Penilaian Buruk

1015 Words
Suasana meja makan pagi itu seperti biasa hening hanya dentingan sentuhan sendok dan piring yang mendominasi ruangan itu. "Itu makanan buat siapa, Bi?" tanya Ardan melihat pembantunya yang menyiapkan makanan di piring dan ditaruh ke nampan. "Buat Bapak. Bapak lagi sakit, tadi malem demamnya tinggi, Den." Ia tidak menjawab dan kembali menikmati sarapan paginya. *** "Bunda!" pekikan suara Adel membuat Bunda berjingkat lari mendatangi sumber suara. "Ada apa, Del?" kata Bunda disertai wajah panik dan khawatir. "Justin datang!" ucap Adel kegirangan sambil menunjuk ke arah sepedanya tanpa memedulikan sang bunda yang kini tengah memandangnya kesal. "Aduh! Bun, sakit tau," ringis Adel yang mendapat jitakan ringan dari bundanya. "Kamu ngagetin Bunda. Bunda pikir ada apa." "Ada 'justin', Bun," kata Adel dengan menampilkan mimik watadosnya. "Ya udah berangkat sana nanti telat, Bunda juga harus siap-siap ke toko, belakangan ini pesanan kue banyak." Bunda pun bergegas ke dalam rumah untuk bersiap-siap, Adel kembali menatap sepeda mininya itu. Ardan sangat baik sudah mau repot membantunya. Dia segera menghubungi Ardan. Dalam nada panggil ketiga Ardan baru mengangkatnya. "Halo, Ardan!" seru Adel. "Halo, Del, gimana sepedanya ud-" "Iya udah! Makasih Ardan, aku udah kangen banget sama 'justin'." "Justin?" "Oups, maksud aku sepeda hehe." "Justin? Sepeda? Pfft," terdengar suara tawa yang ditahan. "Ya udahlah, berangkat sana pake 'justin'. Gue tunggu di sekolah." "Oke, Dan." *** Hari ini tak henti-hentinya ia tersenyum, mungkin akan sepanjang hari. Ia memarkirkan sepedanya itu di parkiran sekolah lalu menyapukan pandangan ke seluruh tempat, mencari seseorang yang berjanji akan menunggunya. Teriakan dari arah yang berlawanan dengan pandangannya, mampu membuat gadis itu segera membalikan badannya dan melambaikan tangan. Senyuman itu kian melebar sampai sederet gigi putihnya terlihat. "Kayak ada yang beda dari Adel. Tapi apa ya?" pikir Aldi sambil mengetukan jarinya ke dagu. Kevin yang berada di samping Adel melihat intens gadis itu dari atas sampai bawah. "Hah, gue tau!" "Apa, Vin?" tanya Ardan sambil terkekeh melihat Adel yang risih dilihat seperti itu oleh Kevin. "Makin gendut, ya nggak sih?" Jawaban Kevin membuat semua orang di situ kecuali Adel tertawa. "Kacau lu Vin," kata Anton menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. "Menurut lo kira-kira apa, Dan?" Ardan tidak langsung menjawab membuat Adel memusatkan perhatiannya pada laki-laki itu. Ia berharap sesuatu. "Sama aja." Berharap Ardan menyadari perubahannya. *** Hari ini sama dengan hari yang lalu tidak ada perayaaan, tidak ada hari spesial, tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan alasan untuk berbeda. Namun, faktanya barusan ada sesuatu yang berbeda dari seorang Adelina di hari ini di hari yang biasa ini. Ia baru saja merapikan rambutnya?! Ini bukan hal yang biasa, tetapi luar biasa. Adel yang tidak memiliki hubungan baik dengan alat yang bernama sisir--karena sering kali mengeluhkan sakit di kulit kepala karena bergesekan dengan sisir--untuk pertama kalinya ia memegang sisir. Bunda yang menyadari sedikit perubahan itu hanya tersenyum tipis. Tidak banyak berubah, hanya menyisir. Namun, tampaknya faktor yang menjadi penyebab itu tidak menyadarinya. Adel hanya menghela napas lemah, bahunya turun bagaikan matahari yang terbenam dan tak lagi menampilkan sinarnya. Senyumnya sirna begitu saja. Suasana riuh di lapangan bola itu dihiraukannya. Pada jam istirahat ini Ardan dan kawan-kawan memutuskan bermain sepak bola sedangkan Adel hanya duduk menunggu baju-baju seragam teman-temannya yang dilepas dan digantung di senderan bangku panjang tempat ia duduk. Bahkan buku paket yang di tangannya pun hanya dibolak-balik halamannya saja. Ketika keenam anak laki-laki itu menyelesaikan permainannya mereka serentak menghampiri Adel. Ada yang langsung menyambar botol minum, atau malah menyelonjorkan kakinya di aspal. Ardan mendaratkan bokongnya di samping Adel dan melihat raut muka tidak bersahabat Adel. "Lo kenapa?" Adel menengok pada Ardan sebentar lalu membuka buku dan pura-pura membaca. "Nggak pa-pa." "Aneh," kata Ardan seraya meneguk minumannya. Adel hanya melirik dan mengacuhkan ucapan Ardan. "Sejak kapan lo bisa baca kebalik?" Adel yang menyadari itu langsung membalikan kembali buku yang ia baca. Baru saja ia ingin melanjutkan bacanya, Ardan merebut buku itu. "Ap--" "Kenapa muka lo bete gitu?" Adel memutar matanya dan memposisikan dirinya untuk memunggungi Ardan. "Nggak ada apa-apa." "Oke-oke yang jelas gue mau minta maaf kalo gue ada salah." Adel segera menghadap Ardan. "Nggak kok nggak ada salah, aku cuman." Ia menunduk dan memilinkan ujung seragamnya. "Cuma apa?" tanya Ardan geram karena Adel yang tak kunjung menjawab. "Emm ... cuma kepikiran ujian akhir kita." Ia menaikkan satu alisnya. "Itu doang?" "Ardan! Kerjaan kalian cuma main-main doang nggak pernah belajar, lagian kamu nggak mau ngebuktiin ke orang-orang yang selama ini mandang kamu sebelah mata. Tunjukin kalo kamu bisa berprestasi juga?" Adel tidak habis pikir dengan ketidakseriusan Ardan dalam hal akademik. Apa gunanya ia sekolah? "Gue dah terlanjur dipandang gini kali." "Ya, berjuang dong! Buktiin ke mereka." Ardan tidak menjawab hanya tersenyum dengan pandangan masih terpaku pada kedua bola mata itu. *** Bel tanda berakhirnya pelajaran hari ini berbunyi meneriakan kepulangan kepada siswa siswi yang sudah berharap pulang. Langkah kaki dari beratus pasang kaki menghentak secara serempak ikut meramaikan bunyi bel yang masih berdering. Adel bersama ratusan pasang kaki itu ikut melangkahkan kakinya ke tempat sepedanya bertengger. "Kamu nggak seharusnya berteman dengan anak berandal kayak mereka," suara Mas Rey mengintrupsi memberhentikan aktifitas Adel dengan sepedanya. "Mas Rey--" "Mereka nggak pantes buat dijadikan temen." Adel menghela napas untuk menenangkan dirinya agar tidak mengucapkan hal buruk. "Mereka nggak seburuk itu," belanya. "Murid dengan reputasi buruk. Perlu seburuk apa lagi, Del?" "Kenakalan masa SMA menurut aku wajar." "Kamu nggak bisa berpikir sesederhana itu." "Oke, ya, mereka emang sering kena masalah. Tapi, semua orang bisa berubah." "Orang kayak mereka nggak bakal bisa berubah!" "Mas, aku bingung sama Mas Rey. Mas selalu bilang kalo aku harus bisa bergaul. Tapi kenyataannya, setiap aku mau berusaha membuka diri. Mas selalu gini, selalu ngelarang aku dengan alasan orang yang menjadi teman aku bukan orang baik-baik. Sebenarnya aku harus gimana?!" "Mas cuma nggak mau kamu kenapa-napa." Kalimat itu, kalimat yang sering dia dengar, kalimat yang membuatnya menjadi pribadi yang tidak mengetahui dunia luar. Kalimat yang membuatnya menjadi takut berhubungan dengan orang lain. Namun, saat ini, detik ini, dia tidak terpengaruh dengan kalimat itu. Maka yang ia lakukan selanjutnya adalah tersenyum dan.... "Aku bisa jaga diri kok." Setelah berkata demikian ia menggiring sepedanya melewati Mas Rey yang berdiri gamang menatap kepergian Adel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD