Sebuah lonceng berbunyi begitu ada angin yang berembus ke arahnya. Langit pagi ini tampak cukup cerah, hangat sinarnya berpadu dengan dinginnya hawa musim dingin. Orang-orang tampak berlalu-lalang memulai aktivitas mereka.
Nara menyentuh permukaan lehernya yang dibalut oleh sebuah kain. Gadis itu masih mengingat kejadian beberapa waktu lalu, ketika dirinya hampir saja dibunuh oleh Moa.
"Aku pasti sudah mati jika tidak ada norigae ini," batinnya seraya menyentuh sebuah norigae yang selalu menggantung di bajunya. Dia tidak pernah menyangka bahwa benda yang biasa digunakan hanya untuk aksesoris pakaian itu rupanya bisa menjadi peranan penting untuk hidup seseorang. Tapi itu hanya berlaku untuk norigae milik ibunya—yang selalu dia pakai.
Apa benda seperti itu bisa dimasuki mantra? Nara menyentuh paemul norigae yang berbentuk bulatan itu. Aneh sekali, padahal tidak ada yang spesial.
"Tunggu! Apa ini?" Kedua alis Nara bertaut saat merasa ada yang tidak biasa. Paemul berbentuk bulat yang merupakan bagian utama dari norigae miliknya itu seperti menyimpan sesuatu di dalamnya. Nara memegangnya dan sesuatu memang tersimpan di sana.
"Sedang apa kau di sini?"
Nara mendongak dan menatap sang kakek yang berjalan ke arahnya. "Ah, hanya mencari udara segar. Aku baru saja membersihkan halaman. Badai semalam benar-benar hampir membuat pohon ini gundul." Ia tertawa pelan dan mendongakkan kepalanya ke atas, menatap dahan-dahan pohon yang masih tampak rindang.
"Udaranya dingin, kau seharusnya tetap berada di dekat perapian. Oh, iya. Ngomong-ngomong apa lukamu sudah sembuh?" tanya kakeknya seraya mendudukkan tubuhnya di sebelah Nara.
"Masih ngilu." Nara menunjukkan kakinya yang juga masih dibalut.
"Kakek menanyakan luka di lehermu."
Nara berkedip dua kali dan menyentuh lehernya. "Ah, ini. Ya, masih sakit. Aku sampai kesulitan menelan makanan gara-gara ini."
"Sekarang kau tahu seberapa bencinya Moa kepada manusia. Dia hampir membunuhmu yang bahkan belum berumur sepuluh tahun."
"Tapi Moa menolongku." Nara tiba-tiba ingat saat Moa sengaja menarik tubuhnya dan menolongnya.
"Ya, dan setelah itu dia akan membunuhmu."
Nara terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Moa pasti memiliki alasan kenapa dia sering membunuh penduduk desa. Selain karena ayah dan ibu yang membunuh semua bangsanya, kurasa Moa memiliki alasan lain."
"Moa menghabisi kedua orangtuamu di depan kedua matamu sendiri, Nara. Kau melihatnya. Dia murka kepada penduduk dan berencana membunuh mereka semua, terutama kau. Dia tahu kau putri Kiara. Kau adalah ancaman utama untuk makhluk seperti Moa." Seungmo—kakek Nara berujar.
Kedua mata Moa tampak seperti kobaran api yang siap membakar siapa saja yang ada di depannya. Ya, Nara ingat bagaimana cara Moa menatapnya. Makhluk itu tidak bermain-main saat berkata akan membunuhnya.
"Moa tidak bisa menyentuhmu karena adanya bola giok yang kau miliki."
"Bola giok?" Nara menyentuh norigae yang menggantung di bajunya. Ternyata isi dari paemul itu adalah sebuah giok.
"Dan kau juga tidak bisa menyentuh Moa selama dia membawa pedangnya."
"Pedang?" Salah satu alis Nara terangkat. "Maksud Kakek pedang yang selalu dia bawa itu? Kenapa?"
"Norigae milikmu dan pedang itu memiliki sifat yang bertolak belakang. Mereka layaknya perisai untuk sang pemilik," ujar Seungmo.
Kening Nara berkerut. "Tapi kemarin itu dia berhasil melukai leherku dengan ujung pedangnya."
"Kemarin adalah malam purnama. Kekuatan Moa akan semakin kuat beberapa kali lipat setiap kali purnama tiba, dan hal itu berlaku bagi pedang miliknya. Rambutnya yang berwarna hitam perlahan akan memutih saat tengah malam. Moa adalah makhluk yang membunuh manusia dengan cara menghisap jiwanya. Dengan cara itulah mereka bisa bertahan dan berumur panjang hingga ratusan tahun. Untuk itulah, kau harus berhati-hati. Sekarang kau tahu kenapa penduduk desa selalu mengadakan ritual di beberapa purnama. Kekuatan Moa begitu kuat saat ia kembali ke wujudnya. Kalau kau ingin tahu, tepat di perbatasan antara desa dan hutan Moa itulah terdapat barisan pohon ek yang sudah diberikan mantra oleh ayah dan ibumu."
"Semacam segel?" tanya Nara.
"Ya, tapi mantra itu semakin lemah seiring berjalannya waktu. Maka dari itu kau diajarkan untuk menjadi pengganti ibumu." Seungmo mengusap puncak kepala cucunya.
Nara menggenggam norigae berwarna merah di bajunya.
"Kau tidak usah takut. Kakek dan juga yang lainnya akan selalu membantumu. Nanti malam kau harus memimpin ritual. Semalam kita tidak bisa melakukannya karena badai dan juga kondisimu yang tidak memungkinkan."
Tangan Nara bergetar pelan. Kelak, dia akan membunuh Moa. Ia akan membalaskan kematian kedua orang tuanya dengan tangannya sendiri.
Tapi ... bagaimana jika dia gagal? Bagaimana jika dia yang mati terbunuh?
***
Permukaan pedang tampak mengkilap begitu berpapasan dengan sinar matahari. Bahkan, sebagian wajah itu tampak cukup jelas terpantul di sana bersamaan dengan permukaan langit yang cerah.
Tepat di salah satu dahan besar sebuah pohon, seseorang tampak duduk. Seekor burung perlahan terbang dan hinggap tepat di sebelahnya.
Moa menatap burung itu selama beberapa saat. Burung itu tampak kecil dan lemah, tapi di sisi lain menyimpan misteri yang harus dia waspadai. Mungkin saja, burung yang tampak lemah itu akan berubah besar dan kuat saat dia lengah, lalu dengan cepat membunuhnya.
"Kenapa aku tidak bisa membunuhnya?" gumam Moa. Pantulan sinar dari pedang itu tampak mengenai sebagian wajahnya hingga terlihat bersinar.
"Apa karena dia masih anak-anak?" Di saat yang bersamaan semilir angin menerbangkan beberapa helai rambut Moa yang masih berwarna putih. Dia masih memiliki waktu sekitar satu malam lagi untuk memporak-porandakan desa. Segel di pohon ek itu melemah, Moa menyadarinya.
Kepalanya menoleh dengan cepat begitu menyadari ada sesuatu yang mendekat. Dengan cekatan dia kembali memasukkan pedangnya dan turun dari pohon itu, lalu berlari dengan cepat mengikuti bau yang diyakini adalah mangsanya.
Gerakannya berhenti tepat di balik sebuah pohon. Salah satu sudut bibirnya naik saat melihat seorang manusia di sana. Pria itu tampak kebingungan layaknya orang tersesat.
"Apa dia lupa, kalau kawasan ini terlarang?" Moa menjilat bibirnya kemudian perlahan mendekat tanpa pria itu sadari. Tidak perlu bersusah payah menggunakan pedang jika hanya untuk menghabisi manusia lemah. Kuku-kuku jarinya memanjang dalam hitungan detik.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku sedang lapar? Pengertian sekali." Moa menyeringai. Pria itu berbalik dan kedua matanya tampak membulat.
"M-Moa!" Kedua kaki pria itu perlahan mundur. Dia hendak pergi namun gerakannya terlalu lamban bagi seorang Moa. Kurang dari satu menit, tubuh pria itu sudah tergeletak di permukaan tanah dengan kulit memucat dengan kedua mata yang terbuka. Salju yang semula berwarna putih itu perlahan berubah menjadi merah.
"Darahmu terlihat segar. Tapi maaf, aku tidak suka darah. Aku lebih suka jiwamu yang sombong dan bermulut besar." Kedua mata Moa mengkilap, puas dengan apa yang didapatkannya.
"Tunggu!" Moa kembali mengedarkan pandangannya begitu mendengar suara langkah kaki. Oh, rupanya hari ini dia akan mendapat banyak mangsa. Kakinya bergerak dengan cepat dan dia kembali menyeringai saat melihat seorang wanita muda di sana.