Gambar Gestalt

1042 Words
"Jangan bilang kalo lo udah lupa sama gue," tebak orang itu. "Dinda?" Ya, Dinda. Perempuan itu tersenyum kala namanya disebut. "Dion." "Dion." Dinda dan Adel memanggil namanya dengan bersamaan. Dion berpaling ke arah Adel, begitu pula Dinda yang tampaknya sedikit terkejut karena ada suara lain yang memanggil cowo itu. "Kayaknya kita pulang aja, deh, Kevin belum juga bales." Adel mengerucutkan bibirnya seraya menampilkan isi pesannya yang tak kunjung dapat balasan. Dion mengangguk. Dinda menyempatkan diri memanggil Adel yang tampak terkejut dengan kehadirannya. Dion berdehem, ia bergantian melirik kedua cewe itu. "Kalian saling kenal?" Adel mengangguk antusias. "Kita tetanggaan. Dia tetangga baru aku." "Wah! Bisa kebetulan, gue sama Dion temen satu SMP." "Oh, ya?" Dion menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Perempuan di depannya ini, berbicara seakan-akan dia dan Dion teman akrab, dan melupakan segala permasalahan yang sudah ia buat. "Ayo, Del, kita pulang." Dion lantas memakai helmnya dan hendak menyalakan mesin motornya sebelum Dinda menahan pergerakan tangannya. "Lo nggak seneng ketemu sama gue?" Dion tertawa sinis. "Sejak kapan gue seneng ketemu lo?" Adel merasakan atmosfer yang tidak enak. Sifat dingin Dion sedang muncul. "Dinda, bukan itu maksud Dion. Dia itu--" Dinda tertawa melihat Adel yang berusaha menjelaskan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan. "Iya, Del, tau kok. Dari dulu dia udah sinis ke gue, udah biasa sebenernya." Adel melirik ke arah Dion yang masih bergeming tak mengindahkan pembicaraan mereka. "Mau ketemu Ardan, Yon?" Dion berdehem. Dinda mengangguk paham. "Yaudah, hati-hati deh kalo gitu. Lo tau ruangannya, 'kan?" Dion mengernyit. "Ruangan?" "Jangan bilang kalo lo cuma tau rumah sakitnya doang, ruangannya nggak tau." "Rumah sakit?" Dion kembali membeo. "Ardan di rumah sakit?" Kali ini Adel menyela. Dinda mengangguk ragu. "Emang kalian nggak tau?" Dinda melirik bergantian Adel dan Dion. "Gue pikir lo sahabatnya bakalan tau, Yon." Tidak ada jawaban dari Dion. Ia langsung menyerahkan helm kepada Adel, menyuruhnya menggunakan cepat lalu tanpa banyak bicara ia melajukan motor itu meninggalkan Dinda yang sedang kebingungan. "Ardan bilang temen-temennya mau ke sana, kok Dion nggak tau." Dinda merasa sesuatu yang tidak beres. Tanpa berpikir panjang ia balik arah dan tujuannya saat ini adalah kembali ke rumah sakit. Pasti ada sesuatu yang terjadi mengapa Ardan tidak memberi tahu Dion. Dan Dinda sudah melakukan kesalahan dengan mengatakan yang sebenarnya. *** Derap langkah dua pasang kaki dari dua remaja itu membunuh keheningan lorong rumah sakit. Ketika tadi sudah sampai di parkiran Dion dan Adel segera bergegas menuju meja informasi menanyakan letaknya ruangan Ardan. A Mawar 118 *** "Yaudah, nggak usah dibales, ribet banget lo." Kevin menimbang-nimbang dan pada akhirnya ia memutuskan menutup aplikasi pesan itu. Yang membuat Kevin ragu adalah karena Dion. Sahabatnya itu masih belum mengetahui apa yang telah terjadi saat cowo itu tidak ada. "Woy! Jangan bengong, beliin gue cemilan sana." "Lo nyuruh?" "Gue perintah. Kenapa? Nggak suka?" Kevin berdecak seraya beranjak dari duduknya. "Sekarang sih nggak suka, nggak tau nanti sore." Ardan membelalakan matanya, ia mengepalkan tangannya dan menunjukannya kepada Kevin. "Sebentar lagi gue sehat, jangan macem-macem lo." Kevin terkekeh. "Ih selem." "KEVIN JIJIK b*****t!" Kevin makin terbahak-bahak dibuatnya. Namun, tawa itu segera hilang ketika ia membuka pintu dan memperlihatkan sesosok orang yang seharusnya tidak ia temui, lebih tepatnya tidak Ardan temui. Baru saja Kevin hendak menghalangi Adel untuk masuk, tetapi cewe itu langsung mendorongnya dan menerobos masuk. Ardan terbelalak tak menyangka. Ia melihat Kevin yang bergeleng tanda tak tahu apa-apa. Lalu arah matanya tertuju pada wajah lusuh cewe itu. Napasnya terengah-engah karena habis berlari tadi, rambutnya berantakan, dan terakhir mata cokelat itu memerah basah. "Ardan," lirihnya lalu berlari ke arah Ardan. Tanpa disangka-sangka cewe itu memeluk erat tubuh Ardan. Menenggelamkan wajahnya yang memerah di bahu cowo itu. Meredam isak tangis yang sudah ia tahan sejak ia sampai di rumah sakit itu. Di bahu Ardan ia tumpahkan segala perasaan yang membebaninya. Berharap Ardan menyadari akan hal-hal yang tidak dapat diucapkan hanya dengan kata-kata, semua ia curahkan bersama dengan dekapannya yang kian mengerat, tubuh yang kian bergetar, dan isakan yang semakin terdengar. *** Setelah tangis itu reda dan tubuhnya berhenti bergetar, Adel mulai menguraikan pelukannya. Kini Ardan dapat melihat wajah kacau itu. Ia mengulurkan tangannya ke wajah Adel. Menghapus sisa-sisa air mata yang membasahi wajah cewe itu. "Maaf," lirih Ardan. Ia mengucapkannya dengan nada yang begitu halus. Dalam jarak yang sedekat ini Adel dapat melihat bekas-bekas luka itu dengan jelas. "Ardan berantem lagi?" Ardan masih terus membelai lembut pipi Adel. Ia menggeleng sebagai jawaban. Adel menghentakan kasar tangan Ardan dari wajahnya. "Bohong! Ini apa?! Ardan 'kan udah janji nggak bakal berantem lagi, kenapa masih diulangin?!" "Del, itu bukan kehendak gue, gue dikeroyok." Ardan masih menahan nada bicaranya. Ia harus lebih tenang dari cewe di depannya ini. "Iya itu karena sebelumnya Ardan suka berantem sama mereka! Ini akibatnya!" "Del." "Ardan nggak tau kalo aku khawatir!" Ardan bungkam. Sorot emosi masih terpancar dari wajah pucat Adel. Laki-laki itu tersenyum cukup lebar membuat Adel mengerutkan keningnya heran. "Kok malah senyum?" Perempuan itu tidak tahu, bahwa ucapannya tadi mampu menyembuhkan rasa sakitnya saat ini. Kalimat itu, yang jarang ia dapatkan dari siapa pun. Ardan merasa bahwa keberadaanya saat ini sangat penting bagi seseorang, kesehatannya sangat penting untuk dijaga. Bahkan hatinya, ia sudah tidak takut lagi untuk menyerahkan hatinya untuk seseorang. Karena dia saat ini yakin, bahwa perempuan yang berada di hadapannya ini mampu menjaga hatinya agar tidak lagi terluka. Ardan tidak menjawab pertanyaan Adel sebelumnya. Ia hanya meraih tangan perempuan itu dan menggenggamnya. "Thanks, ya. Del, gue nggak tau mati gue kapan, tapi sebelum itu lo mau nggak jadi cewe gue?" Kalimat itu, kalimat sederhana tanpa adanya kiasan. Kalimat sederhana tanpa adanya penjelas. Kalimat sederhana yang bahkan sering kali terucap oleh orang. Namun, saat ini kalimat sederhana itu bagaikan gambar gestalt. Kalimat yang menghasilkan dua perasaan yang berbeda. Adel tersenyum kikuk, jantungnya memompa lebih cepat dari biasanya. Jika saja ia tidak mencoba menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya mungkin ia tidak bisa berbicara karena hawa gugup menyelimutinya. "Gimana?" tanya Ardan kembali. Adel menunduk lalu menjawabnya. Jawaban yang lagi-lagi menimbulkan dua perasaan yang berbeda. "Ya, mau," jawab Adel pelan dengan nada malu-malu. Jika dengan kalimat Ardan, Adel merasakan kupu-kupu berterbangan dalam perutnya. Dion malah merasakan pedang tak kasat mata menghunus tepat di jantungnya. Dan ketika Adel menjawabnya, Ardan merasakan dirinya terbang ke angkasa tertinggi. Namun, Dion lagi-lagi ia merasakan detik itu juga jantungnya tak berdetak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD