Ge'er

1054 Words
"Arfa, boleh, ya." Itu suara Adel yang tengah membujuk kakaknya habis-habisan untuk membiarkan Dinda tidak bekerja hari ini. "Nggak, kemarin udah sama Bunda." "Aku 'kan di Indonesia juga jarang, Ar." "Kan bisa minggu," keukeuh Ardan. Dinda sudah yakin kalau Ardan tidak akan mengizinkan lagi dirinya tidak kerja. Sembari melayani pembeli, Dinda sesekali melirik ke arah ruang kerja Ardan. Melihat bagaimana cara Adel membujuk membuat Dinda kagum sendiri. Kalau itu dirinya, sudah dipastikan akan menyerah. Namun, Adel tidak. "Harganya tujuh puluh tiga ribu," kata Dinda kepada pembeli bertubuh gempal itu. "Kalau obat merah jual nggak ya, Mba?" "Di sini, Bu." Dinda menunjuk rak berisi obat-obatan. Tepat saat pembeli itu berjalan menuju rak obat, Adel keluar. Kepalanya memutar ke kanan dan kiri mencari keberadaan Dinda. "Dinda!" "Ya?" "Boleh!" ujar Adel dengan girang. *** Entah, cara jitu apa yang dipakai Adel sehingga Ardan memperbolehkannya bolos kerja lagi hari ini. "Kamu kerja sendiri nggak capek apa? Ardan malah enak-enakan duduk di ruangan ber-ac." Dinda yang tengah melihat-lihat sepatu bergeleng. "Enggak. Ehmm, capek sih. Tapi, ya enggak apa-apa namanya juga kerja." "Yang itu bagus," tunjuk Adel pada sepatu yang barusan di simpan Dinda. "Oke, aku coba." Dinda berjalan ke tempat duduk yang disediakan. "Tapi tetep aja, Din. Kamu harus minta satu atau dua pegawai lagi. Minimarket Ardan nggak cukup kalau kamu doang yang kerja." "Kata Ardan dia lagi nyari kok ... Bagus nggak?" Dinda memperlihatkan sepatu kets berwarna dongker itu kepada Adel. Adel mengangguk. "Bagus. Cocok," komentarnya. Selesai memilih sepatu, Adel dan Dinda memasuki toko tas. Kali ini Adel yang akan menambah koleksi tasnya. "Mau couple-an nggak?" tanya Adel. "Mau, tapi bulan depan, ya. Aku kan udah beli ini," tunjuk Dinda pada sepatu yang barusan ia beli. Adel terkekeh kecil. "Hehe iya-iya." Dilihat dari kumpulan tas yang dipilih, Adel sepertinya tengah mencari tas selempang. Dinda turut mencarikan tas yang menurutnya bagus untuk Adel. "Rencana lamarannya kapan?" tanya Dinda saat tengah memilih tas. Adel menoleh sekilas. "Besok orang tua Dion baru mau ke rumah untuk proses lamarannya sendiri nanti dibahas bareng-bareng, doain lancar, ya." "Pasti." Dinda melempar senyumnya. "Lagipula keluarga udah saling ngedukung, aku yakin bakalan lancar ke depannya." "Amin," balas Adel mengamini. "Aku bingung milih yang mana dua-duanya bagus." Mata Adel bolak-balik pindah dari tas warna ungu dan warna marun. "Beli dua-duanya aja kalau bingung." Awalnya Dinda hanya asal nyeletuk karena ia tahu harga tas yang dipilih Adel berharga lima ratus lebih. Namun, tak disangka Adel malah mengangguk mengiyakan. "Iya, deh." Jelas membuat Dinda melongo tak percaya. Kepalanya bergeleng lalu berbisik, "Beda, ya, jalan sama sultan." Dinda menunggu Adel yang tengah membayar belanjaannya di luar toko. "Ayo, Din. Sekarang kita makan." Adel mengapit tangan Dinda dan menariknya jalan. Hari itu Adel menghabiskan waktunya dengan Dinda. Ia beruntung bisa memiliki teman seperti Dinda. Seorang teman yang menemaninya dari ia belum menjadi Adel yang sekarang. Dinda menjadi temannya saat ia menjadi Adel yang tak memiliki satu pun teman dekat perempuan. Saat Adel masih berpenampilan cupu. Meskipun keadaannya sekarang berbeda. Teman-teman yang dahulu menjauhinya, kini berlomba-lomba untuk saling mengakui pernah dekat dengan Adel entah dekat karena pernah satu kelompok atau sekedar pernah berbicara sekali dua kali. Sayangnya, tak ada satu pun dari mereka yang Adel gubris. Memiliki satu teman yang setia di saat ia susah maupun senang sudah cukup bagi Adel. *** Pada awalnya Dinda ingin langsung pulang saja, tetapi Adel dengan keteguhannya terus-terusan membujuknya untuk nginap di rumah bundanya hari ini. "Besok aku anter ke tempat kerja. Serius, deh. Plis dong. Aku masih mau cerita-cerita. Aku kan nggak ada temen lagi selain kamu," ucap Adel sambil cemberut. Akhirnya, Dinda tidak tahan juga dan menuruti rengekan sahabatnya itu. Dinda berpikir, lagi pula orang yang paling ia hindari tidak mungkin ada di rumah bundanya. Namun, perkiraannya ternyata salah. Mata Dinda memicing ke arah Adel. Curiga kalau ini akal-akalan perempuan berponi itu. "Loh, Arfa di sini?! Tumben?" Sepertinya, tidak. Adel pun turut terkejut melihat Ardan yang sedang rebahan di sofa ruang tengah. "Iyalah. Mumpung lo di sini gue mau dijajanin." "Dih, di mana-mana abang jajanin adek. Ini malah kebalik." Dinda menunduk dalam diam. Ardan masih belum menyadari kehadirannya karena cowok itu asyik rebahan sambil mengotak-atik remot televisi. "Kita beda lima menit doang, kalau masalah kayak gini nggak berlaku hukum abang adek," kilah Ardan. Membuat Adel berdecih. "Nggak ada malunya di depan pegawainya begitu," gerutu Adel yang masih bisa didengar Ardan. Cowok itu mengerutkan kening. "Maksudnya?" tanya Ardan sambil memutar badannya ke belakang sofa. Saat itu dia melihat sosok Dinda tengah menatapnya. Ardan terlonjak. "Dinda—Aw!" Saking terkejutnya ia sampai jatuh dari sofa. Belum sempat Ardan bertanya Adel sudah menarik tangan Dinda memasuki kamarnya. Cowok itu menepuk jidatnya pelan. "Sialan Adel, bukannya ngasih tau dari tadi," gumamnya kesal. *** Jika tahu Ardan di sini Dinda akan menolak keras saat Adel mengajaknya menginap. Ardan pun demikian, jika tahu Dinda akan mendatangi rumah bundanya sudah dapat dipastikan Ardan tidak akan ke sini. Karena yang terjadi saat Ardan dan Dinda berada dalam ruangan yang sama apalagi bersama keluarganya, yang terjadi hanyalah kecanggungan. Meskipun Dinda adalah pegawainya, tetap saja kecanggungan itu akan ada. Ditambah lagi dengan bisikan jail dari Adel. "Ini bukan kebetulan, Ar. Ini takdir." "Diem," desis Ardan. "Ih, beneran padahal aku nggak tahu kamu mau ke sini. Tapi kok kalian bisa ketemu?" "Del, bisa diem atau gue&—" "Apa sih ini lagi makan kok bisik-bisik?" tegur Bunda. Ardan lantas berdeham dan melanjutkan makannya. Setelah makan, seperti kebiasaannya Ardan akan membawa piring bekas makannya untuk dicuci sendiri. Namun, langkahnya urung ketika dilihatnya Dinda tengah mencuci piring juga di westafel. Merasa akan kehadiran seseorang membuat Dinda menengok tanpa aba-aba. Membuat Ardan gelagapan karena kepergok tengah memerhatikannya. "Eungh itu gue mau itu—" Melihat piring yang dibawa Ardan, Dinda berkata, "Sini gue cuciin sekalian." Ardan jelas bergeleng menolak. "Gue tunggu aja di sini." Tanpa mau berdebat, Dinda kembali menyelesaikan cucian piringnya. Risih karena merasa diperhatikan Dinda kembali menoleh ke belakang. "Sini aja nggak apa-apa. Gue malu diliatin." "Siapa yang liatin?" tanya Ardan tak terima. "Lo." "Enggak. Gue dari tadi liatin cicak. Geer banget." Ge'er? Sesuka-sukanya Dinda kepada Ardan, tapi kali ini ia tidak lagi ge'er. Bayangan Ardan terlihat dari pantulan panci yang bergantung di depan Dinda. Cewek itu menunjuk panci di depannya. Ujung bibirnya tertarik satu dan satu tangannya berada di pinggang. "Gue liat dari sini. Maaf gue nggak ge'er," ucap Dinda membuat Ardan tidak bisa membalas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD