Masa Lalu

1167 Words
“Gue suka sama Dinda,” ungkap laki-laki berseragam putih biru yang sekarang tengah duduk menghadap temannya yang sedang bermain basket. “Apa? Siapa tadi lo bilang?” temannya ini nampak terkejut dengan apa yang barusan sudah ia dengar, sampai-sampai bola basket yang dia pegang terlepas. “Dinda. Gue suka sama Dinda,” ucap laki-laki ini sekali lagi. “Lo tau siapa Dinda?” “Tau. Mantan lo, kan?” jawabnya, membuat sang teman hanya menatap dengan tatapan tidak habis pikir. “Ck, yaelah, Yon. Dah jadi mantan, kan? Terus apanya yang salah?” ucap laki-laki itu kepada temannya, Dion. “Bukan gitu, Dan. Gimana ya? Terserah lo dah,” ucapnya lelah kepada temannya, Ardan, yang kini balik menatapnya bingung. “Lo, udah nggak ada perasaan apa-apa lagi, kan?” tanya Ardan curiga. “Ya, ampun, Ardan, ya enggaklah. Udah berapa kali gue bilang, setiap orang yang udah nggak ada hubungannya sama gue, pasti akan gue lupakan. Move on bro,” tutur Dion. “Bagus deh, berarti nggak ada masalah, kan, kalo gue ngedeketin dia,” ujar Ardan. “Enggak sama sekali." Ardan melirik ke arah temannya yang kini sudah dibanjiri keringat. “Lagian lo yang aneh sih, orang baek, cantik, kayak dia nggak dipertahanin." “Terlalu banyak maunya dia. Yang ada, lo yang aneh mau aja sama orang kayak gitu," kata Dion sambil melempar bola basket itu ke arah Ardan. Untung Ardan memiliki reflek yang bagus. “Cinta nggak bisa disalahkan,” ucapnya sembari terkekeh. “Serah lo dah, gue cabut dulu ya." Alis Dion turun naik, memberi kode bahwa ia menitip tasnya yang berada di dalam kelas. "Nanti gue samper rumah lo buat ambil tas." “Mau ke mana? Masih ada pelajaran matematika abis istirahat ini." “Lo aja sana yang belajar gue males, mo cabs dulu. Bye bro!” “Oke, hati-hati!” “Eh, iya. Dan, belajar yang benar, ya, nak,” ucap Dion dengan nada mengejek. “Iya, Tante,” sahut Ardan yang membuat Dion merubah ekspresi wajahnya. “Sialan lo!” ucapnya membuat Ardan terkekeh. “Gue bingung kapan lo mau berubah, Yon.” “Sama. Gue juga bingung kapan kehidupan flat lo ini berakhir, Dan.” *** Saat ini Ardan dan Adel sedang berada di perjalanan pulang. Di tengah perjalanan tiba-tiba saja Ardan memberhentikan motornya di depan penjual bakso. “Kenapa, Dan?” tanya Adel bingung. “Turun,” suruhnya seraya melepas helm. “Mau ngapain di sini?” tangannya sibuk meraih pengait helm yang tak kunjung terlepas. Ardan yang melihat itu langsung mengambil alih. “Mandi,” jawab Ardan sambil menunduk untuk melihat pengait helm “Hah? Mandi? Di gerobak bakso?” Mata Adel membulat. Netra Ardan melirik, ia berdecak melihat ekspresi serius cewek itu. “Ck, ya ampun, Del. Untung temen, ya, mau makanlah." “Oh, bilang dong,” kata Adel sembari mengangguk kecil. “Lah, emangnya kalo gue berhenti di tukang bakso mau apalagi kalo bukan makan." “Bisa aja kamu mau minta teh angetnya doang buat minum." “Serah lo dah, Del.” Gila kali cuma mesen teh anget doang, batin Ardan. Sampai sekarang pun Ardan bingung mengapa ia bisa bertahan berteman dengan orang seperti Adel. “Bang, pesen baksonya 2 mangkok,” pesan Ardan ke pedagang bakso yang memiliki kumis tebal dengan handuk kecil yang disampirkan di lehernya itu. “Oke, Mas,” jawabnya, lalu mulai meracik bakso pesanan pembelinya itu, “ini, Mas.” “Makasih, Bang." “Del, kita challenge siapa yang kuat makan bakso pedes level 15, makanannya ditraktir yang kalah, plus dia boleh minta dibeliin sesuatu sama yang kalah. Gimana?” “Mm ... Boleh, ayo kita mulai!” ucapnya semangat. Ardan yang melihat ekspresi Adel itu langsung merasakan sesuatu yang tidak enak. Challenge pun dimulai, 5 menit berlalu, 10 menit, Ardan nampak tidak kuat lagi. ‘Woa, gila! Masa gue kalah sih, kan gue yang ciptain ini permainan, pokoknya gue harus kuat.' ‘Sumpah gue udah nggak kuat.' “Huuaaahh! Gila pedes, aer, aer!" Glek.. Glek.. Glek “Yes! Aku menang, berarti sekarang Ardan yang bayar.” “Iya-iya gue bayar.” Setelah Ardan membayar bakso yang telah mereka makan, mereka berdua berjalan menuju motor yang mereka parkirkan. “Terus sekarang, lo mo beli apa lagi?” “Apa ya?” pikir Adel. Kemudian pandangan Adel mengarah ke penjual es krim keliling. Ardan yang menyadari arah pandangan Adel langsung saja menarik tangannya, “Ayo!” “Bang, pesen es nya dua ya, yang satu rasa vanila." “Kalo aku coklat ya, Bang.” “Nih, Neng.” Mereka berdua duduk di kursi yang sudah disediakan. Mereka menyuap es krimnya dalam diam. “Huh! Gue pikir lo nggak kuat,” gumam Ardan sembari mengerucutkan bibirnya. “Siapa bilang? Aku malah suka pedes." “Curang ini mah namanya.” “Kok curang sih?” Ardan tidak menjawab, tetapi wajahnya masih saja bertekuk kesal. “Senyum dong,” ucap Adel sembari mencubit pipi Ardan, menarik ujung bibirnya agar tersenyum. “Aaa, sakit ih Adel.” “Hehe, maaf, lucu.” “Lucu bagi lo.” “Poin pertama jangan pernah menyepelekan orang,” ucap Adel lalu menyuap es krim yang berada di sendoknya. “Poin kedua, jangan men-judge orang hanya dari covernya,” ucapnya lagi. “Poin ke—“ “Berapa banyak poin?” sela Ardan. “Cuma tiga kok.” “Kaya guru aja lo." “Emang cita-cita aku mau jadi guru.” “Hah? Cita-cita lo jadi guru? Yang ada lo dibully mulu sama anak murid." “Ardan, kamu udah lupa sama poin pertama dan kedua yang aku sebutin tadi, apa mau diulang." “Eh, nggak usah. Yaudah sekarang apa poin terakhir nya?” “Poin ketiga, terima kasih sudah melakukan poin pertama dan kedua. Karena yang udah kamu lakuin itu menguntungkan orang yang kamu sepelekan,” ucapnya sembari tertawa, sedangkan yang sedang ditertawakan memasang wajah kesalnya. Sebenarnya Adel masih bingung tentang kejadian di rumah Dion barusan, Ardan dan Dion seperti orang yang sudah kenal lama. “Kenapa?” tanya Ardan menyadari sikap penasaran Adel. “Kenapa apanya?” “Ada yang mau lo tanyain ke gue?” “Ngh-itu, kamu udah kenal sama Dion, ya? “Siapa sih yang nggak kenal Dion, mantan ketua OSIS plus juara umum tiga se-angkatan waktu semester 4 kemaren,” “Bukan itu!” tandas Adel. “Terus?” Sungguh jawaban Ardan membuat Adel tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini. “Nggak jadi deh.” “Kenapa?” tanya Adel bingung karena kini Ardan sedang menatapnya. Tiba-tiba tangan Ardan terangkat menyentuh ujung samping bibir Adel. Adel yang menyadari hal itu terkejut. “Belepotan,” ucapnya, kemudian menjilat sisa es krim yang kini berpindah tempat ke jempolnya. Adel yang melihat hal itu benar-benar merasa perasaannya tidak karuan. Jantungnya seperti habis lari maraton, berdegup sangat kencang. “Kok, rasanya aneh ya,” kata Ardan setelah mencicipi sisa es krim itu. Adel yang baru sadar dari ketidaksadarannya, menjawab, “Lagian dijilat.” “Sayang, Del. Itu kan, pake uang gue belinya. Makanya makannya yang bener. Udah gede juga."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD