BAB 1 |CINTA ITU LUKA

2110 Words
—Lebih baik terluka daripada tak mengenal cinta. Sebab ketika ada cinta, pasti juga ada luka.— *** DIBALIK tembok pagar tempat pesantren Nurul Iman berdiri, cewek bernama Arvanya Neila rela memanjat demi mengintip cowok yang dia suka. Vanya, begitulah orang-orang memanggilnya. Cewek tomboy yang suka mengucir rambut dengan gaya poni belah tengah, pemilik bibir tipis merah yang cerewet sekaligus siswa berpredikat ratu galak sesekolah. Tapi, galak-galak begini Vanya adalah tim cheerleaders di SMA Nusa Bangsa tempat dia menuntut ilmu, ya meskipun Vanya masuk eskul cheers juga terpaksa karena paksaan Ani, teman satu bangku Vanya dari kelas sepuluh sampai sekarang kelas sebelas. Cowok yang Vanya suka itu bernama Johan Akbar Alfarizi, anak santri yang kebetulan bersekolah dan satu kelas dengan Vanya. Selain ganteng, suara emas Akbar kalau sedang ngaji benar-benar bikin Vanya speechless bukan main. Jaman sekarang tuh yang diidam-idamkan cowok yang beriman, bukan cowok bad boy yang teman-teman Vanya bilang lebih keren. Membahas cowok bad boy, Vanya jadi teringat pada si idola sekolah kesukaan Ani. Ganteng sih, mirip artis Taiwan Keisuke Asano, tapi gitu deh... nauzubillah nakalnya. Dengar-dengar dia juga ketua geng motor di Jaksel, iihh ngeri. Akbar yang sudah Vanya nanti-nantikan akhirnya maju ke depan panggung. Pesantren Nurul Iman kerap mengadakan ajang perlombaan mengaji untuk para santri di sana, dan ini adalah kedua kali bagi Vanya melihat Akbar tampil di saat yang lalu cowok itu kalah. Tapi Vanya yakin jika hari ini Akbar pasti menang. Harus, Akbar harus menang! “Idzaa waqo’atil waaqi’ah.” Cewek itu melipat tangan ke atas permukaan pagar sedangkan dinding bawah menopang tubuh Vanya yang berdiri dengan kedua kaki menginjak sela-sela bolongan tembok. Fa-biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdzi ban, nikmat Tuhan yang mana lagi kamu dustakan? Mendengar suara Akbar ketika mengaji adalah nikmat terbesar dari Allah bagi Vanya. “Laysali waqo’atihaa kaadziba.” Akbar melantunkan surat Al-Waqiah dengan serius dan segenap jiwa. Membuat semua orang terenyuh mendengarnya sampai diakhir penampilan cowok tersebut. Beberapa kontestan yang lain pun mulai bergiliran maju dan selama satu jam setengah acara itu berlangsung. Nemplok kayak lalat ke tembok begini lama-kelamaan buat punggung Vanya encok. Apalagi selama satu minggu besok dia harus ekstra berlatih karena sebentar lagi tim cheers akan tampil di pertandingan basket antar sekolah. “Baiklah, setelah semua kontestan tampil, sekarang waktunya para juri memutuskan siapakah pemenang pada lomba membaca Al-Qur’an kali ini.” Mata Vanya berbinar mendengar ucapan host laki-laki di sana. Tibalah akhir penantian Vanya, hasil yang ia tunggu-tunggu akhirnya akan segera diumumkan. “Santri terbaik kita hari ini adalah...” Jantung Vanya berdegum kencang menyesuaikan iringan musik menegangkan yang diputar. “Johan Akbar Alfarizi!” “HOREE... AKBAR MENANG! Piuuw’iit...” Percayalah kalau suara teriakan Vanya saat ini jauh mengalahkan sound musik, pakai bersiul-siul pula. Antara tembok pembatas dan terop panggung hanya selisih lima langkah. So, kini semua orang bisa tahu ada seorang tamu yang tak diundang dalam acara tersebut. Vanya menutup mulut menggunakan sebelah tangan saat seluruh perhatian berpusat ke arahnya. Mampus, Vanya keceplosan! “Vanya?” Sepasang mata hitam Akbar menatap heran sosok Vanya yang hanya terlihat kepalanya saja menyembul dari balik pagar. “ARVANYA NEILAAA...” Tubuh Vanya mendadak limbung akibat suara menggelegar dari siapa lagi kalau bukan Pak Sodikin, satu-satunya guru pembimbing di pesantren yang mengenal Vanya sebab beliau juga mengajar sebagai guru Agama di SMA Nusa Bangsa. Brukkkk. “Adaw!” Vanya mengelus bokongnya yang jatuh lebih dulu ke tanah. Belum sampai semenit Pak Sodikin tiba-tiba sudah nongol di belakang Vanya. “Dasar anak bandel! Berkali-kali Bapak bilang jangan suka ngintipin Akbar di pesantren, kamu itu perempuan, nggak baik ngintilin anak laki-laki terus.” “...nggak baik ngintilin anak laki-laki terus.” Vanya memonyongkan bibir sambil menirukan gaya Pak Sodikin berbicara. Orang yang sering memergoki Vanya ketika diam-diam pergi ke pesantren adalah Pak Sodikin. Entah darimana pria paruh baya itu tahu aura kehadiran Vanya, yang jelas Pak Sodikin akan jadi orang pertama yang datang untuk mengusir Vanya dari sana. “Cinta itu harus diperjuangkan Pak.” Vanya balas membantah. Pak Sodikin melotot, murid perempuan yang satu ini memang paling kurang ajar. “Jangan main cinta-cintaan, nanti terluka.” Vanya terkekeh akibat ucapan Pak Sodikin yang malah terdengar seperti quote yang sering Vanya jumpai di feed **. Cewek itu memutar bola mata, “Yaelah Pak, kayak Bapak tahu aja masalah ABG.” Untuk ukuran guru setua Pak Sodikin mana tahu soal urusan anak muda dan Vanya jelas meragukan. Tapi meskipun begitu, Pak Sodikin bukan guru Agama yang kebanyakan bertipikal pendiam dan membosankan, Pak Sodikin berbeda. Guru Agama Vanya ini orangnya humoris, galak-galaknya itu bukannya buat anak-anak gentar justru malah bikin cengengesan. “Tua-tua gini Bapak itu pakar asmara loh. Dan lihat diri kamu,” Pak Sodikin menunjuk penampilan Vanya dari ujung rambut hingga ujung kaki,”...masa anak berandalan kayak kamu bisa dapetin Akbar.” Vanya terdiam sambil menunduk mengamati penampilannya. Benar juga sih apa kata Pak Sodikin, cowok baik-baik seperti Akbar mana pantas bersanding dengan cewek yang suka mengumbar aurat, ditambah lagi punya sifat urakan. Vanya tiba-tiba merasa dia dan Akbar tidak ada cocok-cocoknya sama sekali. Sejenak Vanya merasa rendah diri tetapi di beberapa detik selanjutnya wajah murung itu sudah kembali semringah. “Tapi Pak,” Vanya menyangkal antusias, “waktu di kelas Bapak pernah bilang, tidak ada yang tidak mungkin jika Allah menghendaki. Seperti kisah Maryam yang mengandung Nabi Isa, Nabi Ibrahim yang selamat dari bara api, atau mukjizat-mukjizat para Nabi yang tak masuk akal lainnya.” Pak Sodikin kehilangan kata-kata sementara Vanya tersenyum penuh kemenangan. “Jadi, saya pasti bisa dapetin Akbar.” Vanya mengucapkan kalimat itu bagai doa yang ia harap Tuhan mau mengabulkannya. Mengenai luka yang ditimbulkan itu memang risiko cinta. Kita tinggal di dunia yang tak hanya mengenal kebahagiaan, ada juga kehilangan atau kepedihan. Jadi jangan menginginkan kebahagiaan jika tidak ingin merasakan kepahitan. *** Pukul dua belas malam di Jalan Mampang, Jakarta Selatan, motor-motor terparkir tak beraturan di trotoar jalan sedangkan sekumpulan anak muda terlihat memenuhi pinggiran jalan sambil menonton aksi balap motor yang sebentar lagi hendak dimulai. Sebuah Kawasaki Ninja berwarna putih tiba-tiba saja bergabung ke garis start bersebelahan dengan motor CBR merah milik Alvaro Geraldi atau yang kerap disapa Gerald. “Wah, anak baru ya lo?” Gerald bertanya pada anggota baru yang memakai helm tertutup berwarna hitam. Gerald tersenyum miring melihat anggota baru itu merespon hanya berupa anggukan kepala. Tidak pernah ada yang sesantai ini menanggapi ucapan Gerald dan itu membuat Gerald agak sedikit tersinggung. “Betis seukuran sapu lidi kayak gitu nekad banget pakai motor gede. Kalau sampai terjadi apa-apa sama lo inget ya, di sini kita nggak nyediain UKS.” Lelucon Gerald mengundang tawa pembalap lainnya. Sedangkan anggota baru itu menurunkan ibu jarinya ke bawah, secara nonverbal mengatai Gerald loser. Tawa Gerald dan seluruh teman-temannya sontak meluruh. Sungguh, Gerald ingin tahu siapa orang dibalik helm hitam ini, siapapun dia yang pasti telah berhasil memancing keluar kemarahan Gerald. Tapi Gerald punya pertahanan diri yang tinggi, ia tidak langsung main pukul hanya karena marah pada seseorang. Gerald lebih suka menjatuhkan mereka dengan cara lain secara sehat, contohnya melakukan pertandingan, dan sekarang adalah saat yang tepat untuk melakukan pembalasan. Seorang cewek pembawa bendera melintas ke jalanan, menginterupsi seluruh perhatian agar berpaling ke sana. Bendera pertama dikobarkan, suara derum mesin sepeda motor mulai terdengar sahut-menyahut memekikkan telinga, disusul bendera kedua dan ketiga, semua motor peserta balapan akhirnya lepas landas meninggalkan garis start. Motor Gerald dan si anak baru beriringan di garis terdepan saling bersalip-salipan. Hampir tiba di garis finish, si anak baru menoleh dengan seringaian yang tak bisa Gerald lihat kemudian meng-gas motornya, menambah kecepatan hingga berhasil menjadi orang pertama yang melewati garis finish. Gerald memukul badan motornya karena kesal, tidak ada sejarah yang menuliskan bahwa dia akan kalah dan sekarang Gerald harus menulis ulang sejarahnya dengan menambahkan kata ‘selamanya’. Gerald tidak terkalahkan selamanya, ini lebih baik. Ketenangan Gerald lagi-lagi membuyar ketika melihat anak baru tadi melepas helm. Bukan hanya Gerald, tapi seluruh anak yang ada di sana melongo habis-habisan sewaktu mengetahui anak baru yang malam ini mengalahkan Gerald atau sang ketua geng motor adalah seorang cewek. “Rahma?” Gerald syok berat, cewek itu ternyata Rahma. Rahmania Putri Azzahra, teman dari masa kanak-kanak Gerald sampai sekarang. Katakan kalau Gerald tidak sedang bermimpi, ini mengejutkan! Rahma yang pendiam dan biasa dipanggil si kutu buku saat di sekolah bisa menaiki motor sport sebesar Kawasaki Ninja. Impossible, Gerald merasa ini memang sekadar mimpi. “Hai Ger,” sapa Rahma dengan pipi merona akibat malu menjadi pusat perhatian, tentu saja mereka pasti heran melihat dia di sini. Rahma juga tidak percaya pada dirinya sendiri yang nekad kabur dari rumah malam-malam begini hanya demi bertanding dengan Gerald. “Rahma! Kok lo bisa kemari sih?” Usai melepas helm, Gerald turun dari atas motor mendekati Rahma yang menyandar di jok motor. “Aku pengen ngerasain balap motor kayak kamu Ger.” Alasan yang dilontarkan Rahma membuat Gerald mengembuskan napas berat. “Ini bahaya Ra! Kalau sampai terjadi hal yang buruk sama lo gimana?” Rahma menggigit bibir menahan senyum, ini bukan pertama kali Gerald mencemaskannya tetapi tetap saja perasaan Rahma langsung melambung saat dipedulikan oleh cowok itu. Mengingat persahabatan mereka yang masih langgeng sampai sekarang, Rahma percaya kalau suatu saat nanti Gerald pasti juga jatuh cinta padanya seperti cerita di novel-novel yang sering Rahma baca. Tak peduli meskipun Rahma akan terus menjadi bahan bully penggemar Gerald karena kedekatan mereka yang membuat teman-teman iri. Asal Rahma bisa bersama Gerald, apapun akan Rahma terima walau dibenci satu anak sekolah sekaligus. Sebab ketika ada cinta, pasti juga ada luka dan ia siap untuk itu. “Woi! Malah ngelamun nih bocah.” Gerald berdecak pinggang dengan raut kesal. “Entar gue aduin ke Tante Ira mampus lo!” ancam Gerald dengan nada bercanda. “Aduin aja, terus nanti aku balik aduin kamu ke Om Gunawan. Kamu tahu sendiri kan, gimana reaksi papa kamu sampai dia tahu kalau anaknya masih suka balapan motor liar.” Rahma tersenyum menang sedangkan Gerald mendesis cemberut. Tidak lama setelah itu terdengar suara sirine mobil polisi. Keadaan seketika berubah kacau, anak-anak mulai menaiki motor masing-masing dan melengos pergi dengan panik, beberapa ada yang memilih berlari hingga jalanan penuh oleh lalu lalang orang. “Ger, kenapa semua pada kabur?” Rahma bertanya sambil menatap Gerald khawatir. Mengabaikan pertanyaan Rahma, Gerald mendadak menarik tangan cewek itu supaya naik ke boncengan motornya. “Terus motor kamu gimana? Ditinggalin gitu aja?” Rahma menepuk-nepuk pundak Gerald ketika cowok itu mengambil alih sepeda motor Rahma. Masih tidak mau menjawab, Gerald mulai meng-gas motor Rahma lalu meninggalkan kawasan Mampang menuju Pondok Indah, tempat mereka berdua tinggal. Rahma mengeratkan pegangan di bahu Gerald. Mungkin karena takut para polisi itu akan mengejar, Gerald berkendara dengan kecepatan maksimal sampai rasanya tubuh Rahma melayang. “Peluk gue Ra, lo bisa jatuh kalau pegangan kek’ begitu!” Rahma terkejut dan malu secara bersamaan mendengar perintah Gerald. Mereka telah berkali-kali boncengan tapi Rahma tidak pernah sekalipun memeluk cowok itu, dan sekarang Gerald menyuruhnya. Ya Tuhan... Rahma deg-degan ketika kedua tangannya sukses melingkari perut Gerald dari belakang. Jantung Rahma berdegup terlalu kencang hingga dia takut Gerald bisa merasakannya. Sensasi cinta sungguh luar biasa, persetan dengan cinta itu luka, lebih baik terluka daripada tak mengenal cinta. Dan Rahma tidak menyesal sedikit pun. “Nasib motor kamu gimana?” Rahma turun dari motor sambil bertanya ketika mereka telah sampai di depan gerbang rumah Rahma. “Biarin aja, gue kan kaya, nanti bisa beli lagi.” Gerald menjawab sombong sementara Rahma balas komentar, “Mentang-mentang udah punya usaha bengkel motor sendiri.” Gerald menaik-turunkan alis dibarengi senyuman tipis, “Iya dong.” “Yaudah sana pulang,” usir Rahma. “Oh ya jangan lupa, besok balikin tuh motor, itu punya papa aku.” Rahma kembali bicara mengingatkan. Gerald terkekeh, “Om Hardi kan jarang di rumah, kasih ke gue aja. Lumayan buat pamer ke temen-temen.” Papa Rahma merupakan seorang pebisnis yang sering bekerja luar kota. Namun Hardi tetap menjadi papa terbaik menurut Rahma karena kasih sayangnya yang tak pernah luntur demi membahagiakan keluarga. “Nggak boleh. Itu satu-satunya motor sport milik papa yang beli sama aku. Motor itu spesial,” ujar Rahma. Gerald menyipit genit, “Lebih spesial mana sama gue?” Pertanyaan Gerald membuat Rahma salting. Cewek itu terdiam akibat bingung ingin menjawab bagaimana. Mau jujur rasanya malu, tapi nggak jujur juga dosa. Rahma menguap lebar pura-pura mengantuk, akal-akalan yang sengaja dia lakukan untuk menghindari pertanyaan Gerald. “Ngantuk Ger. Aku masuk dulu ya,” pamit Rahma lalu tanpa aba-aba berlari membuka gerbang dan masuk ke sana. Setelah pintu gerbang kembali tertutup, Gerald menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir. Rahma tetap polos seperti dulu, sama sekali tidak berubah. Hanya sedikit bertambah manis. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD