"Abang...!"
Jesline yang membuka pintu kamar Julian melongo. Gadis berambut brown berdiri di ambang pintu dengan bibir mengerucut kesal. Pantas saja Abangnya terlambat bangun lagi. Ternyata Sky menginap di sini.
Memutar bola mata jengah, Jesline kembali menutup pintu kamar Julian. Membiarkan kedua orang yang masih terlelap itu dengan perasaan dongkol. Dan berlalu dengan gerutuan-gerutuan tak jelas.
Julian membuka mata. Sebenarnya ia sudah bangun dari tadi, tapi tetap tak beranjak pada posisi semula. Ia tak ingin membangunkan Sky. Mengamati Sky saat tidur adalah hobinya sejak dulu. Sayang tadi Jesline mengganggu hobinya itu. Beruntung tadi ia mendengar suara langkah kaki yang mendekati kamarnya. Cepat-cepat Julian memejamkan mata, berpura-pura masih tidur. Agar adiknya yang cerewet segera berlalu. Beruntung juga gadisnya masih nyenyak, tidak terganggu dengan suara cempreng Jesline yang sungguh sangat menyakiti indra pendengaran.
Julian kembali mengamati Sky yang masih tertidur. Jari-jari besarnya mengusap pipi chubby itu lembut. Merayap ke bibir pink alami gadis yang pulas itu. Julian tertegun. Entah sudah berapa kali ia mencium bibir Sky tapi rasanya tak pernah bosan ia mencecap rasa manis dari bibir mungil gadisnya.
Julian mendekatkan wajah, menempelkan bibir mereka. Perlahan mulai melumat bibir pink itu lembut. Sangat lembut, khawatir akan membangunkan Sky. Tapi kelembutan itu tak bertahan lama. Lumatan lembut berubah menjadi hisapan menuntut dan penuh nafsu.
Sky menggeliat. Terganggu dengan pasokan oksigen ke paru-paru yang berkurang. Erangan lirih keluar dari mulutnya yang diinvasi Julian.
Julian terdiam. Seketika menyadari perbuatannya, pemuda itu mengakhiri ciuman panas sepihaknya.
Damn, July! What you did, asshole? Trying to be bastard, eh? Fvck!
Julian menyesali perbuatannya barusan. Memeluk Sky erat, Julian menenggelamkan wajah di ceruk leher gadisnya yang kembali terlelap.
"I'm sorry, baby. I lost control," bisiknya sambil mengecup pucuk kepala bersurai pirang itu berulang-ulang.
***
"Bang July belum bangun?" tanya Sandra begitu Jesline memasuki ruang makan.
Jesline cemberut. Menarik kursi untuk duduk. "Belum," jawabnya dengan wajah menekuk.
Gadis itu mengembuskan napas kesal. Membuat Mommy yang sedang menyiapkan sarapan menatapnya.
"Pagi-pagi cemberut. Jelek ah!" Senyum manis terpatri di bibir Ibu tiga orang anak itu. "Bang July nggak mau bangun ya?" tanya Sandra lagi menyelidik.
Jesline menggeleng. "Sky nginap di tempat Abang."
Sandra mendesah. Entah sudah berapa kali dia memperingatkan Julian agar tidak mengajak Sky tidur di kamarnya. Meskipun dia percaya pada putra keduanya itu, tapi tetap saja dia was-was. Bagaimana kalau Julian tidak dapat mengendalikan diri? Sebagai seorang Ibu, dia mengenal ketiga anak-anaknya. Dan Julian mempunyai reputasi yang tak kalah buruk dari adiknya, Bara. Sepertinya dia harus menegur Julian lagi.
"Ya udah, biar Mommy yang bangunin Bang July." Sandra tersenyum. "Jes bantu Omy siapin sarapan ya?"
Jesline mengangguk kemudian beranjak dari kursi. Membantu menyusun piring untuk sarapan mereka.
Sandra menaiki tangga, mempercepat langkah begitu hampir mencapai kamar putra keduanya. Mengetuk pintu kamar pelan, Sandra menemukan Julian tengah duduk di tempat tidur sambil mengucek mata. Julian meletakkan telunjuk di bibir begitu melihatnya. Meminta untuk tidak berisik, agar gadis mungil yang masih terlelap di sebelahnya tidak terganggu. Sandra menggeleng, melangkah menuju tempat tidur putranya.
"Udah pagi, Sayang." Sandra mengusap lembut rambut hitam Julian. "Mandi sana."
"Jangan berisik, Mom, please," pinta Julian setengah berbisik. "Calon mantu Mommy masih tidur."
Sandra tersenyum. "Sky juga harus sekolah lho."
"Biarin aja dia bolos hari ini," sahut Julian.
Dengan malas Julian beranjak dari tempat tidur dan menyeret kaki panjangnya menuju kamar mandi. Masih sempat didengarnya suara Mommy yang membangunkan Sky sebelum dia menutup pintu kamar mandi.
***
"Good morning, my future wife!"
Jesline berekspresi seolah ingin muntah mendengarnya. Sementara Sky celingukan, mencari istri masa depan yang dimaksud Edo.
"Edo udah nikah ya?" tanya Sky polos. Wajah cantiknya menunjukkan kebingungan.
Alis Edo mengerut bingung, begitu juga Jesline.
"Lu udah nikah, Do?" Jesline ikutan bertanya bingung.
"k*****t! Ya belum lah!" Edo mendengus gusar.
"Tapi tadi kan Edo bilang istri." Sky mengerjap melihat Edo yang tampak gusar.
Jesline langsung terbahak. Sky yang polos tidak menyadari kalau istri masa depan yang dimaksud Edo adalah dirinya. Gadis itu malah mengira kalau Edo sudah menikah. Jesline memukul-mukul bahu Edo pelan. Dia perlu menyalurkan emosinya yang terombang-ambing karena kepolosan sahabatnya.
Sementara Edo hanya mesem. Tangannya mengusap tengkuk berulang kali. Bingung dengan tingkat kepolosan Sky yang diatas rata-rata.
"Sky, baby, kan aku nikahnya ntar sama kamu. Jadi kamu dong istri masa depan aku," jelas Edo dengan senyum lima jari.
Sky kembali mengerjap beberapa kali. Berusaha mencerna perkataan Edo. Dia istri masa depan Edo? Masa sih? Dari mana Edo tahu? Apa Edo peramal? Tapi kan nanti dia akan menikah dengan Julian bukan dengan Edo.
"Halu mu, Nak!" Jesline menoyor kepala Edo gemas. "Ngayal aja terus sampe lu jadi opa-opa."
"Oppa-oppa? Keren dong gue." Edo menaik-turunkan alisnya, berpose ala model majalah remaja.
"Najis!" Jesline bergidik. "Selain tukang ngayal lu juga congek ya. Bersihin tu kuping!" Jesline berkacak pinggang. "Yang bilang lu keren siapa? Lagian sejak kapan lu mirip oppa-oppa Korea? Gue bilang opa, kakek, grandpa. Bukan oppa!"
"Tapi Edo emang keren kok, Jes."
Cepat Jesline memalingkan wajah ke kiri menatap Sky yang sedang membalas senyuman Edo.
"Oh em ji ,Skyla Smith! Mata kamu dimana?" Jesline berkacak pinggang.
Sky mengerjap bingung. Kenapa Jesline bertanya seperti itu? pikirnya. Jelas-jelas matanya berada di depan kepalanya, beserta indra-indra yang lain. Apa Jesline tidak melihat matanya? Atau matanya tidak nampak? Sky meraba indra penglihatannya. Napas lega keluar dari mulut mungilnya setelah mengetahui kalau matanya tetap berada di tempat dan masih terlihat.
"Ngapain?" Alis tebal Jesline berkerut. Gadis berambut brown itu bingung melihat tingkah sahabatnya.
Sky tersenyum manis. "Meriksa mata aku."
Bukan cuma Jesline yang mengerutkan kening, tapi Edo juga. Sky meriksa mata? tanyanya dalam hati. Memangnya ada apa dengan mata Sky? Tidak ada yang aneh menurut Edo. Tetap indah seperti biasa.
"Kan tadi Jesline nanya dimana mata aku..."
Jesline mengangguk.
"Makanya aku raba mata. Takutnya mata aku hilang, ternyata nggak. Mata aku masih ada. Atau Jesline nggak liat mata aku ya?" Sky memonyongkan bibirnya ke kanan, berpikir. Kemudian membelalakkan mata birunya pada Jesline. Menunjukkan kalau matanya memang masih berada di tempat semestinya.
Tawa Edo langsung pecah. Pemuda enam belas tahun itu bahkan sampai memegangi perutnya.
"Nih liat Jes, mata Sky ada kok. Ya kan, baby?"
Sky mengangguk, tersenyum lega karena ternyata Edo melihat matanya.
Sementara Jesline cemberut. Kesal dengan kepolosan Sky yang sudah memasuki tingkat akut. Salahnya juga sih bertanya seperti itu. Padahal kan dia sudah tahu sejak dulu kalau otak Sky memang sepolos bayi dua tahun. Salahkan Bang July yang selalu menjaga kepolosan Sky, juga Mommy dan Bang Juan. Jesline menghentakkan kaki sebelum meninggalkan tempat itu. Tak sadar dia sudah membiarkan sahabat sejak di kandungannya bersama salah satu predator sekolah.
"Jesline kenapa ya, Do? Kok kayak yang marah gitu?" tanya Sky bingung. Gadis itu memiringkan kepalanya berpikir, sekalian mengikuti langkah Jesline.
Edo mengangkat bahu. "Dia lagi pms kali, baby," ucapnya asal.
Sky menatap Edo sekilas kemudian kembali menatap punggung Jesline yang semakin lama semakin mengecil.
"Edo, aku ke kelas dulu ya?"
Edo mengangguk. Ia juga harus segera ke kelasnya. "Sampai nanti pas istirahat ya, baby."
Sky mengangguk sebelum memutar tubuh dan berlari mengejar Jesline yang sudah menghilang di tikungan.