Dandelion

1116 Words
Adel menyingkirkan tangan Ardan di bahunya. "Nggak, ah, nggak mau. Belum ada persiapan juga." "Ngapain persiapan? Udah sana." Ardan masih terus mendorong tubuh cewe itu yang dibalas perlawanan. "Ya, selanjutnya penampilan dari mantan ketos kita." Ucapan pembawa acara itu menghentikan kehebohan yang diciptakan oleh Ardan dan Adel sendiri. "Siapa lagi kalo bukan Dioonn!" riuh tepuk tangan penonton serta jeritan histeris entah milik siapa menyambut kehadiran Dion dengan membawa gitar akustik di tangannya. Dion malam itu sangat tampan. Celana jeans, dengan kemeja cokelat lengan panjang yang ia lipat hingga ke siku. Rambutnya tertata dengan gel rambut yang tak pernah ia pakai. Jam tangan hitam yang melingkar di tangannya serta beberapa gelang hitam yang tak pernah pula ia kenakan saat di sekolah menunjukan sisi lain dari Dion malam itu. "Liat Dion aja tuh," ucap Adel kepada Ardan. Ardan tersenyum melihat wajah Adel dari samping. Dan senyumannya memudar ketika arah pandangnya terhenti di leher cewe itu. "Kalungnya...," Tenggorokan Ardan terasa tercekat. Adel menoleh ke sampingnya, lalu ia menyadari arah pandang lelaki itu. "Oh, ini, gimana bagus nggak kalo aku pake ini?" Musik yang akan dinyanyikan Dion mulai terdengar. Intro lagu itu membuat orang dapat langsung mengetahui apa lagu yang akan ia nyanyikan. Andai engkau tahu Bait pertama yang terdengar membuat Adel kembali memusatkan pandangannya ke arah cowo yang tengah memetikan senar gitar itu. Betapa ku mencinta Selalu menjadikanmu isi dalam doaku Ku tau tak mudah Menjadi yang kau pinta Kupasrahkan hatiku Takdirkan menjawabnya "Itu kalung dari mana, Del?" Ardan merasa bahwa suaranya mulai bergetar. Ia sudah sangat berusaha untuk bisa menahannya. Adel menunduk mengusap kalung berliontin huruf E itu. "Dari Papa." Dada Ardan terasa semakin sesak. "Kok E? Kenapa nggak A aja?" Dalam hati ia terus memohon pada tuhan. "Karena E itu, Elramdan. Oh iya, lagian nama belakang aku juga itu loh. Ardan baru tau, ya." Ardan bungkam. Iris cokelat itu masih menatap cewe di sampingnya. Dibawah temaram langit malam sorot itu memancarkan emosi yang tak pernah ia rasakan semenyakitkan ini. Tanpa aba-aba Ardan langsung mendekap cewe itu. Mendekapnya dengan perasaan yang rapuh, luka, rindu, sayang, kesal. Semua bercampur dalam pelukan itu. Setetes air mata keluar dari sudut mata Ardan, ia membenamkan wajahnya itu di curuk leher Adel. "Alpa lagi gambar apa?" "Dokter." Dengan bangga anak lelaki itu memperlihatkan gambarnya. "Kalo udah gede Alpa mau jadi dokter." Anak kecil itu memerhatikan gambar sang kakak dengan seksama. "Nggak mirip dokter." Ia memiringkan wajahnya seraya memicingkan mata. "Itu kayak setan." "Ini dokter, bukan setan!" Dengan bergetar sebuah ucapan terlontar dari mulut Ardan. "Princess." Adel masih bingung dengan maksud perlakuan Ardan. Tubuh laki-laki itu bergetar. Pelukannya kian mengerat, dan ketika satu panggilan itu terdengar oleh telinganya. Ia merasa tak asing. Tak tau apa, yang jelas ia sangat rindu dengan panggilan itu. Jika aku, bukan jalanmu Ku berhenti mengharapkanmu Jika aku memang tercipta untukmu Ku 'kan memilikimu. Jodoh pasti bertemu. Di depan sana, Dion melihat pemandangan yang menyesakkan itu. Andai engkau tau Betapa ku mencinta Kupasrahkan hatiku Takdir kan menjawabnya Jika aku, bukan jalanmu Ku berhenti mengharapkanmu Jika aku memang tercipta untukmu Ku 'kan memilikimu. Jodoh pasti bertemu. *** Selama perjalanan pulang Ardan terus bungkam. Saat mobil itu sudah berada tepat di depan rumah Adel ia masih tetap diam. Adel bingung dengan perubahan sikap cowo itu. "Makasih, Dan. Hati-hati di jalan." Adel berusaha berkata dengan nada yang dibuat sebiasa mungkin. "Satu harapan gue tercapai." Adel mengerutkan keningnya. Akhirnya Ardan berbicara, tetapi apa maksud perkataannya itu. Adel tersenyum lalu keluar dari mobil sedan itu. Ketika mobil itu kembali berjalan pergi, Adel hanya mampu melihat sejauh matanya memandang. "Harapan yang mana?" gumam cewe itu. Adel memasuki rumahnya, terlihat sang bunda yang sedang berjalan mondar-mandir gelisah. "Ada apa, Bun?" tanya Adel menginterupsi Bunda. "Besok...," Bunda tampak gelisah mengatakannya. "Besok apa?" "Papa kamu minta kita makan bersama." Mata Bunda menatap ke netra cokelat Adel. "Terus apa yang salah?" Alis Adel mengangkat satu. "Bareng Arfabian." Deg! Nama itu seperti sudah familier di telinganya. Adel terdiam. Keterdiaman Adel membuat kening Bunda mengerut. "Jangan bilang kamu lupa, Del." Raut muka Adel membuat Bunda dengan tak sabarnya masuk ke dalam kamarnya. Mengambil sesuatu di kamarnya lalu keluar. Kepala Adel menyembul di ambang pintu kamar Bunda. "Segitu lupanya?" kata Bunda saat ia kembali ke hadapan Adel. "Ah, ya, kamu pisah sama dia umur tiga tahun, jelas lupa. Tapi panggilan Alpa itu sebutan favorit kamu dulu. Sampai masuk TK pun semua anak cowo kamu panggil Alpa." "Aku inget Alpa kok. Yang nggak inget nama panjangnya aja." Bunda menyodorkan sebuah foto. Mata Adel mengerjap perlahan. Anak kecil berumur sekitar tiga tahun sedang berangkulan dengan senyum yang merekah di bibir. Adelina Putri .E & Arfabian Putra .E Tanpa terasa air mata menggenang di pelupuk mata cewe itu. Nama itu terasa familiar di telinganya. "Alpa," gumamnya sambil mengusap wajah cowo berlesung pipi di fotonya. Adel mengangkat kepalanya. "Fotonya aku bawa ke kamar, ya." Belum sempat Bunda menjawab Adel sudah bergegas masuk. Sekali lagi dipandangnya wajah lucu di foto itu. Adel masih saja mengusap lesung pipi Alpa. Dan usapan tangannya terhenti kala ia mengingat sesuatu. Lesung pipi itu, iris cokelat yang sama seperti iris matanya mengingatkannya pada seseorang. "Princess jangan nangis, kan ada Alpa." Adel tersentak foto itu jatuh begitu saja dari tangannya. Ia ingat suara itu. *** Malam ini, Adel merasa enggan beranjak dari tempat tidurnya. Padahal sebelumnya ia sangat bersemangat ketika bundanya mengatakan akan bertemu Alpa. Namun, ketika satu mimpi buruknya menyerangnya malam itu, perasaan takut itu muncul. "Kok masih duduk di situ, ayo cepet keluar sebentar lagi mobil jemputan kita dateng." Rasanya saat itu juga ia ingin sekali menghentikan waktu. Adel merasa hampa bahkan saat Bunda menarik lengannya menuju mobil yang sudah tiba di depan rumahnya. Pikiran cewe itu kosong sehingga ketika mereka telah sampai pun ia tak menyadarinya. "Ayo, Del." Bunda kembali menuntun anak gadisnya. Mereka bergandengan dengan Adel memandang kosong ke depan. Orang yang berlalu lalang di sekitarnya terasa hanya ilusi. Bunda menyentaknya dengan menepuk bahu. "Del, itu ada Papa kamu." Adel celingak-celinguk seperti orang linglung. "Itu, Del." Bunda mengarahkan dagu anaknya ke arah pria yang tengah melambaikan tangan di sebuah meja yang sudah dipesan. Bunda kembali menuntun Adel mendekati mantan suaminya. Sikap Bunda yang menoleh mencari seseorang didapati oleh Pak Ramdan. "Arfanya belum dateng, mungkin sebentar lagi. Duduk dulu sini." Mereka mulai menduduki bangku masing-masing. Adel mengusao kembali liontin di kalungnya. Ia memejamkan matanya, mengatur ritme jantung yang berdetak tak karuan. "Itu Arfa." Kalimat papanya barusan justru membuat Adel menggigit bibir bawahnya. Adel dapat merasakan sentakan terkejut Bunda di sampingnya. Masih dengan memejamkan matanya air mata itu tak bisa ia halau. Perlahan dibuka dan saat itu juga ia dapat melihat sebuah punggung yang pergi menjauh dari hadapannya. Seketika tubuh Adel lemas dan ia hanya dapat menjatuhkan tubuhnya ke meja di hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD