Sambil menggerutu tak jelas, Jesline berjalan dengan menghentakkan kaki menuju apartemen Pamannya di lantai sepuluh. Gadis itu cemberut, kesal dengan perlakuan Abangnya padanya.
Julian menurunkan Jesline tepat di depan gedung apartemen Om Bara, Paman mereka. Karena dia ingin kencan dengan Sky. Nasib jomblo. Jesline mendengus kasar mengingatnya.
Jesline mengetuk pelan pintu apartemen itu. Tak ada jawaban. Apa Om Bara sedang tidak ada? Jesline mukul kepalanya pelan. Bagaimana dia pulang nanti? Salah Julian yang menurunkannya disini tanpa memberitahu Om Bara terlebih dahulu. Kaki Jesline kembali menghentak kesal. Didorongnya pintu apartemen itu. Dan terbuka.
Jesline melongo. Berarti Om Bara ada di dalam dong. Dengan senyum manis yang tersungging di bibir mungilnya, Jesline memasuki apartemen.
"Oom, Jesline coming!" teriaknya dari ruang tamu.
Hening. Nyaris tak terdengar apa pun. Kecuali suara samar yang sepertinya berasal dari lantai dua. Jesline melangkahkan kakinya menaiki tangga. Suara samar itu semakin terdengar keras. Dan mirip suara desahan. Jesline mengernyit, ada apa dengan Om-nya? Kenapa Om Bara mendesah? Apakah sudah terjadi sesuatu pada Om Bara?
Jesline makin menajamkan pendengaran. Suara desahan itu bukan cuma berasal dari satu orang melainkan dari dua orang. Berarti Om Bara tak sendiri. Dan sepertinya suara satunya suara perempuan.
Suara desahan itu makin terdengar keras ketika Jesline makin mendekati kamar dengan pintu yang tidak tertutup rapat. Penasaran, Jesline membuka pintu lebih lebar. Jesline memiringkan kepala melihat pemandangan di depannya. Om Bara yang full naked berada di atas seorang perempuan yang juga sama telanjang seperti Om-nya. Sepertinya dia kenal siapa perempuan itu. Dia Tante Diana, kekasih Om Bara. Mereka sedang apa? Kenapa telanjang? Otak polos Jesline berkeliaran mencari jawaban.
"Om ngapain?" tanya Jesline masih dengan memiringkan kepala. Bukan mengintip tapi sedang berpikir. "Kok telanjang?"
Bara menoleh dan terkejut melihat keponakannya berdiri di ambang pintu kamarnya yang terbuka lebar.
"Fvck!"
Makian itu membuat Jesline tersentak. Gadis itu mundur selangkah.
Segera Bara turun dari tubuh wanita di bawahnya. Menyambar selimut untuk menutupi tubuh polosnya dan menghampiri Jesline yang masih mengenakan seragam sekolah lengkap.
"Kok kesini nggak bilang-bilang Om dulu, Jes?" tanya Bara mengusap sayang rambut Jesline. Membawa gadis belia itu menjauh dari area kamar, turun ke lantai dasar. "Kan Om bisa siap-siap."
"Siap-siap?" ulang Jesline bingung. "Siap-siap buat apa, Om?"
Wahh Bara kelimpungan. Otak cerdasnya tiba-tiba saja menjadi tumpul. Dipikirannya sekarang adalah mencari jawaban yang akan bisa dengan mudah dipahami oleh Jesline yang polos. Dia tidak boleh mengotori otak keponakannya. Bisa-bisa Sandra membunuhnya kalau tahu anaknya sudah melihat pemandangan yang iya-iya. Masalah Diana, dia tidak peduli. Wanita itu sudah dewasa dan pasti paham apa yang harus dilakukan.
"Maksud Om gini..." Bara mengusap tengkuk, membetulkan selimut yang hampir melorot. "Kan Om bisa siapin makan siang buat kamu kalo kamu bilang mau mampir. Atau pas Om lagi nggak ada di apartemen kan repot" Bara tersenyum kikuk. "Oh ya, Sky mana?" tanyanya sambil celingukan. Karena biasanya Jesline selalu bersama gadis mungil itu. Kedua gadis itu seolah tak terpisahkan. Ada Jesline, ada Sky. Ada Sky, pasti ada Jesline.
"Itu dia Om." Jesline menghempaskan tubuhnya kasar di sofa. Bibir mungilnya mengerucut. "Tadi Bang July jemput Jes sama Sky..."
Rahang Bara mengeras mendengar Jesline menyebut nama Julian, keponakannya yang paling kurang ajar menurutnya.
"Terus Bang July nurunin Jes di sini. Katanya biar Jes dianterin pulang sama Om Bara."
"Terus Julian sama Sky ke mana?" tanya Bara dengan suara bergetar menahan emosi.
Jesline angkat bahu. "Nggak tau. Pacaran kali."
Tangan Bara mengepal. Dadanya terasa panas karena cemburu. Bayangan Sky yang tersenyum manis hadir dibenaknya. Entah sejak kapan dia jatuh hati pada gadis lima belas tahun itu, dia hanya ingat kalau dia mulai merasa rindu dan ingin selalu bertemu.
"Sayang, aku pulang dulu ya." Diana turun dengan dandanan yang sudah rapi, mencium pipi Bara. "Jes, Tante pulang ya."
Wanita cantik itu tersenyum pada Jesline yang masih cemberut. Melenggang anggun menuju pintu.
"Anterin Jesline pulang, Om," rengek Jesline setelah Diana tidak kelihatan lagi.
Bara mengangguk. "Om mandi dulu tapi." Bara menaiki tangga cepat menuju kamarnya tanpa peduli Jesline yang makin cemberut. "Om nggak lama kok!" teriaknya dari lantai dua.
***
Sky menyeruput milkshake coklat kesukaannya. Setelah tadi protes karena Jesline diturunkan Julian di depan apartemen Om Bara, Julian langsung mengajaknya ke counter penjual minuman favoritnya itu. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan lagi. Entah Julian mau membawanya ke mana tidak masalah, yang penting dia bisa bersama Julian hari ini.
"Julian?"
"Hm?"
"Kok Jesline nggak diajak sih?"
Pertanyaan itu lagi! Julian memutar bola mata bosan. Entah sudah berapa kali Sky menanyakan itu dia tidak ingat. Yang pasti dia bosan harus mengulang jawaban yang itu-itu juga.
Julian mendesah. Menatap Sky dari kaca spion. Mengamati bagaimana gadisnya menyedot minumannya yang tinggal sedikit. Tangan kirinya bergerak untuk mengusap kepala bersurai pirang itu.
Sky menoleh. Menatap Julian bingung. "Mau?" tawarnya sambil menyodorkan cup milkshake pada Julian.
Pemuda tampan itu menggeleng. Senyum manis tercetak di bibir sexy-nya. "Kamu aja."
Sky mengangguk. Kembali fokus pada minumannya dan menyedotnya sampai habis. Bertepatan dengan Julian yang memarkirkan mobil di tempat parkir salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta.
Julian keluar dan memutari setengah bagian mobil, membukakan pintu untuk Sky.
"Mau nonton nggak?" tanya Julian sambil menutup pintu mobil.
Sky mengerutkan hidungnya berpikir. "Nonton apa?" tanyanya kemudian.
Julian mengangkat bahu. "Terserah kamu." Julian kembali mengacak rambut pirang itu gemas sebelum menggenggam tangan mulus gadisnya posesif.
"Frozen ya." Sky tersenyum manis. Menatap Julian polos.
Julian menggeleng. "No."
"Barbie..."
"No!" jawab Julian cepat. Pemuda tampan itu mengerang. "Any other please."
Sky cemberut. " Kan terserah aku!" ingatnya. Bibir mungil itu mencebik.
"Yeah. Tapi bukan film anak kecil juga kali, baby."
Film anak kecil? ulang Sky dalam hati. Ingin memprotes tapi takut kalau Julian marah, jadi Sky hanya diam dan menuruti ke mana Julian membawanya.
"Julian." Sky menghentikan langkah. Menarik tangan Julian agar pemuda itu berhenti juga. "Itu!"
Julian menoleh. Berhenti dan mengikuti arah yang ditunjuk Sky. Pemuda itu mendesah. Begini rasanya kalau mengajak seorang gadis sepolos bayi jalan. Pikirannya tak jauh dari yang namanya boneka.
"Mau itu?" tanya Julian.
Walaupun terkesan segan tapi Julian tetap menuruti keinginan gadisnya. Dia tak ingin Sky-nya merasa tak nyaman saat bersamanya.
"Ayo!"
Julian tersenyum. Menarik tangan Sky, membawa gadisnya memasuki toko boneka yang tadi ditunjuk Sky. Membiarkan gadisnya memilih boneka yang disukainya. Sementara dia memilih untuk menyingkir ke tempat yang agak sepi untuk mengangkat ponselnya yang bergetar sejak tadi.
"Hallo?"
"Kamu dimana, Sayang?"
Suara seorang gadis yang sangat dikenalnya menggema di telinganya. Julian memutar bola mata. Tak bisakah dia menikmati waktu bersama gadis mungilnya tanpa gangguan dari jalang mana pun?
"Gue lagi di jalan mau pulang," jawab Julian uring-uringan. "Kenapa emang?"
"Ntar malem aku ke rumah kamu ya?"
Suara manja itu mengalun memasuki gendang telinganya. Membuat Julian bergidik jijik.
"Nggak bisa, Re. Gue ada janji bareng Atta."
Desahan kecewa terdengar di telpon, tapi Julian tak peduli. Mata hitamnya tajam mengawasi Sky yang sedang menarik-narik tanduk boneka unicorn berukuran sedang. Julian buru-buru menutup panggilan begitu Sky berjalan menuju ke arahnya.
"Udah ya, Re. Gue lagi nyetir. Ntar kalo sampe gue telpon balik. Bye!"
Julian memasukkan ponselnya kembali ke saku celana jeans-nya. Tersenyum pada Sky yang sudah berdiri di depannya dengan memeluk boneka unicorn yang tadi ditarik-tariknya.
"Udah?"
Sky mengangguk riang. Mengekori Julian yang menarik tangannya menuju kasir.
"Nonton ya habis ini?"
Sky kembali mengangguk. Gadis itu menatap tangannya yang digenggam Julian. Rona merah samar menjalari pipi gembilnya.
"Kenapa?" tanya Julian yang melihat gadisnya menunduk.
"Nggak pa-pa." Sky menggeleng pelan tanpa menatap Julian.
Julian mengangkat sebelah alisnya. Senyum usil terbit dibibirnya melihat pipi Sky yang memerah.
"Pipinya merah nih," bisik Julian di telinga gadisnya.
Pemuda tampan itu membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan Sky. Mata biru Sky membulat, membuat Julian makin gemas. Seandainya mereka di rumah sudah digigitnya pipi itu.
"Thanks."
Julian tersenyum sambil memasukkan kembali credit card pemberian Daddy ke dalam dompet. Menarik Sky keluar toko dan menuntun gadisnya menuju loket penjualan tiket bioskop. Seperti rencananya, mereka akan menonton film setelah ini.