Lena datang dengan wajah memerah, menunjuk ke arah kakak iparnya itu. Dia merasa marah karena ucapan Nita yang menurutnya itu sama saja mendoakan yang tidak baik bagi dirinya. Sejak awal, gadis itu memang tidak pernah menyukai Nita, ia benar-benar membencinya.
Entah apa alasan utamanya, tetapi rasa ketidaksukaan itu muncul sejak pertama kali Dimas mengenalkan Nita pada keluarganya. Mereka selalu menganggap bahwa Nita adalah benalu yang sudah masuk ke dalam hidup Dimas yang cukup damai dan bahagia dengan adik dan Mamanya.
Nita merusak segalanya, cinta, kasih sayang, peduli, perhatian bahkan semua pemasukan yang dimiliki oleh Dimas semuanya seperti dirampas oleh wanita yang saat ini menduduki tahta tertinggi di hati lelaki sederhana itu.
Padahal, Nita tidak pernah merebut semua yang dipikirkan oleh Hilda dan Lena. Jika Dimas berubah maka itu murni karena adik dan mamanya itu terlalu banyak ulah yang membuat Dimas jengah. Bagi sebagian orang berpendapat bahwa sabar itu tidak ada batasnya, tapi bagi sebagian orang lain rasa sabar itu ada batasnya.
Sudah cukup selama ini, Dimas mengabdikan hidupnya untuk Hilda dan Lena yang tidak pernah sedikitpun menghargai dan menghormatinya. Tidak peduli apa yang sedang dirasakan oleh Dimas, baik itu sakit, terluka atau bahkan sekarat sebab yang ada di dalam pikiran dan benak mereka hanyalah semua uang yang didapatkan oleh Dimas harus jatuh ke tangan mereka.
Lena melangkah maju mendekati mama dan iparnya yang sedang berdebat itu. Rasanya ingin sekali langsung menyerang dan menyakiti Nita namun pasti Dimas akan sangat marah padanya nanti. Jadi, Lena mengurungkan niatnya agar tidak terjadi sesuatu yang merugikan dirinya sendiri.
"w************n ini bikin ulah apalagi, Ma?"
Plakkk.
Nita langsung melayangkan tamparan keras di pipi mulus Lena membuat gadis itu hampir saja terjungkal karena ulahnya. Nafas Nita memburu, ia benar-benar emosi dihina seperti itu. Nita bukan w************n, seperti apa yang dikatakan oleh Lena.
"Kurang ajar kamu–"
"Diam!" teriak Nita dengan sangat lantang membuat keduanya menjadi ciut.
Terlihat jelas rahang Nita mengeras, mata merah dan nafas memburu semakin memperlihatkan bahwa memang dia benar-benar marah. Nita menunjuk tepat di hadapan Lena.
Sekarang, keduanya saling berhadapan dan saling menatap penuh kebencian. Nita berusaha semaksimal mungkin untuk tetap menyayangi dan tidak membenci, tapi dasarnya Lena memang ingin dibenci agar Nita terlihat salah di mata Dimas. Namun, bukan Nita namanya yang mudah dipermainkan seperti ini.
"Kamu itu masih kecil tapi sudah kurang ajar!" teriak Nita dengan wajah memerah dan urat-urat lehernya terlihat nyata. "Kamu pikir, bisa menginjak-injak aku terus? Hah? Kamu pikir, aku akan selalu diam jika diperlakukan seperti ini oleh kalian?"
Nita benar-benar sangat marah kali ini, ia merasa sudah tidak bisa lagi diinjak-injak dan ditindas namun ia juga masih berpikir untuk tetap tenang, berusaha semaksimal mungkin untuk tidak lepas kendali di hadapan kedua wanita ular itu.
"Aku rasa, sudah cukup kalian menghina, menginjak-injak harga diriku selama ini. Kalian sama sekali tidak bisa melihat kebaikanku selama ini."
"Kebaikan? Kebaikan apa yang sudah kamu berikan?" tanya Hilda dengan tatapan sinis.
Nita terkekeh mendengar pernyataan dari mertuanya itu, menggelengkan kepala lalu menatapnya tajam.
"Kebaikan apa? Apa Mama sadar mempertanyakan hal seperti itu?"
"Sangat sadar, kenapa harus tidak sadar? Kebaikan apa?"
"Perlu aku jelaskan semuanya? Sebutkan semua baikan aku sama kalian? Heum?"
"Sebutkan saja, aku mau tahu! Sesombong apa kamu," tantang Lena.
"Terkadang, sesekali kita harus melawan kesombongan orang yang terlalu sombong. Kenapa? Agar orang itu tahu, diatas langit masih ada langit, jika semua yang dibutuhkan masih diberikan oleh orang lain, setidaknya tahu diri dan rendah hatilah bukan malah sombong."
"Halah, banyak bicara omong kosong kamu itu, Nita. Sudah cepat katakan, apa kebaikan darimu itu."
Nita tersenyum sinis dan mulai menyebutkan apa saja yang sudah diberikan olehnya pada Hilda dan Lena selama kurang lebih hampir dua tahun ini. Dari merombak warung Hilda, lalu membiayai apa saja yang dibutuhkan setiap minggunya dan keperluan lain Hilda yang terkadang tidak masuk akal.
Lalu, Nita juga juga membantu melanjutkan biaya kuliah Lena, keperluan gadis itu setiap bulannya, iuran dan masih banyak lagi lainnya.
Mata kedua wanita beda generasi itu membola saat mendengar semua rincian yang disebutkan oleh Nita. Wanita itu begitu sangat ingat apa saja yang sudah diberikan untuk kedua wanita ular tersebut. Sempat berpikir, bagaimana bisa Nita bisa mengingat semuanya dengan detail? Mereka belum tahu saja, bahkan kecerdasan Nita itu di atas rata-rata, ia bisa mengingat apa saja yang sudah dilakukan olehnya.
"Dasar ipar tidak tahu diri. Kamu mengungkit semuanya?" tanya Lena tidak percaya.
"Loh, bukan mengungkit tapi aku menjelaskan semua kebaikan yang aku berikan tanpa pernah dianggap oleh kalian, bukannya tadi kalian sendiri yang memintaku untuk menjelaskan semuanya? Kenapa sekarang tidak terima?"
"Aku heran, bagaimana bisa Mas Dimas jatuh hati pada wanita sombong seperti dirimu. Sudah tidak bisa punya anak, sombong dan sekarang mengungkit semua yang sudah diberikan pada kami."
Plakkk.
Plakkk.
Plakkk.
Plakkk.
Nita kembali tersulut emosinya, ia melayangkan tamparan keras sebanyak empat kali pada Lena. Ia sungguh merasa terluka ketika gadis itu mengatakan bahwa dirinya tidak bisa punya anak. Lukanya terasa sangat dalam dan menembus hingga ke jantung.
Tidak. Nita bukan tidak bisa punya anak, tetapi belum waktunya. Sebab, mereka sudah menghabiskan banyak uang untuk mengecek kesehatan secara keseluruhan dan hasilnya memang tidak ada masalah. Keduanya sehat, baik Dimas maupun Nita sama-sama tidak memiliki kendala dan sama-sama subur.
Deg.
Tanpa mereka sadari, perdebatan ini didengar oleh orang lain. Ada Dimas yang sejak tadi mendengar semuanya. Ia memejamkan matanya, merasakan sakit yang luar biasa di dalam hatinya. Ia seperti di tancapkan seribu belati ketika mendengar ejekan Lena bahwa Nita tidak bisa punya anak. Sungguh, rasanya sangat sakit sekali apalagi Nita yang merasakannya, pasti rasanya akan sangat beribu-ribu kali sakitnya.
Satu sisi, Dimas merasakan geram dengan Hilda dan Lena. Sisi lain, merasa tidak menyangka jika istrinya itu berani melawan, karena selama ini selalu diam tapi Dimas selalu menegaskan untuk melawan selama dirinya tidak bersalah. Dan sisi lainnya lagi, ingin menghentikan pertengkaran tersebut tapi ia juga ingin mengetahui sejauh mana keributan itu akan berlangsung.
"Aw, kurang ajar sekali kamu, Nita!" teriak Lena.
"Ya, aku kurang ajar! Memangnya kenapa? Manusia kayak kamu layak untuk dibalas kurang ajar!" teriak Nita tidak kalah lantangnya.
"Aku dan Mas Dimas itu subur dan sehat. Kami bisa mempunyai anak, tapi kamu sebagai seorang perempuan dan kelak menjadi seorang istri, kok bisa-bisanya mengatakan hal menyakitkan seperti itu!"
"Kamu itu anak kuliahan, tapi sikapnya tidak mencerminkan orang yang berpendidikan. Menjijikan sekali," ejek Nita semakin membuat Lena marah dan geram.
Lena mengangkat tangannya dan hampir saja melayangkan tamparan namun secepat kilat ditahan oleh Nita.
Nita memandang tangan yang selalu berusaha untuk menyakitinya. Kulit tangannya bahkan tidak lebih baik dari wanita itu, tapi kok bisa-bisanya dengan pede melayangkan tangan ke pipi Nita. Tanpa sadar, Nita mencengkram erat tangan Lena hingga gadis itu mengaduh kesakitan.
"Aw, sakit! Woi Nita, lepaskan!" makinya justru membuat Nita semakin mengeratkan cengkraman tersebut.
Nita ingin tahu, sampai mana rasa sakit itu hadir ditangan gadis yang sama sekali tidak pantas dibilang baik. "Sakit?"
"Nita, lepaskan! Nanti tangan anakku rusak karena ulahmu," tegas Mama mencoba melepaskan.
"Mama diam, nanti akan ada giliran Mama."
"Maksudnya apa?"
Dengan gerakan cepat, Nita semakin mencengkram tangan Lena membuat gadis itu meringis, lalu memelintir tangan itu membuat Lena semakin berteriak kesakitan dan dihempaskan begitu saja oleh Nita, hingga membuat gadis tersebut terhuyung kebelakang dan menabrak lemari yang ada dibelakangnya itu.
"Lena!" Hilda histeris melihat anaknya yang dihempaskan begitu saja membuatnya geram dan ingin melawan.
"Gak usah maju, Ma. Mama mau nasibnya sama seperti Lena? Sekarang, aku tidak akan mengalah lagi, Ma. Selama ini, kalian menyakiti aku ketika Mas Dimas tidak ada dirumah, bukan? Maka aku akan melakukan hal yang sama."
"Jika kalian bisa memainkan sebuah drama, maka aku akan mengikuti permainan kalian. Aku juga akan memainkan drama dengan kalian. Aku akan membalas semua perbuatan kalian padaku ketika tidak ada Mas Dimas. Kalau kalian berani menyakitiku, maka aku juga berani menyakiti kalian," ancam Nita dan berhasil membuat Hilda bungkam juga tertegun.
Merasa tidak terima jika menantunya itu sudah berani melawan. Hilda menganggap bahwa Nita akan sangat mudah ditindas tapi siapa sangka, kali ini wanita itu justru melawan dan membalas semua ucapan Hilda dan Lena. Bukan hanya itu saja, Nita juga berani melayangkan tangannya pada pipi Lena dan itu adalah pemandangan yang sangat langka.
Biasanya, Lena yang selalu saja hampir melayangkan tangan pada Nita namun selalu saja tidak berhasil tapi kali ini tanpa hambatan, telapak tangan mulus milik Nita berhasil mendarat dengan keras di pipi Lena.
"Kamu jangan semakin kurang ajar ya, Nita. Lihat saja, aku bisa membuat kamu diceraikan oleh Dimas," ancam Hilda.
"Mas Dimas bukan orang bodoh yang langsung percaya dengan ucapan, Mama. Silahkan saja, jika Mama ingin mengatakan hal buruk apapun pada Mas Dimas. Tapi, aku yakin suamiku itu sangat bijak, ia tidak akan dengan mudah tertipu daya oleh semua ucapan kalian," tantang Nita dengan dagu sedikit terangkat. Mendengar kalimat istrinya itu, membuat bibir Dimas terangkat, ia tersenyum karena istrinya benar-benar memiliki rasa percaya yang tinggi padanya.