Lapan (Delapan)

2162 Words
Untukmu sebuah hati yang belum mampu kujanjikan apa-apa -Alvino- ~~~~~ Setelah melaksanakan sholat ied di masjid besar, keluarga Alvin akan mengunjungi rumah calon wanita yang akan dijodohkan dengannya. Anggota keluarga yang akan ikut serta sudah mulai berkumpul di rumah Haji Syarif. Namun hingga hari sudah berada di pukul sepuluh pagi, Alvin belum muncul di beranda rumah tempat para mamak-nya sudah bersiap menunggunya. Silvia mengetuk pelan pintu kamar tempat Alvin biasa menginap di rumah gadang tungganai-nya. Gadis itu melihat abangnya ternyata sudah siap dengan kemeja batik tenun lengan panjang dipadukan dengan celana bahan warna hitam lengkap dengan kopyah hitamnya. Wajahnya sudah bersih, bulu-bulu halus di sekitar rahang yang biasanya ia biarkan tumbuh telah dicukur hingga mulus. "Udahan bang ngerokoknya, baju abang tar bau rokok, loh," tegur Silvia saat melihat abangnya itu masih mengapit puntung rokok di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Alvin mendengkus mendengar omelan Silvia. Namun akhirnya dia menurut lalu menekan puntung rokoknya ke asbak kayu berbentuk bulat. Silvia mendekati Alvin. "Kalau abang nggak siap, kenapa abang iya-in perjodohan ini?" tanya Silvia dengan sabar. "Abang nggak mau dibilang anak nggak tahu balas budi, Via," jawab Alvin setengah frustrasi. "Kata etek Nia, perempuan yang hendak dijodohkan dengan abang tuh perempuan baik, sholehah dan berpendidikan, cantik juga pastinya, apa lagi yang Abang ragukan?" Silvia berusaha meyakinkan abangnya ini. "Tapi dia janda." Alvin meringis sendiri setelah mengatakan hal itu pada Silvia. Rahang Alvin mengeras seketika. Seolah dia marah pada dirinya sendiri karena melontarkan kata itu tanpa dipikir panjang. Alvin sama sekali tidak bermaksud merendahkan, tetapi ia justru sedang mengasihani dirinya sendiri. Semesta seperti sedang menghukumnya. Alvin seolah melihat balasan Tuhan secara langsung atas gaya hidup bebas yang pernah dianutnya dulu. Meski tidak separah Dastan dan Fandi, tapi Alvin juga tidak jarang menghabiskan malam Sabtu atau malam minggunya untuk segala hal berbau dunia gemerlap. Dia juga mengonsumsi alkohol dari kadar sedang hingga yang mampu membuatnya teler dengan sekali meneguk minuman itu. Bahkan Alvin pun pernah juga beberapa kali melakukan one night stand dengan perempuan random yang ia temui ketika clubbing bersama teman-temannya, dulu. Kini Alvin begitu ingin menghujat Sang Penguasa Semesta. Mengapa Dastan yang hampir sama bejatnya dengan dia bahkan bisa dibilang Dastan itu lebih parah. Sholat Jumat saja belum tentu sebulan sekali, puasa hanya di awal dan akhir bulan Ramadhan, sholat lima waktu hanya menjadi satu waktu yang ia kerjakan jika ingin saja, malah Alvin dan Fandi menyebut Dastan itu atheis. Namun laki-laki itu bisa berjodoh dan menikah dengan 'gadis', bukan mendapatkan janda seperti yang akan terjadi pada dirinya. Silvia menepuk pundak abangnya beberapa kali. "Janda ataupun gadis, derajatnya sama di mata Allah, Bang. Yang membedakan tuh ibadah dan kelakuannya. Dia memang janda, tapi usianya masih muda, kok. Menjadi janda pun karena suaminya meninggal dan dia menjanda sudah lima tahun, Bang. Bayangkan! Dia rela menjalani waktu selama itu dengan menyandang status janda di usia yang terbilang belia. Bukankah berarti bisa dibilang dia perempuan yang nggak kegatelan dan tipekal wanita setia, Bang? Via rasa, abang nggak punya alasan kuat untuk men-judge statusnya itu. Via tahu, pilihan mak angah tidak akan salah." Kali ini kesabaran Silvia sudah mencapai batasnya. Dia memilih keluar dari kamar meninggalkan Alvin seorang diri. Meresapi kembali apa yang adiknya itu ucapkan. Seharusnya Alvin tidak menyinggung hal seperti ini di depan adiknya. Silvia pasti merasa tersinggung saat ini. Selain karena dia adalah seorang perempuan juga, Silvia itu memiliki perasaan yang terlalu sensitif. Dari tatapan matanya tadi ketika berbicara seolah tersirat ucapan 'Bagaimana jika Via yang janda, lalu ada pria yang nge-judge Via seperti abang saat ini? Apa abang marah? Apa abang akan terima?' "s**t!!!" Alvin menggeleng dengan kuat, bergegas menuju beranda dan memasuki mobil milik Nurdin. Semua orang menatap aneh kepadanya, tapi Alvin tidak peduli. Yang dia inginkan saat ini hanyalah segera melewati hari ini. Alvin tentu tidak ingin adiknya diperlakukan tidak hormat dan dijatuhkan martabatnya di kemudian hari, jika Alvin berbuat sesuatu yang buruk di hari ini. Karena Alvin yakin akan satu hal, tidak selamanya karma berlaku kepada dirinya sendiri, terkadang bisa saja menimpa orang terdekat yang harus menanggung karma dari perbuatannya di masa lampau. Dan Alvin tidak ingin itu terjadi jika ia sampai mempermalukan keluarga calon perempuan itu, terlebih menjatuhkan harga diri perempuan yang sama sekali tidak ia kenalnya. Tentu Alvin tidak sebejat itu. *** Tidak terlalu banyak rombongan yang turut serta, karena ini hanyalah acara penjajakan bukan acara maminang. Namun dari acara inilah nantinya yang akan menghasilkan keputusan-keputusan penting untuk keberlangsungan perjodohan ini. Rombongan pemuda itu memasuki pekarangan luas rumah orang tua Meidina. Terdiri dari dua mobil Innova dan satu mobil Xenia yang terisi penuh penumpangnya. Pemuda itu turun dari mobil dan melangkah menyusul para mamak-nya yang sudah terlebih dahulu memasuki rumah. Setelah diperkenankan masuk oleh wakil dari pemilik rumah, semua tamu dipersilakan duduk di tempat terpisah antara rombongan perempuan dan laki-laki. Pemuda itu berada di ruang tamu, bagian terdepan rumah ini bersama para lelaki lain kerabat terdekatnya. Seorang anak perempuan berusia sekitar 16 tahun memasuki kamar Meidina dengan napas tersengal, karena berlarian dari halaman depan dan naik ke lantai dua tempat kamar Meidina berada. "Uniii ..." seru anak perempuan itu sambil mencengkeram lengan Meidina. "*Apo Sarah? Takajuik Uni," jawab Meidina kesal pada tingkah laku adik sepupunya itu. "*Marapulai alah tibo. Onde mandeh tampan bana, mirip aktor film action, badannyo tinggi tagap, hiduangnyo mancuang, halisnyo taba nan hitam, rahangnyo kokoh, kulitnyo sawo matang, tatapannyo tajam. Cowok banget, kecek anak mudo zaman sakarang." Meidina terbahak mendengar rentetan kalimat Sarah yang terdengar hiperbola menurutnya. Mana ada aktor film yang sudi melamar janda seperti dirinya? Begitu pikir Meidina. Sebuah timpukan bantal mengenai tepat di wajah Sarah. "Kalau uni nggak mau, buat Sarah sajo ya Ni," Lagi-lagi Meidina menimpuk kepala Sarah, kali ini dengan guling. Dari kamar Meidina ini, dia tidak bisa melihat seperti apa sosok pemuda itu, bahkan bayangannya pun tidak nampak. Sedangkan ia tidak diperkenankan sedikit pun untuk keluar kamar sebelum acara maminang diadakan. Setelah menunggu hampir satu setengah jam, pintu kamarnya diketuk pelan sebanyak tiga kali. Jantung Meidina seperti berhenti berdetak, tubuhnya menegang. Ketukan ini sangat asing di telinganya. Pelan tapi pasti, itu yang bisa Meidina nilai dari pendengarannya. "Assalamualaikum," ujar orang yang mengetuk pintu kamar Meidina tadi dengan suara beratnya. "Walaikumsalam," jawab Meidina dengan suara cukup tenang setelah mengambil satu tarikan napas. "Perkenalkan, nama saya Alvino. Bolehkah saya tahu nama perempuan di balik pintu ini?" Meidina gemetar setengah mati mendengar kalimat lebih panjang dari pemuda yang kini ia tahu bernama Alvino itu. Meidina terus saja menggigiti bibir bawahnya karena gusar. Sarah memberikan satu pelototan karena Meidina tak juga menjawab pertanyaan pemuda itu. *** Di depan pintu kamar perempuan yang hendak dijodohkan dengannya, Alvin masih dengan sabar menanti jawaban dari perempuan itu. Tungkai kakinya sudah mulai pegal karena kelamaan berdiri, tapi akhirnya rasa pegal itu lenyap bersama jawaban yang disampaikan perempuan itu dengan suara yang lembut dan menenangkan. "Nama saya Meidina Az Zahra. Uda bisa panggil saya, Mei," jawab perempuan yang kini Alvin tahu bernama Meidina itu. Jantung Alvin berdenyut seperti mendapat cubitan kuat, tapi tidak terasa sakit. Dia merasa seolah tidak asing dengan nama itu. Namun kemudian dia tidak begitu memikirkan soal nama itu. Yang harus ia pikirkan adalah pertanyaan yang akan ia ajukan sesaat lagi. Alvin mengatur detak jantungnya, mengucapkan mantra khusus agar membuatnya tenang dan lancar saat menyampaikan pertanyaan penting kepada Meidina, calon mempelai wanitanya ini. "Saya minta maaf karena membiarkan Mei menunggu seperti ini, maaf juga telah lancang mengganggu kehidupan Mei karena perjodohan ini. Jujur, saya juga merasa terganggu. Tapi saya berpikir ulang, tidak ada yang salah dari sebuah perjodohan. Yang salah adalah cara kita memandang perjodohan itu," ucap Alvin dengan suara tenang. "Di sini saya berada sekarang, bukan lagi datang sebagai seorang laki-laki yang terjebak karena perjodohan, tapi saya di sini datang sebagai laki-laki yang ingin menyempurnakan ibadahnya dan ingin bertanya satu hal penting kepada Mei." Alvin mengucapkan serentetan kalimat panjang itu dengan tenang dan pasti, terkesan tak ada beban sama sekali di hatinya. Perasaannya menjadi sangat ringan seketika itu juga. Sepertinya keputusannya sudah semakin bulat untuk melanjutkan perjodohan ini. Dia tidak lagi peduli terhadap perasaan lain yang mulai tumbuh untuk Delisha. Toh, Delisha sudah memutuskan untuk pergi jauh dari kehidupannya, jadi untuk apa lagi Alvin mengharapkannya. Itulah pikiran sederhana seorang Alvin. Dia tidak suka hal yang terlalu rumit. Buat apa dibikin rumit kalau pada akhirnya malah membuat sulit. "Maukah Mei melanjutkan perjodohan ini? Jika nantinya perjodohan ini akan berakhir pada pernikahan, sudikah Mei mendampingi hidup saya, menghabiskan sisa usia kita hingga kelak kita menua bersama dan hanya maut yang akan memisahkan?" Itulah keputusan akhir Alvin. Meidina seketika itu juga menitikkan air matanya. Tubuhnya terhuyung di lantai dengan punggung menyandar di pintu. Kalimat Alvin bisa mengenai tepat di hati Meidina. Lidah Meidina menjadi kelu seketika. Hening beberapa saat. Alvin kembali merasakan lelah di kedua tungkai kakinya yang telah digunakan untuk berdiri selama hampir lima belas menit. Dia kemudian duduk dengan menyandarkan punggungnya ke pintu, menekuk sebelah kakinya, sedangkan kaki yang lainnya ia selonjorkan. "Mei punya hak untuk menolak jika keberatan dengan perjodohan ini," ujar Alvin setelah duduk. Sepuluh menit kemudian, Alvin beranjak dari duduknya dan mengetuk kembali pintu kamar Meidina. Dia mulai tidak sabar. "Kamu masih di dalam 'kan, Mei? Tolong jangan diam saja, kasih saya jawaban. Saya rela ditolak asal penolakan itu berasal dari mulutmu sendiri, bukan saya dengar dari orang lain," ujar Alvin lagi karena Meidina masih juga tidak memberinya jawaban. Ini sudah menit ke-25 mereka berada di posisi seperti ini. Seluruh keluarga mulai gusar menanti jawaban Meidina. Mereka yang hadir memang masih duduk di posisi masing-masing, tidak berniat sedikit pun untuk ikut campur urusan kedua calon mempelai yang saat ini sedang sibuk berdebat dengan hati kecil masing-masing. Meidina mengucapkan basmallah dalam hatinya, lalu menarik napas panjang sebelum akhirnya mengucapkan jawaban atas pertanyaan yang diajukan Alvin beberapa menit yang lalu. "Iya, Mei bersedia melanjutkan perjodohan ini dengan tiga syarat yang harus kamu penuhi," ucap Meidina pasti. "Apa syarat kamu? Katakan saja. Jika saya sanggup, akan saya berikan. Jika tidak bisa, saya yang akan mundur dari perjodohan ini." Terdengar Meidina kembali menghela napas lega. Entahlah, mengapa dia merasa lega saja hanya karena ternyata Alvino tidak marah ataupun mencela Meidina atas syarat yang diajukannya. Meidina berdeham kemudian melanjutkan ucapannya. "Syarat yang pertama, meski sama-sama tinggal di Jakarta, saya minta jangan pernah sekalipun kamu mencoba untuk mencari tahu siapa saya, apalagi menemui saya sebelum acara maminang dilaksanakan, kita akan saling bertemu saat acara maminang saja. Kedua, saya punya pekerjaan, tolong jangan pernah melarang saya untuk melakukan pekerjaan saya jika kita menikah nanti. Ketiga, selama kita nantinya terikat sebagai suami istri, saya tidak mau ada perempuan lain selain saya di dalam rumah tangga kita, saya tidak sudi dimadu dengan alasan apa pun." Begitulah, Meidina mengungkapkan syarat-syarat yang harus Alvin penuhi. Ganti Alvin yang bernapas lega, karena syarat yang Meidina ajukan ternyata bukanlah dalam bentuk barang dan kendaraan mewah. Kalaupun itu yang Meidina minta, Alvin akan berusaha memenuhi asal masuk akal saja. Jika seandainya tadi Meidina meminta dibelikan pesawat atau jet pribadi, lebih baik Alvin mencari perempuan lain saja daripada harus memenuhi permintaan konyol seperti itu. "Yang pertama, saya tidak akan mencari tahu apalagi menemui kamu. Yang kedua, selama pekerjaan kamu tidak mengganggu kewajibanmu sebagai seorang istri dan tidak menyimpang dari syariat agama, saya tidak akan melarangnya. Yang ketiga, perempuan lain yang bagaimana yang kamu maksud? Adik saya perempuan, dan tidak menutup kemungkinan dia akan tetap berada di bawah pengawasan saya sepenuhnya selagi dia belum menikah. Kalau yang kamu maksud adalah wanita idaman lain, Insha Allah tidak akan ada. Adik saya perempuan, saya tidak terima dia diduakan oleh lelaki mana pun, maka dari itu saya tidak akan menduakan siapa pun wanita yang kelak akan menjadi istri saya." Ada senyum terukir di wajah Meidina mendengar jawaban dari Alvin. Hatinya menghangat seketika. "Itu saja, Mei?" tanya Alvin sekali lagi. "Iya, itu saja." Meidina menjawab pertanyaan Alvin dengan sambil menahan senyum. "Ya sudah kalau gitu, saya pamit dulu. Sampai ketemu di acara maminang. Jaga diri kamu baik-baik," ujar Alvin lalu melangkah meninggalkan pintu kamar Meidina dengan senyum mengembang di wajahnya. "Alvino ...," untuk yang pertama kalinya Meidina menyebut nama Alvin dari balik pintu. Alvin bisa mendengarnya dengan sangat baik, karena memang dia belum terlalu jauh melangkah dari tempatnya berdiri tadi. Alvin memutar tubuhnya dan melangkah mendekati pintu kamar Meidina lagi. "Apa lagi, Mei?" "Jaga hati kamu ya, untuk saya." "Iya, kamu juga." Kedua insan yang tidak pernah saling mengenal itu seolah sedang mengikat janji untuk saling setia. Meski jawaban Alvin cukup singkat, begitu saja sudah bisa membuat darah Meidina kembali berdesir melewati vena dan arterinya. Alvin sudah duduk kembali di tempatnya semula. Dia kemudian menyampaikan jawaban Meidina secara lirih kepada mak angah, lalu Nurahman menyampaikan kepada datuak yang telah ditunjuk sebagai wakil dari keluarga mempelai pria, untuk menyampaikan jawaban mempelai wanita serta menyampaikan bahwa setelah ini akan diadakan acara maminang. Jika tidak ada halangan acara lamaran akan diadakan di bulan besar, bertepatan dengan lebaran haji atau Idul Adha, sekitar kurang lebih dua bulan yang akan datang. Seluruh keluarga yang hadir sepakat. Acara maresek pun diakhiri dengan penyampaian *petatat-petitih oleh datuak dari pihak keluarga calon mempelai perempuan. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD