Chapter 10

1113 Words
Begitu matahari lenyap dari pandangan mata, maka binatang-binatang kegelapan akan datang sebagai gantinya. Semakin gelap, hutan akan terasa semakin mencekam. Jika tidak bisa waspada lalu mempertahankan diri, maka nyawa bisa melayang karena terkaman binatang buas kapan saja. Namun sayangnya bukan itu yang Yooshin khawatirkan sekarang. Namun ia khawatir sesuatu terjadi pada Nara, maka ia bertekad untuk mencari keberadaan gadis itu. “Sulit dipercaya jika mereka akan membunuhnya dengan cara seperti itu.” Ia bergumam. Kedua kakinya sampai di tebing tempat Nara dijatuhkan. Ia menatap ke bawah sana, mengecek apakah peti itu masih selamat, ataukah dia justru menemukan mayat. Melihat bagaimana besarnya ombak di sana, membuatnya tak bisa berpikir jernih. Sudah jelas peti itu hancur begitu menghantam air, lalu bagaimana dengan sosok di dalamnya? “N-Nara!” Dengan cepat Yooshin mencari jalan agar bisa pergi ke bawah. Ia juga harus memastikan sendiri ke mana air itu membawa tubuh Nara pergi, jika ternyata bukan di tenggelamkan di sana. Gadis itu tidak bisa berenang, membuat Yooshin kian frustrasi. Jika Nara dilenyapkan dalam keadaan sadar, maka sudah jelas kalau gadis itu masih akan mati tenggelam di sana. Bertahanlah, Nara. Kumohon! Salah satu kaki penuda itu tersandung akar hingga ia kehilangan keseimbangan tubuhnya. Ia terperosok, membuat tubuhnya bergulingan hingga ke dasar tebing. *** Kedua mata Nara terbuka lebar. Gadis itu bangkit dari posisinya dan berjalan, mencoba mencari jalan keluar. Ia harus kembali sekarang juga, tak peduli jika semua orang kembali mencelakainya. Entah kenapa perasaannya terasa tidak begitu nyaman. Ia mengkhawatirkan Yooshin dan juga kakeknya. Bagaimana keadaan mereka sekarang dan apakah mereka mencarinya atau tidak. Hari masih gelap gulita begitu Nara berhasil keluar. Ia mendapati dirinya berada di dalam hutan. Nara menelusuri ke sekitar, memastikan tak ada yang mendekat. Ia semakin beranggapan kalau dirinya dibawa ke dalam hutan Moa. Nara terbatuk. Gadis itu kehilangan keseimbangan tubuhnya dan terduduk di permukaan tanah. Di saat yang bersamaan, ia mendengar gemeresak di salah satu semak-semak, membuatnya memundurkan tubuh. Entah binatang liar atau apapun itu, yang jelas ia tidak boleh mati di sana. Kedua matanya memejam rapat, dengan tangan yang mengepal kuat. Ia menggenggam sebuah batu. Bagaimana pun, ia harus bertahan. “Kau akan pergi dengan keadaan seperti itu?” Kedua mata Nara perlahan terbuka. Ia terperanjat begitu melihat adanya seekor babi hutan berukuran besar yang tergeletak di hadapannya. Pandangannya lalu mengarah pada pedang milik Moa yang sudah berhiaskan bercak merah. “A-aku sudah –uhuk!” Helaan napas terdengar. Moa menyarungkan kembali pedangnya. “Hewan-hewan buas bisa mengejarmu kapan saja. Dan kau masih yakin kalau kau akan bertahan dengan kondisimu yang seperti itu?” “Bukankah itu terdengar bagus buatmu –“ Kalimat Nara terputus saat Moa mengangkat tubuhnya, membuat ia secara refleks melingkarkan kedua tangannya di leher lelaki itu. “Sudah kubilang kalau kau hanya boleh mati di tanganku.” “Lalu kenapa kau tidak membunuhku sekarang juga? Kau sendiri bahkan membuang waktu berhargamu! Kau mengincar nyawaku, kan? Kau ingin melihatku bernasib sama seperti ibu –“ “Cukup.” Moa menginterupsi dan menatap Nara, membuat gadis itu mengatupkan kembali bibirnya. “Apa kau tidak ingat ucapanmu beberapa tahun lalu? Bukankah kau sendiri yang berkata akan menyerahkan dirimu padaku? Lalu kenapa sekarang kau ingin kembali? Apa kau ingin meminta bantuan pada orang-orang yang sudah membuangmu? Pada kakekmu?” “Kakek tidak membuangku!” “Lalu kenapa dia hanya diam saat tubuhmu dilempar ke lautan?” Nara kembali bungkam. Ia eremas jemari tangannya yang berada di leher Moa. “Aku akan berada di sisimu. Tolong tunggu saat aku sudah dewasa. Saat itu kau bisa membunuhku, atau apapun yang kau mau. Asalkan jangan sakiti lagi orang-orang.” “Kau bilang kalau aku bisa membunuhmu, atau melakukan apapun padamu. Jadi sekarang lebih baik kau tepati ucapanmu dan tinggalah di sini. Mengenai nyawamu, itu urusanku. Aku yang sudah membawamu ke sini. Kuhancurkan peti itu hingga orang-orang tak akan bisa lagi menemukanmu, sekalipun mereka berbondong-bondong kemari.” Nara mengerjap. “Tapi –“ Ia menahan napasnya. “Kau tidak akan melakukan apapun pada Yooshin, kan?” Moa tersenyum miring. “Semua itu bergantung padamu.” Ia mendudukkan Nara di sebuah batu lalu berlutut. “Biar kulihat kakimu.” Dilihatnya pergelangan kaki Nara masih berwarna kebiruan. Benturan keras pasti membuat beberapa anggota tubuhnya memar. “Kau beruntung karena tubuhmu masih utuh,” ujar Moa. Ia menatap Nara, lalu melihat goresan luka di salah satu permukaan pipi gadis itu. “Kurasa aku lebih baik mati di sana.” Nara membalasnya. Mendengar itu, Moa tertawa pelan. “Benarkah? Jika itu terjadi, maka akan aku bantai semua penduduk tanpa menyisakan satu orang pun, termasuk lelaki yang selalu membawa pedang itu. Kau itu mangsaku, jiwamu pasti dipenuhi kebencian dan itu pasti akan terasa lezat.” Ia kemudian menjilat bibirnya, membuat Nara secara refleks menjauhkan diri. “Ka-kau tidak akan menghisap darahku?” tanya Nara dengan suara bergetar. Moa tersenyum miring. Ia lalu mendekatkan wajahnya, membuat Nara melakukan hal sebaliknya. Gadis itu memutus kontak mata mereka begitu Moa menelusuri setiap inci wajahnya. Pria itu menaikkan sudut bibirnya dan kembali menggendong Nara. *** Sinar matahari menelusup di antara dedaunan sebelum akhirnya bisa sampai ke permukaan tanah. Suasana kediaman itu tampak lain dari biasanya. Seungmo sudah pergi ke perbatasan hutan dan berlutut di sana sejak semalam. Debu-debu yang berasal dari pohon ek itu berterbangan begitu ada angin yang datang berembus. “Tolong selamatkan cucuku,” pintanya dengan suara yang hampir habis. “Kenapa aku harus melakukan itu? Bukankah kau sendiri yang berniat melenyapkannya?” Seungmo terperanjat begitu sebuah pedang tertancap di permukaan tanah tepat di hadapannya. “Aku sama sekali tidak berniat membunuhnya –“ “Kau memang tidak berniat membunuhnya, tapi kau berniat menyerahkan cucumu padaku agar aku bisa membunuhnya.” Moa tersenyum miring. “Sifatmu masih sama. Kau, selalu mementingkan keselamatan dirimu sendiri.” Moa berlutut, menyamai tinggi Seungmo. “A-aku mohon. Jika kali ini kau mengembalikan cucuku dengan keadaan selamat, aku tidak akan mengusikmu –“ “Aku tidak pernah mengambil cucumu, jadi tak ada yang perlu kukembalikan. Lagi pula bukankah kau sendiri yang menyerahkannya padaku? Kau tidak meninggalkan tubuh cucumu di sini, melainkan menjatuhkannya ke lautan. Berharap aku akan mencari aromanya, lalu kemudian menyantapnya.” Moa menarik napas pelan, seakan aroma tubuh Nara benar-benar singgah di indra penciumannya. Ia menyukai aroma lezat gadis itu. “Strategimu itu masih sama. Kau berharap aku menolongnya, lalu memberikannya padamu. Dan setelah itu –kau, beserta orang-orangmu akan menyerangku.” Moa berdiri dan mencabut pedangnya dari permukaan tanah. “Aku, tidak menyukai kerja sama dengan manusia Mereka semua adalah pendusta.” Seungmo memejamkan kedua matanya. “Ku-kumohon –“ Ia mengangkat wajahnya, namun Moa sudah menghilang. Bersamaan dengan itu ia mendengar teriakan orang-orang dari arah desa. Kedua matanya membulat dan segera berlari ke sana. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD