Datang Tiba-tiba

1387 Words
Nita masih tetap diam, belum bisa menjawab pertanyaan Dimas, sebab dirinya merasa terkejut dengan kedatangan lelaki itu secara tiba-tiba, apalagi langsung disambut oleh bentakan. Tubuhnya menegang, matanya mulai mengembun tapi ia tidak ingin menangis di hadapan Hilda dan Lena. Pantang bagi Nita menangis di hadapan Hilda dan Lena, sebab itu akan semakin membuat kedua wanita itu bersikap seenaknya. Mereka akan tahu apa kelemahannya jika saat ini sampai menangis. "Nita, sekali lagi aku bertanya, apa benar kamu yang melakukan semua ini pada mereka?" tanya Dimas penuh penekanan. Nita seakan tersadar dengan keadaan yang kacau ini, ia menatap lekat wajah Dimas dan menyelami sorot mata penuh cinta itu namun entah itu penuh cinta atau mungkin ada setitik benci di dalamnya karena sudah melakukan semua ini pada adik dan mamanya. Ia langsung mengalihkan pandangan pada Lena dan Hilda yang menatapnya dengan sinis. Bahkan, Lena terlihat sangat puas sekali melihat Dimas yang begitu sangat marah dan murka pada Nita. Lena memiringkan kepala seraya mengejek dan mengatakan bahwa kali ini ia menang dan Nita kalah. Tetapi, jangan meragukan Nita, ia justru membalas senyum sinis itu dengan tatapan tajam dan menantang. "Nita," panggil Dimas lagi seakan tidak sabar menunggu jawaban dari istrinya itu. "Iya, aku yang melakukan semuanya, Mas," jawab Nita dengan tenang. Ia sudah bisa menguasai dirinya sendiri, ia juga sudah menyiapkan sebuah jawaban jika sampai Dimas mempertanyakan apa sebab melakukan semua ini. Lena menatapnya sinis, memberikan jempol terbalik padanya membuat Nita merasa jengah dan muak. Ia benar-benar merasa menang sekarang. "Kenapa kamu melakukan semua itu?" "Aku hanya membela diri saja kok, memangnya salah kalau aku membela diri? Aku harus tetap diam saja ketika mereka menginjak-injak harga diriku? Aku harus tetap tenang ketika mereka menyakitiku? Aku tetap diam saat mereka semakin beringas? Iya? Begitu maunya, Mas Dimas?" "Bukannya, Mas Dimas sendiri yang pernah bilang padaku–" "Aku bilang apa?" tanya Dimas ingin tahu apakah Nita benar-benar mengingat pesannya atau tidak. "Halah, itu akal-akalan kamu saja, segala bilang kalau Mas Dimas pernah bilang sesuatu. Bohong itu, Mas," seru Lena mengompori. "Pasti dia mengada-ada." "Kamu diam dulu, Lena. Aku sedang bicara dengan istriku, bukan denganmu," tekannya pada Lena hingga membuat Nita menutup mulutnya menahan tawa dan mendelik ke arah Lena. Senyum sinis terpatri di wajah Nita, ia merasa tetap menang dari Hilda dan Lena. Dan, ia yakin bahwa suaminya pun akan berpihak padanya. Ia tahu betul, Dimas bukanlah lelaki yang mudah terhasut oleh sesuatu. "Katakan, Nita. Mas pernah bilang apa sama kamu?" "Sesekali melawan mereka tidak apa-apa, karena aku tidak pernah salah tapi selalu disalahkan. Jadi, sekalipun melawan dan memberikan mereka pelajaran maka itu tidak masalah. Mas akan mengizinkan, begitu bukan?" "Gila ya kamu, Nita? Mana mungkin Dimas mengatakan hal tersebut padamu. Itu sangat mustahil! Aku tahu betul anak lelakiku itu seperti apa dan bagaimana. Ia tidak akan mungkin tega bicara seperti itu, apalagi menyuruh berlaku seperti itu," elak Hilda merasa yakin bahwa saat ini Nita sedang bicara yang mengada-ada. "Sepertinya, wanita itu emang sudah mulai gila, Ma. Khawatir dengan kemarahan Mas Dimas sampai-sampai menuduh seperti itu." "Iya kamu benar, Sayang. Sudah menyakiti dan melukai kita seperti ini, sekarang menuduh suaminya. Kok bisa kamu bersikap seperti itu, Nita?" "Mas, tapi aku tidak bicara bohong. Aku ingat betul kamu bicara seperti itu padaku, iya 'kan?" "Sudahlah, Nita. Jangan terlalu banyak bicara omong kosong. Kamu ini gak punya pikiran apa ya? Bisa-bisanya fitnah suami sendiri seperti itu," tukas Hilda geram. "Mas, katakan sesuatu dong. Jangan diam saja seperti ini," keluh Nita merasa lelah dengan serangan dari kedua wanita tidak tahu diri itu. Dimas tersenyum penuh arti ke arah Nita, membuat wanita itu bingung dengan senyuman yang diberikan oleh suaminya itu. Dimas semakin tersenyum geli melihat kebingungan yang tercetak jelas di wajah Nita. "Lebih baik, kamu sudahi saja semua ini, Dimas. Melanjutkan pernikahan dengan seorang wanita yang sudah menyakiti keluarga bahkan memfitnah suami itu tidak baik. Kedepannya, pasti akan semakin buruk saja perangainya itu." "Mama bicara seperti ini bukan bermaksud untuk meracuni pikiranmu, Sayang. Tapi, Mama takut hidupmu akan semakin menderita nantinya jika hidup bersama dengan wanita itu semakin lama. Sebab, seumur hidup itu terlalu lama, mau kamu seumur hidup difitnah dan keluarga kamu disakiti seperti ini?" "Sakit banget Dimas diperlakukan seperti ini sama menantu yang sudah Mama anggap anak. Mama sudah berusaha semaksimal mungkin untuk berubah menjadi baik dan sesuai dengan apa yang kamu inginkan, tetapi istri kamu itu seakan enggan menerima kebaikan dari Mama." "Mama tuh harus bagaimana lagi? Selalu saja salah," ucapnya sendu memainkan drama agar Dimas percaya dan tidak lagi peduli pada Nita hingga membuat anak lelakinya itu memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Hilda terus saja bicara seakan-akan bahwa dirinya itu yang paling tersakiti dan menderita. Lena pun ikut mengompori agar semua perkataan Mamanya itu semakin menang dan pastinya menyudutkan Nita. Sedangkan, Nita sendiri hanya menggelengkan kepala saja melihat kedua wanita ular itu memainkan dramanya. Merasa heran, kok ada manusia yang macamnya seperti mereka, maunya selalu menang dan tidak terima jika orang lain senang. "Sudah kalian bicaranya?" tanya Dimas menatap mama dan adiknya secara bergantian. Sengaja menatap keduanya dengan tatapan yang sendu agar semakin menyakinkan keduanya bahwa Dimas percaya pada ucapan mereka. "Iya, Dimas. Mama sudah tidak tahu lagi harus bagaimana sekarang, semuanya terserah kamu. Tapi, kalau masih menyayangi kami, tolong ambil keputusan yang tepat agar tidak semakin menyiksa kami," lirih Hilda. Dimas menatap istrinya lekat, "Kamu sudah mendengarkan semua perkataan mereka bukan, Nita? Jadi, apa kamu mau membela diri?" "Tidak. Aku tidak akan membela diri padamu, Mas. Untuk apa aku membela diri seperti mereka? Orang benar dan jujur tidak akan mengatakan bahwa dirinya benar dan jujur, Mas. Aku menyerahkan semuanya padamu. Mas Dimas lebih paham aku bagaimana dan mama juga Lena bagaimana, jadi aku yakin Mas Dimas tidak akan mengambil keputusan yang salah." "Aku percaya pada suamiku, bahwa bisa melihat semuanya dengan mata terbuka siapa yang sebenarnya benar-benar salah dan siapa yang sebenarnya benar. Mas Dimas sangat bijak menyikapi sesuatu, jadi untuk apa aku membela diri hanya untuk membuat diri sendiri menang? Maaf, aku bukan seorang wanita seperti itu, Mas." Dimas tersenyum, ia memang paham betul karakter istrinya itu seperti apa dan bagaimana. Nita itu orang yang paling tulus dan berani jika sudah diinjak-injak harga dirinya. Selama ini, Nita sabar dan diam itu hanya karena menghargai dan menghormati suaminya. Semua itu semata-mata dilakukan karena tidak ingin ada keributan. Nita hanya ingin hidup damai saja tanpa adanya keributan atau pertengkaran yang berujung saling bermusuhan dan tidak saling sapa nantinya. Tetapi, ketika Nita mendapatkan izin dari suaminya untuk melawan walaupun hanya sesekali, maka ia tidak lagi berpikir panjang untuk melawan. Memang, sesekali kita harus meluapkan emosi ketika ada yang memancing emosi kita. Lebih baik diluapkan agar merasa tenang kembali daripada terus ditahan, rasanya sangat sakit dan mencekik leher, bukan hanya itu saja menahan emosi juga akan membuat penyakit yang tidak pernah ada justru muncul dan ada. "Nita tidak salah, aku memang pernah mengatakan bahwa sesekali melawan kalian itu diperbolehkan dan aku mengizinkannya," ucap Dimas menatap mama dan adiknya yang membola karena mendengar penjelasannya. "Aku juga tidak akan mungkin rela jika Nita terus diinjak-injak oleh kalian. Aku sangat paham betul bagaimana perangai kalian, jadi apapun yang diucapkan oleh kalian barusan sama sekali tidak masuk dalam pikiranku." "Aku lebih tahu bagaimana istriku. Nita tidak akan memulai jika tidak dimulai lebih dulu. Nita akan tetap diam dan sabar sekalipun batang lehernya diinjak oleh kalian, karena apa? Karena dia masih menghargai dan menghormati kalian yang jelas-jelas mama dan adikku. Tapi, rupanya kalian tidak paham bagaimana Nita. Padahal, tadi Mama mengatakan sudah berusaha baik padanya dan menganggapnya seperti anak sendiri, tapi Mama tidak memahaminya." "Kamu tega pada mama dan adikmu, Dimas? Kamu mempersilahkan wanita itu untuk menyakiti kami?" tanya Mama tidak percaya dan berharap apa yang barusan dijelaskan oleh Dimas itu salah. "Kamu pasti salah bicara, 'kan?" "Tidak. Aku tidak salah bicara. Aku memang mengatakan hal itu pada Nita. Karena, aku tidak ingin kalian terus menyakiti dirinya." "Dan, ucapan kalian semua tadi tentang Nita yang menyakiti kalian, itu sama sekali aku tidak percaya." "Bahkan, Mas Dimas juga tidak percaya padaku dan mama?" "Ya, aku memang tidak percaya. Kenapa aku harus percaya pada semua omong kosong kalian? Ucapan kalian berdua itu semuanya bohong." "Mas, aku dan Mama tidak bohong!" seru Lena tidak terima. "Kalian berbohong dan aku tahu itu, karena aku mendengar keributan kalian sejak awal. Aku mendengar semuanya dibalik pintu," jelas Dimas membuat wajah Lena dan Hilda menegang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD