Pertemuan

1010 Words
Waktu istirahat telah tiba semenjak beberapa menit yang lalu. Biasanya tempat yang pertama kali ia tuju adalah perpustakaan. Namun, kini Adel harus membantu Bu Beti untuk membawa setumpuk buku tugas ke ruangan beliau dikarenakan Bu Beti yang dipanggil kepala sekolah. Ketika ia hendak memasuki ruang guru sebuah suara menghentikan langkahnya. "Psst! Psst!" Adel celingak-celinguk mencari asal suara. Tiba-tiba saja ia merinding, lantas kembali memasuki ruang guru. Urusan dengan Bu Beti sudah kelar, Adel sudah hendak berjalan menuju perpustakaan kalau saja sebuah tangan tidak mencekalnya. Adel ingin berteriak, tetapi mulutnya sudah terlebih dulu ditutup. "Sstt! Jangan ribut ngapa sih! Gue cuma mau minta bantuan lo doang." Adel mengoceh tidak jelas dibalik bekapan orang itu. "Lo ngomong apa sih?" "Ng-mmmph!" Adel masih berusaha berbicara walau mulutnya dikunci secara paksa. "Dia nggak bisa napas kali, Dan," ucap Kevin. Cowo yang tengah membekapnya itu bernama Ardan. Siapa yang tak kenal Ardan, salah satu siswa langganan BK sekaligus pemimpin dari sekelompok geng berandal di sekolahnya. "Oh iya." Ardan akhirnya melepas bekapannya. Setelah terlepas Adel langsung menghirup napas dalam-dalam. Benar saja, sejak ditutup tadi Adel kesulitan bernapas. "Nah, sekarang lo masuk lagi ke dalam terus ambil hp gue yang disita Bu Wati." Belum juga jantung Adel berdetak normal. Ia harus dikejutkan dengan ucapan laki-laki itu. "E-enggak bisa! Aku nggak bisa." Atau mungkin, Adel adalah satu-satunya orang yang tak mengenal Ardan. Karena siapa pun yang mengenal Ardan tak akan berani menolak cowo itu. Ardan berdecak. "Kok lo nyolot sih! Sama gue nggak ada kata nggak bisa, sekarang cepetan lo masuk." "Aku nggak bisa! Aku takut," cicit Adel. "Dan, cari orang lain aja, deh. Nggak yakin juga gue," ucap salah satu temannya yang lain bernama Anton. "Diem, deh lo. Gue udah mepet." "Ayo, cepet! Ah, gila lama banget lo." Kini pandangan Ardan tertuju pada Adel. Adel menggeleng sambil menunduk. Cowo itu menghela napas lalu bertolak pinggang. Diangkatnya wajah Adel agar menatapnya. "Lo nggak perlu make acara-acara ngumpet-ngumpet, ngindik-ngindik ala-ala detektif. Lo cukup masuk dengan gaya santai lo, terus lu ambil hp gue yang lagi nangkring cantik di atas meja Bu Wati. Mumpung tuh guru lagi ke toilet. Paham?" Suara cowo itu memelan, tetapi cukup mengintimidasi. Adel mengangguk perlahan karena tatapan cowo itu. "Sekarang lo tarik napas," titah Ardan yang diikuti Adel. "Terus buang." Kembali Adel mengikuti saran Ardan. "Nah, sekarang ikutin saran gue, cepet masuk!" Ardan berkata sambil mendorong paksa tubuh kurus Adel. *** Adel kini kembali memasuki ruang kramat itu, ruang guru. Ruang di mana kita akan selalu keringatan jika berada di dalamnya padahal terdapat AC. Kramat, bukan? "Adel!" Panggilan itu mendadak membuat seluruh tubuh Adel menegang. "Bukunya udah ditaro di meja ibu?" Itu adalah suara Bu Beti, Adel menghela napas lega. Ia menoleh ke belakang dan memaksa senyumannya. "Iya, Bu. Udah saya taro." Bu Beti menganggukan kepala. "Makasih ya, Del. Sekarang kamu boleh keluar. Kamu dari tadi masih nungguin ibu?" Bu Beti mengira sedari tadi Adel masih diam di ruangan guru hanya untuk menunggunya keluar dari ruang kepala sekolah. Adel hanya mengangguk saja. "Yaudah, saya keluar dulu ya, Bu." "Yaudah, sana." Ketika Bu Beti berbalik badan menuju mejanya di situlah Adel menyempatkan diri mengambil ponsel Ardan yang berada di meja Bu Wati yang letaknya tepat di belakang Adel saat ia menghadap Bu Beti. *** Ardan gelisah karena sosok yang ia tunggu tak kunjung terlihat. "Kok lama, ya?" "Kan, udah gue bilang gue nggak yakin." Ardan melihat Anton khawatir. Ia berdecak kesal sampai akhirnya sosok itu tertangkap indra penglihatannya. "Keyakinan lo perlu dipertanyakan kayaknya, Ton. Tuh orangnya." Ardan menunjuk Adel yang sedang berlari ke arahnya. Ia tersenyum penuh kemenangan. Cewe itu tampak engos-engosan. "Gue bilang 'kan nggak usah lari, biasa aja." Adel tidak menjawab lebih memilih memberikan ponsel yang diminta Ardan. "Thanks, ya." Adel hanya berdehem lalu berbalik. "E-eh, nama lo siapa?" Adel berhenti kemudian kembali menghadap Ardan. "Adel." Ardan mengangguk sekilas lalu pergi bersama teman-temannya. Melihat itu Adel terdiam. "Cuma gitu doang?" Adel tidak menyadari bahwa ia sudah masuk dalam masalah yang tidak seharusnya ia masuki. Cewe itu telah berkomunikasi dengan orang yang seharusnya ia hindari. Karena mulai detik itu juga mungkin kehidupannya akan mulai berubah. *** Ardan dan kedua temannya berlari menuju halaman sekolah bagian belakang. Setelah mendapatkan tembok besar itu, mereka saling lirik dan saling menyunggingkan senyum tipis. Dengan ahlinya mereka melewati tembok itu, orang-orang pun akan langsung tahu kalau itu sudah menjadi kebiasaannya. Di balik tembok itu ketiga temannya yang lain sudah menunggu. "Lama banget sih lo pada, kacang gue sampe abis ini," gerutu cowo yang bernama Galang. "Tau tuh yang disuruh Ardan orangnya nggak pro," sahut Anton yang langsung menaikki motor Aldi. "Yang penting dapet, 'kan," ucap Ardan lalu menaikki motor Ryan. Lalu Kevin menaikki motor Galang. Setelah mereka berhasil menaikki boncengan temannya. Motor itu serempak melaju meninggalkan area sekolah. Di tempat yang tidak jauh dari mereka, sekelompok orang memandang mereka dengan sorot kebencian. *** Akibat kejadian kemarin, dampaknya sudah terlihat mulai hari ini. Kini Adel tengah berada di dalam ruang guru tepat di depan meja Bu Wati. Adel hanya menunduk ketakutan. Tadi ketika ia baru saja keluar dari toilet Ardan bersama teman-temannya itu menarik dia dan mengatakan bahwa Adel dipanggil Bu Wati di ruangannya. "Benar, kamu yang udah bantu mereka ngambil ponsel itu?" Adel mengangguk. Jarinya saling memilin satu sama lain. "Tuh 'kan, Bu! Bukan kita yang ngambil," ucap salah satu dari teman Ardan. "Diam, Kevin!" Bu Wati melempar tatapan tajam pada anak muridnya itu. Kemudian kembali ia memfokuskan diri pada siswi yang kini sedang berdiri gemetar. "Kenapa kamu ngelakuin itu Adel?" tanya Bu Wati geregetan. "Aku disur--" "Dia hutang budi, Bu, sama kita karena kita pernah nolongin dia dari marabahaya," sela Ardan. Adel melotot dengan ucapan itu. Mana pernah dia ditolong dari marabahaya, justru saat ini mereka sedang mengirim sinyal 'marabahaya akan datang' kepada Adel. Baru saja ia hendak membela diri, Bu Wati sudah kembali berkata, "Mau apapun alasannya itu tetap salah Adel." "Tapi, Bu, saya dipaksa--" "Eits! Dipaksa apa? Yang ada lo yang maksa bantu kita." Ardan masih berkilah mengatakan hal yang tidak sesuai. Adel mengerutkan dahinya. Buat apa dia melakukan hal seperti itu. Ditambah lagi kepada orang asing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD