Anam (Enam)

1832 Words
Seperti biasa, Alvin menepikan mobilnya di pinggir jalan berjarak sekitar 50 meter dari rumah Delisha. "Aku capek kita kayak gini terus, Kak. Mau sampai kapan kita menjalani hubungan backstreet ini?" ujar Delisha tiba-tiba. Alvin terkejut bukan main dengan pernyataan sekaligus pertanyaan yang dilontarkan oleh Delisha. Seharusnya Alvin yang mengatakan hal itu? Delisha yang selama ini memintanya untuk menyembunyikan kedekatan mereka dari kakak laki-laki Delisha. Selama tiga tahun, Alvin menjalani hubungan aneh seperti ini. Hubungan yang hampir tak terbaca oleh orang-orang terdekat mereka. Delisha bahkan tidak keberatan sama sekali ketika Alvin terlihat begitu alergi padanya dan menganggapnya sebagai virus yang harus dijauhi oleh Alvin saat berada di depan kakak laki-laki Delisha karena memang Delisha sendiri yang meminta Alvin agar bersikap seperti itu. Pada dasarnya Alvin bukan pria b******k yang suka menjalani hubungan layaknya pengecut ini. Namun biar bagaimanapun dia juga mempertaruhkan persahabatan yang ia jalani dengan Dastan--kakak laki-laki Delisha, yang telah terjalin selama belasan tahun. Dastan sudah pernah memperingatkan Alvin agar tidak menjalin hubungan lebih dari teman dengan Delisha. Peringatan itu juga berlaku untuk Fandi. Bukan karena Dastan tidak percaya sahabat-sahabatnya itu tidak bisa menjaga adiknya dengan baik, tapi Dastan hanya mencegah hal terburuk yang kemungkinan saja bisa terjadi jika Delisha menjalin hubungan dengan satu di antara kedua sahabatnya. Dan Alvin berusaha menghormati keputusan sahabatnya itu. Selama tiga tahun juga tak ada kata cinta yang pernah terucap dari keduanya dalam hubungan ini. Alvin dan Delisha hanya berbagi rasa rindu yang mereka sampaikan lewat kebersamaan dan penerimaan. Lagi-lagi Delisha tak pernah protes selama ini, apalagi menuntut Alvin mengungkapkan kata cinta itu untuknya. Yang dia pikirkan cukup Alvin ada untuknya, menerimanya dengan sepenuh hati dan selalu bisa membuatnya nyaman saja sudah cukup baginya. Itu juga yang ada di benak Alvin selama menjalin hubungan tanpa status dengan Delisha. Selama ini mereka berdua terlihat nyaman dengan semua kerumitan hubungan yang mereka jalani, lalu sekarang untuk apa harus ada protes dari salah satunya? "Kenapa? Kamu sudah bosan sama Kak Al, hemm? Kamu punya pacar? Bilang sama kak Al, siapa pacar kamu itu? Apa Regio itu pacar kamu sekarang?" cecar Alvin dengan wajah datar dan ekspresi yang tak terbaca. Alvin tidak ingin menyakiti hati Delisha. Sesungguhnya dia begitu menyayangi gadis cantik di sampingnya ini. Alvin tak bisa menampik jika rasa sayang yang dimilikinya terasa berbeda terhadap rasa sayang yang ia berikan untuk adik perempuannya. Entah sejak kapan perasaan ingin memiliki Delisha ini mulai tumbuh? Alvin lupa atau memang tidak pernah mau tahu. "Kalaupun iya, kak Al nggak berhak untuk mengatur dengan siapa Delisha boleh menjalin hubungan khusus. Memangnya kakak siapanya Delisha? Pacar bukan, suami apalagi." Alvin mulai geram, tangannya mengepal lalu memukul kemudi di hadapannya sekali. "Kamu maunya apa? Jangan bikin aku bingung, dong!" Rahang Alvin terlihat mengetat, emosinya mulai tersulut setelah kalimat yang Delisha lontarkan baru saja. Selama ini memang hanya Delisha yang mampu memancing reaksi orang dengan ekspresi datar seperti Alvin. Alvin bisa dengan mudah merangkai ekspresi wajahnya bila sedang bersama gadis itu. Betapa hebatnya gadis itu, meski usianya baru memasuki angka dua puluh tapi dia mampu membolak balikkan hati seorang Alvino. "Kak Al itu kurang peka tau nggak, sih! Udah ah, Delisha capek. Besok masih harus balik ke Bandung," ujar Delisha seraya melepas seatbelt-nya. "Dijemput jam berapa besok?" tanya Alvin. Kali ini nada suaranya lebih rendah dan tenang, seolah tidak terjadi keributan kecil di antara mereka sesaat yang lalu. "Nggak usah jemput, besok diantar Ayah, bye Kak." Delisha kemudian mencium sekilas pipi kiri Alvin. Alvin menahan lengan Delisha saat gadis itu hendak membuka pintu mobil. "Besok balik ke Bandung sama kakak aja ya," pintanya lembut. Ya, Delisha memang selalu bisa menguasai hati Alvin. Delisha menggeleng seraya menepis cekalan Alvin, "oya, aku dapat beasiswa S2 ke Jerman. Mau aku ambil aja. Setelah kak Dastan menikah, aku berangkat," ujar Delisha lalu keluar begitu saja dari mobil. Di tengah keterkejutannya, Alvin bergegas keluar dari mobil berusaha mengikuti Delisha. "Kok kamu nggak ngomongin sama aku dulu soal beasiswa itu?" Alvin mencekal lengan Delisha, tidak terlalu kuat tapi bisa menahan gadis itu supaya tidak melanjutkan langkah. "Buat apa? Kak Al udah nggak peduli lagi sama aku!" "Siapa yang nggak peduli? Kalo kak Al nggak peduli sama kamu, nggak akan kita bertahan sampai sejauh ini, Delisha. Apa perlu kak Al bilang sekarang sama kakak kamu soal hubungan kita?" Delisha menatap tidak suka pada Alvin. "Nggak usah macem-macem deh, Kak!" hardik Delisha dengan ancaman Alvin. Alvin tersenyum mengejek. "Kenapa? Kamu takut? Ayo kita bersama menghadap Dastan sekarang juga, lalu mengatakan hubungan kita yang sebenarnya sama dia." Alvin menarik lengan Delisha untuk kembali ke mobilnya. "Apa sih?! Aku capek, mau istirahat?!" bentak Delisha berusaha melepas cekalan Alvin di lengannya. "Sekali kamu lepasin aku, jangan berharap kamu bisa kembalikan semuanya seperti sedia kala," jawab Alvin dingin melepas lengan Delisha. Dari bibir Alvin sebuah kecupan mendarat di kening Delisha, kemudian laki-laki itu berlalu dari hadapan Delisha. Delisha hanya menatap kepergian Alvin dengan uraian air mata, sebelah tangannya menyentuh tepat di dadanya, memastikan jantung itu masih berdetak setelah mendengar ucapan akhir dari bibir Alvin. Alvin dan harga dirinya yang setinggi nirwana, tak akan pernah mampu Delisha pahami. *** *** Beberapa bulan kemudian... Hari Raya Idul Fitri tahun ini, Alvin terpaksa pulang kampung ke Solok, lebih tepatnya dipaksa. Keluarganya sudah tidak sabar lagi jika harus menuruti keinginan Alvin yang mulai tertebak alasan klisenya yaitu hanya untuk mengulur-ulur waktu soal perjodohan. Alvin juga sudah mulai bosan dan malas menghadapi mak angah yang sempat menguji kesabarannya. Nurahman bahkan sampai dirawat di rumah sakit karena darah tingginya kambuh, akibat memikirkan perjodohan kemenakan-nya. Bagaimana tidak dipikirkan, karena uang penjemputan yang diajukan Nurahman tanpa sepengetahuan Alvin kepada pihak keluarga Tun Razak jumlahnya telah disepakati, sedangkan Alvin masih saja tak ada niat untuk melanjutkan perjodohan itu. Mau ditaruh mana muka Nurahman jika saja perjodohan itu sampai batal. Alvin sendiri juga tidak ingin dianggap menjadi manusia yang tak tahu balas budi, karena biar bagaimanapun Nurahman lah yang telah mengantarkannya ke kehidupan yang layak seperti saat ini. Nurahman lah yang menyekolahkan dan memberikannya kehidupan semenjak orang tuanya meninggal dunia. Mungkin inilah saatnya bagi Alvin untuk membalas segala budi kepada mamak-nya itu. Ketika Alvin akhirnya mengatakan setuju untuk melanjutkan perjodohan, maka Nurahman langsung mengambil langkah secepat kilat untuk menyiapkan rangkaian acara selanjutnya. Namun lagi-lagi Alvin memberikan syarat yang membuat mamak-nya itu geram bukan kepalang. Karena Nurahman telah telanjur bahagia dengan keputusan Alvin, maka dia setuju-setuju saja dengan syarat yang diajukan oleh Alvin. *** Alvin sudah berada di Solok dua hari sebelum malam takbir, bersama Silvia juga. Mereka berdua menginjakkan kaki di Solok tepat saat azan Ashar berkumandang. Kali ini Alvin tidak menginap di rumah tungganai-nya, dia lebih memilih menginap di rumah mak oncu, mamak paling bungsu mandeh- nya yang merawat Silvia ketika orang tua mereka meninggal dunia. Mak oncu memiliki sifat lemah lembut, berbeda dengan saudara mandeh-nya yang lain. Bahkan termasuk mandeh Alvin sendiri yang terkenal sangat keras hati. Nurdin Chaniago namanya, tinggalnya di pusat kota Solok. Usia Alvin dan Nurdin juga tidak terpaut jauh, jadi jika mengobrol bisa dalam suasana lebih santai dan hal itu yang disukai oleh Alvin dari Nurdin. Setelah solat Magrib berjamaah, Alvin berbuka puasa bersama dengan keluarga Nurdin yang memiliki dua orang anak, perempuan dan laki-laki berusia dua belas dan lima tahun. Setelah itu lanjut sholat tarawih di surau milik keluarga istri mak oncu. Nurdin duduk di samping Alvin. "Ba'a karajo wa'ang, Vin? Lancar sae?" "Lancar oncu," jawab Alvin pelan. Nurdin mengangguk, lalu bertanya lagi. "Apo kini posisi ang di perusahaan tu?" "Manajer Produksi." Setelah jawaban terakhir dari Alvin, Nurdin tidak lagi bertanya-tanya soal pekerjaan Alvin. Dia lebih banyak bercerita tentang Alvin dan Silvia ketika kakak beradik itu masih kecil. Bagaimana seorang Alvin harus dituntut untuk bersikap dewasa sebelum waktunya. Silvia yang lemah dituntut harus lebih mandiri sebelum usianya. Namun keadaan menempa gadis itu tumbuh menjadi gadis tangguh dan dan mandiri, bahkan kelewat mandiri, seolah ia tak butuh siapa pun untuk menghadapi tiap persoalan dalam hidupnya. Banyak lagi seputar kehidupan Alvin dan Silvia yang membuat banyak orang nelangsa karena harus menjadi yatim piatu di usia yang masih sangat belia—Alvin berusia 15 tahun dan Silvia 11 tahun. Alvin sepertinya kurang tertarik membahas masa remajanya yang kurang menyenangkan. Dia lebih memilih topik obrolan ringan seputar hal lucu, yang bisa membuatnya tertawa, dari mulai tawa ringan hingga tawa terbahak. "Perempuan yang dipilih keluarga untuk kamu adalah perempuan baik-baik, Vino." Nurdin mulai membahas hal yang selalu Alvin ingin hindari. Mamaknya itu seolah tahu kegamangan yang mengganggu pikiran dan hati Alvin. "Tapi Vino nggak tahu dia seperti apa? Vino nggak yakin bisa menerima dia, begitu juga sebaliknya." Alvin masih bersikeras pada pendiriannya. Hening, tak ada lagi pembicaraan yang melibatkan keduanya. Nurdin tidak lagi melanjutkan obrolan soal perjodohan Alvin. Nurdin memilih untuk kembali ke rumahnya. Sedangkan Alvin masih tetap bertahan di surau. Laju pikiran Alvin terus berputar tak tentu arah. Poros pikirannya hanya berpusat di satu titik saja. Memikirkan apa keputusan yang ia ambil ini sudah tepat? Di sudut hatinya yang terdalam, sebenarnya ada perasaan lain yang mulai tumbuh untuk Delisha, gadis yang telah memberi warna baru di kehidupan Alvin beberapa tahun ini. Sayangnya Alvin tidak sanggup mencerna perasaannya sendiri terhadap Delisha. Kenapa perasaan ingin memiliki gadis itu justru muncul, di saat Delisha memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya ke luar negeri. Kenapa kegalauan ini harus muncul saat perjodohan sudah tidak bisa lagi ia cegah? Alvin semakin dilema dalam mengambil keputusan yang terbaik untuk kehidupan seumur hidupnya. Dia tidak ingin menyesal di kemudian hari jika mengambil keputusan yang salah. Meski gaya hidupnya cenderung liberal, tapi untuk menikah, Alvin punya prinsip khusus, 'kawin bisa berkali-kali, tapi hidup, mati, menikah dan jatuh cinta itu hanya sekali seumur hidup, ya kecuali ditinggal mati sama pasangan di usia masih sanggup untuk menikah lagi, nggak dosa kok nikah lagi'. Bila Alvin menerima perjodohan itu, dia yakin akan membuat perasaan Delisha terluka. Namun jika Alvin menolak perjodohan itu, dia tidak hanya akan melukai perasaan perempuan yang dia tolak, tapi juga melukai perasaan keluarga besar kedua belah pihak. Alvin merasakan dilema besar sedang menggelayuti pikirannya. Harus memilih di antara dua pilihan penting adalah hal paling sulit bagi semua orang, tak terkecuali Alvin. Menarik udara sebanyaknya karena dadanya terasa sesak, Alvin menatap langit kelam bertabur bintang yang gemerlap. Hanya bulan yang menjadi pedoman saat ini terhadap keputusan terbesar dalam hidupnya. Alvin mencoba menunjuk sebuah bintang sebagai pedoman lain langkahnya. Laki-laki yang usianya sudah memasuki angka 30 itu mencoba menjabat hatinya sendiri, mengajaknya turut serta untuk menemani Alvin yang diselimuti rasa gelisah. Hatinya mencoba mengukir sebuah wajah baik dan buruk yang ia rangkai sebagai gambaran perempuan yang hendak dijodohkan dengannya. Namun dari hasil karya di pikirannya, yang muncul hanya sebuah warna hitam dan putih tak kasat mata, yang terbias tetaplah sebuah warna syahdu. Alvin sama sekali tak bisa menggambarkan seperti apa sosok perempuan itu. Salah sendiri, gengsinya terlalu tinggi untuk sekadar bertanya pada mak angah, ataupun saudara lain yang tahu ciri-ciri perempuan itu. Saat Alvin dan hatinya sudah tidak sanggup lagi menggambarkan sosok itu, ternyata hari sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia memutuskan untuk kembali ke rumah Nurdin dan menyegerakan diri untuk mengistirahatkan hati dan tubuhnya.  ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD