbeda dari sebelumnya. Gadis itu mengenali hanbok yang ia kenakan saat ini. Itu adalah hanbok yang pernah Moa berikan padanya sebelumnya namun belum pernah ia pakai. "Dia pasti melihat semuanya. Ini sudah dua kali," lirih Nara. Ia malu, tentu saja. Wanita mana yang tidak akan merasa malu jika pakaiannya digantikan oleh pria yang tak ada hubungan apa-apa dengannya. Moa mungkin tak melakukan apapun pada tubuhnya, namun Moa tetaplah seorang pria. Bersamaan dengan itu, Moa kembali. Ia membawakan kentang bakar yang entah dia dapat dari mana, lalu ikan bakar. Nara tertegun melihat itu. "Kenapa kau harus memaksakan diri mencari ini?" Nara berujar. "Kau harus makan agar kondisimu segera pulih." Moa mendudukkan tubuhnya di sebuah kursi yang ada di sebelah ranjang. Ia membantu Nara mendudukkan tubuhnya lalu ia mengupas kentang. "Aku tidak bisa pergi ke desa karena kondisiku. Jadi aku mencari ini di hutan," ujar Moa. Ia memotong kentang itu menjadi beberapa bagian dan menyodorkannya pada Nara. "Makanlah." "Aku bisa makan sendiri--" "Kau tidak bisa. Tanganmu terluka." Nara berkedip dua kali. "Kalau begitu kau juga harus makan." "Aku tidak lapar. Jadi kau saja yang makan, cepatlah." Nara menatap kepulan asap yang masih mengepul itu. "Aku sudah terlalu sering membuatmu dalam masalah." Moa menghela napas kasar. Ia memasukkan kentang itu ke dalam mulutnya dan menarik wajah Nara agar mendekat membuat kedua mata gadis itu melebar. Ia bahkan tak percaya saat material lembut itu menyentuh permukaan bibirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD