Arti Bunga dan Harapan

1352 Words
Seusai mandi dan sarapan Ardan langsung saja mengambil telepon genggamnya dan mendial salah satu kontak di hpnya. “Hallo,” sapa Ardan ketika panggilannya diangkat. Yang saat ini sedang ia hubungi adalah Adel. Ardan mendapatkan nomor Adel dari Bunda. Jadi, Adel belum mengetahui siapa yang sedang menelponnya. "Halo? Ini siapa ya?" "Ini Neymar." "Hah?! Bohong ya?!" "Iya, hehe. Ini gue Ardan." "Oh, tuh kan. Kamu bikin aku jantungan aja, Dan." "Kok bisa?" "Iya, abisnya ngaku-ngaku Neymar. Takutnya kan, Neymar sekarang lagi makan, nanti keselek terus mati lagi." Ardan di ujung sana tergelak. "Ngaco aja lo!" "Kok Ardan bisa punya nomor aku?" "Ini nomor lo? Gue pikir ini nomor Kendall Jenner. Pantesan sinyal gue ilang timbul gini." Adel mengernyit. "Apa hubungannya aku, Kendall, sama sinyal?" "Hp gue ini terdesain khusus buat cewe cakep doang, Del. Jadi kalo orangnya nggak cakep sinyalnya ilang timbul gitu." "Oh, ada ngaruhnya, ya." Ardan kembali tertawa. "Iya, ngaruhnya besar banget malah." Adel di ujung sana menghela napas malas. "Kalo gitu, yaudah aku matiin aja." "Yaudah matiin aja, Del, pulsa gue juga dah mo abis nih." Ardan kembali terkikik kala mendengar Adel yang menggerutu tidak jelas. Di waktu yang sama tempat yang berbeda, Adel menutup sambungan telepon itu dengan dongkol. Melihat sambungannya terputus sepihak Ardan terkikik geli. Jiwa jailnya selalu timbul jika sudah bersama Adel. Ardan beranjak lalu menyambar jaket kulit dan kunci motornya. *** Ardan mengetikan sebaris pesan kepada Adel. Gue udah di depan rumah lo nih, bukain dong. Ardan kembali menghisap sebatang rokoknya yang ia selipkan di dua jarinya. Tak berapa lama, Adel menyembul dari balik pintu kayu itu. Ardan yang tengah bersandar di jok motornya langsung menegapkan tubuhnya. Dibuangnya putung rokok yang masih ada setengah itu. "Hai!" sapa Ardan kepada Adel yang tengah memasang wajah masamnya. "Mau ngapain?" “Yah, jangan marah dong Del,” bujuk Ardan tapi tidak ada respon dari Adel. “Yah, Adel beneran marah?” Masih tidak ada respon. “Gue minta maaf deh ya? Jangan marah gitu dong,” Masih tidak ada respon. “Gimana kalo kita jalan-jalan,” tawar Ardan. “Nggak." “Deh singkat amat jawabnya." “ ... “ “Oke-oke gue janji nggak akan ngerjain lo lagi." Jari Ardan membentuk huruf V. “Beneran?” “Untuk saat ini,” ia mengatakannya dengan suara pelan. “Apa?!” “Apanya yang apa-apaan?" Ardan balik bertanya. “Ah Ardan mah kebiasaan,” gerutu Adel. “Yaudah lah, gue tadi ngajakin lo jalan mau nggak?” “Emm–“ “Ayo!” potong Ardan seraya menarik tangan Adel. Ardan memberikan helmnya kepada Adel. “Padahal belum dijawab.” “Lo jawabnya kelamaan.” *** Ardan memberhentikan motornya di salah satu taman. Adel belum pernah melihat ini sebelumnya, ia turun dari motor yang disusul Ardan. Saat Adel baru ingin menyebrang tiba-tiba saja ada motor yang melintas, hal itu membuat Ardan reflek menarik lengan Adel. “Dasar motor b**o!” Si pengendara motor itu berhenti tapi tidak menoleh ke belakang hanya melihat Ardan dan Adel dari kaca spion. Pengendara itu memakai helm full face. Bukannya turun dan meminta maaf pengendara itu malah menstarter motornya lalu menggas. “Anjir, malah kabur.” “Ardan mau ke mana?” tanya Adel melihat Ardan hendak menaiki motornya. “Mau ngejar tuh orang, kayaknya dia sengaja,” jawabnya sembari memakai helm. “Jangan Ardan! Udah biarin aja." “Kok jangan sih, Del?" geram Ardan. “Ardan jangan lagian orangnya udah jauh juga kan?” Ardan melihat ke arah jalan yang tadi dilewati oleh si pengendara. “Harusnya dari tadi,” gumamnya. “Udahlah Ardan, mending kita ke taman itu aja yuk!” kata Adel dengan wajah yang antusias, melihat ekspresi itu membuat Ardan pada akhirnya mengurungkan niatnya. “Yaudah ayok,” ucap Ardan, kembali turun dari motor dan melepas helmnya. Mereka berdua memasuki taman yang indah itu, berjalan bersisian melewati berbagai macam tumbuhan. Sambil sesekali tertawa bersama ketika mereka tengah membicarakan hal-hal konyol. "Lili," ucap Adel ketika melewati bunga lili yang sedang mekar dan tampak indah. "Bunga yang melambangkan kesucian," lanjut Adel. Seperti layaknya pemandu wisata Adel selalu menyebutkan nama dan arti lambang setiap bunga yang mereka lewati. "Kalo yang itu namanya bunga arbutus." Pandangan Ardan mengikuti arah jari Adel menunjuk. "Artinya--" "Kamulah yang kucintai." Adel tersentak, ia memutar wajahnya menghadap Ardan dengan cepat. "Benerkan? Artinya kamulah yang kucintai. Salah satu bunga selain mawar putih yang biasa ditemuin di acara nikahan." Adel mengangguk, "Iya, kok tau?" Ardan bergidik, "Ada yang ngasih tau ke gue, tapi lupa siapa." Mereka kembali melanjutkan perjalanannya. Langkah kaki mereka menuju sungai buatan yang berada di lingkungan taman itu. "Mau naik bebek-bebekan gak, Del?" Adel menggeleng, "Takut." Ardan berdecak, "Apa sih yang lo nggak takutin, Del. Apa-apa takut, dulu gue suruh ambil hp di mejanya Bu Wati lu bilang takut, sama kecoa takut." "Ya, jelaslah! Siapa yang gak takut coba ngambil barang sitaan guru. Trus yang terakhir, kamu juga takutkan." "Gue nggak takut kecoa. Cuma geli." Adel mendengkus. "Sama aja." Ardan berdiam sejenak lalu menjentikan jarinya. "Yap, gue udah mutusin. Kita harus naik!" putus Ardan lalu menarik tangan Adel seraya berlari. Teriakan protes Adel menyatu dengan tiupan angin di sore itu. Daun-daun kering berjatuhan dari atas pohon. "Ardan, nggak mau! Ntar kalo nyemplung gimana?" "Kalo nyemplung ya basah, Del." Mereka sudah sampai di permainan bebek-bebekan itu. "Ayo naik." "Nggak mau." Adel keukeuh berdiri di tempatnya. "Nggak bakal jatoh, Del, sini pegang tangan gue." Ardan mengulurkan tangannya. Pertama-tama dia duluan yang masuk lalu disusul Adel dengan tangan bergemetar memegang uluran tangan Ardan. "Nggak usah lebay deh, asal lo hati-hati nggak bakal jatoh." "Jantung aku degdegan, Dan." Adel sudah duduk dengan selamat di samping Ardan. Ardan terkekeh melihat itu. "Gara-gara gue ya?" "Iya." Adel melotot dengan ucapannya sendiri. "Maksudnya gara-gara kamu ajak naik ini." Ardan berdecih lalu menggenjot bebek-bebekan itu. "Genjotnya yang kenceng dong, Del. Berat nih gue." "Berisik! Ini juga 'kan lagi aku genjot, lagian naik beginian." "Lo suka bunga ternyata," ucap Ardan kembali. Adel menggeleng lalu dia menunjuk dirinya sendiri. "Orang kayak aku? Suka bunga?" "Makanya itu, aneh." "Yang suka itu Bunda. Aku cuma liatin doang. Bunda sering ngajakin aku ke sini nunjukin bunga-bunga cantik. Mungkin berharap aku bakal suka bunga juga kaliya, kenyataannya aku nggak terlalu tertarik." Setelah itu mereka tak berkata-kata lagi. Hanya diam menikmati suasana danau buatan itu. Setengah jam berlalu ketika mereka memutuskan menyudahi kegiatannya. Mereka kembali berjalan bersisian. Adel merasakan lelah di kakinya, ia memutuskan berjongkok sejenak. "Pegel?" Adel menggangguk sambil mengerucutkan bibirnya. Ardan menelusuri area taman itu dengan matanya. "Duduk di situ, yuk." Ardan kembali menarik tangan Adel untuk bangkit berdiri dan berjalan menuju bangku panjang kayu berukuran 5-6 meter itu. Suasana taman di sore itu lumayan ramai. Pengunjungnya rata-rata sepasang suami istri bersama dengan anak mereka yang masih kecil. Adel kembali berucap ketika ia melihat sepasang kakak beradik yang sedang berlarian di depannya. “Dari kecil aku pengen banget punya rumah pohon, biar kayak yang difilm Heart, kan seru tuh kalo punya rumah pohon bisa main di sana dan aku yakin pasti udara di atas sana lebih seger," tutur Adel sambil menyunggingkan senyum tipis. "Kalo keinginan masa kecil kamu apa?” Tatapan Adel beralih kepada seorang anak kecil yang tengah merengek--entah apa--kepada ibunya. “ ... “ “Ardan,” panggil Adel seraya mengalihkan pandangannya ke arah Ardan. Dilihatnya Ardan yang sedang melamun. “Ardan!” panggil Adel sekali lagi dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya. “Heh, apa sih Del?” “Kamu dari tadi nggak dengerin aku ngomong?” “Emangnya kamu ngomong apa?” Adel geram dengan pertanyaan Ardan tersebut. “Au ah,” ketusnya lalu beranjak dari duduk. ‘Dari kecil aku pengen banget punya rumah pohon.' Ucapan Adel barusan masih terngiang dipikiran Ardan. “Gue denger kok, sekarang lo boleh marah tapi nanti?” gumam Ardan yang hanya dapat didengar olehnya. “Adel tunggu! Cepet banget jalannya,” ucap Ardan seraya beranjak dari duduk. “Adel!” panggil Ardan. “Apa?” jawab Adel dengan jarak yang jauh. “Tunggu ih, emang lo ngomong apa tadi,” ucapnya masih berjalan mengejar Adel yang berada sekitar 3 meter di depannya. “Nggak!” ketus Adel yang membuat Ardan terkikik mendengarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD