Dua hari sebelumnya. Di salah satu Cafe dekat Taman Kota.
"Ibu Rosy, ada telepon untuk ibu."
Mia salah satu pegawainya yang terpercaya, menghampiri Rosy yang berada di meja kasir dan sedang mengajari salah satu karyawan yang baru dirotasi ke posisi tersebut.
"Dari siapa?"
"Dari Mas Reinhart. Tadi dia mengatakan sesuatu tapi maaf bu, suaranya tidak terlalu jelas. Sepertinya Mas Rein sedang sakit, bu."
Penjelasan itu membuat Rosy langsung menghentikan kegiatannya. Ia pun akhirnya meminta Mia menggantikannya, untuk memberikan pengarahan pada karyawannya.
Tergesa, Rosy segera masuk ke kantor kecilnya dan menutup pintunya rapat. Ia pun langsung mengambil gagang telepon di atas meja dengan cepat. Jantungnya berdebar keras.
"Halo? Halo, Rein?"
"Kak..."
Terdengar suara adiknya yang lemah di ujung sana. Suaranya terdengar serak.
"Rein? Rein, kamu kenapa?"
Dengan panik Rosy bertanya. Ia tahu adiknya sedang menjalani hukuman di penjara saat ini karena kasus tabrakan yang menimpanya sekitar sebulan lalu.
Kasus ini sebenarnya masih dalam masa penyelidikan. Tapi keluarga korban telah memaksa berbagai pihak untuk memberikan hukuman pada si tersangka, menyebabkan adiknya harus mendekam di penjara. Bukannya Rosy tidak boleh menjaminnya, tapi jumlah yang harus ditebusnya sangatlah tidak masuk akal. Ia sama sekali tidak punya uang berlebih sekarang.
Rosy sangat tahu kalau adiknya adalah anak muda yang bertanggungjawab. Tidak mungkin tabrakan itu terjadi tanpa sebab. Adiknya pun telah berkali-kali bersaksi bahwa dia tidak bersalah. Tabrakan itu terjadi karena si korban yang dengan sengaja mengarahkan mobilnya, membuat kejadian maut itu tidak terelakan dan merenggut nyawa si pengemudi.
Kesalahan fatal yang mungkin dilakukan Rein adalah dia menerima telepon tepat di jam saat tabrakan itu terjadi, dan hal ini tertangkap CCTV. Temuan ini memberatkan posisi adiknya, membuatnya dituntut dengan kasus kelalaian dalam berkendara.
"Kak... Tolong keluarkan aku dari sini..."
Rosy tertegun ketika mendengar adiknya yang menangis. Rein hampir tidak pernah menangis selama 21 tahun dalam hidupnya dan kini, ia mendengar adiknya menangis dengan pilu.
"Rein, apa yang terjadi? Kamu di mana? Penjara?"
"Rumah sakit... Kak, tolong aku."
"Rumah sakit!? Di mana rumah sakitnya?"
Dengan segera Rosy mencatat alamatnya dan ia pun bergegas keluar dari ruangan kantornya. Wanita itu cukup panik dengan kondisi adiknya dan setelah memberikan beberapa instruksi pada para pegawainya, ia pun melesatkan mobilnya menuju rumah sakit yang dimaksud.
Sesampainya di sana, ia langsung menuju bangsal tempat adiknya di rawat. Tampak ada dua orang petugas khusus yang berjaga di depan pintu kamar rawatnya.
Ditemani oleh salah satu petugas, Rosy pun akhirnya dapat bertemu dengan adiknya yang baru saja dijumpainya sekitar dua minggu yang lalu di penjara. Dan dalam waktu dua minggu, paras adiknya yang tampan pun hampir tidak tersisa.
Yang terlihat kini adalah sosok seorang anak kurus dan terbaring di tempat tidur. Mukanya tirus, bagian bawah matanya menghitam dan kulitnya pucat. Ia tampak sedang tertidur.
"Apa yang terjadi?"
Sedikit berbisik, Rosy mengarahkan pertanyaannya pada dokter yang saat itu terlihat baru selesai memeriksa pasiennya.
Mendengar pertanyaan itu, sang dokter melirik si pasien dan memperhatikan wanita yang baru datang itu. Dokter yang kurus itu akhirnya mengajak Rosy untuk berbicara di luar.
"Anda Nona Rosy?"
"Benar, dok."
"Lebih baik, kita bicara di luar."
Sampai di luar, si dokter pun mengajak wanita itu untuk ke ruangan prakteknya. Tampak ada yang ingin dibicarakannya secara lebih private dengan kakak dari si pasien tersebut.
"Silahkan duduk."
Rosy sebenarnya tidak ingin duduk, tapi melihat si dokter menatapnya dengan pandangan memohon maka ia pun akhirnya duduk dengan enggan di kursinya.
"Apa yang terjadi dengan adik saya, dok?"
Si dokter menghela nafasnya panjang.
"Adik Anda sepertinya mengalami penyiksaan."
Kedua alis mata Rosy mengernyit. Ia tampak masih tidak paham mengenai hal ini.
"Penyiksaan? Penyiksaan seperti apa?"
Tampak si dokter menatap wanita di depannya ini dengan pandangan kasihan. Mulutnya sedikit berkerut ketika ia akhirnya melanjutkan.
"Terdapat banyak bekas lebam di perut dan dadanya. Sepertinya adik Anda telah menjadi sasaran pemukulan. Yang saya dengar, hari ini memang sedikit ada keributan di penjara A dan adik Anda telah menjadi salah satu korbannya. Hanya saja, sepertinya pemukulan adik Anda itu memang telah disengaja, kalau dari CCTV."
Informasi ini membuat tubuh Rosy membeku di kursinya. Rautnya memucat dengan sangat cepat dan kedua matanya mulai memerah. Nada suaranya sedikit melengking saat berbicara.
"Maksud dokter, adik saya memang telah menjadi sasaran di sana?"
Kepala sang dokter mengangguk. Ia tampak prihatin dengan wanita di depannya ini.
"Kasus pemukulan sendiri sebenarnya hal yang cukup biasa terjadi di penjara A. Tapi kalau hanya menyasar ke satu orang, terus terang saya baru menangani kasus adik Anda ini."
Sang dokter menyenderkan punggungnya ke kursi di belakangnya.
"Saya khawatir, kalau hal ini tidak akan berhenti sampai di sini. Mungkin saja pelakunya akan mencoba lagi. Karena kita juga tidak tahu intensinya, apakah memang mau melukai atau hanya menakut-nakuti saja. Saya sarankan, Anda meminta perlindungan dari seseorang."
Kata-kata itu membuat kedua alis Rosy langsung berkerut. Apa maksud dokter ini?
"Perlindungan?"
"Ya. Semacam menyewa jasa bodyguard atau semacamnya. Saya mengenal seseorang yang bisa meminjamkan jasanya, kalau Anda mau."
Melihat wanita di depannya belum memberikan jawaban, tatapan si dokter menjadi sedikit menyelidik. Kedua matanya tampak berfikir sebelum akhirnya dia bertanya.
"Kalau boleh saya tahu, sebenarnya apa yang menyebabkan adik Anda di penjara?"
Pertanyaan itu membuat Rosy mengerjapkan matanya. Ia sedikit bingung dengan perubahan topik ini. Lagipula ia juga masih bertanya-tanya, kenapa bisa adiknya menjadi sasaran pemukulan? Memangnya apa salah adiknya?
"Apa hubungannya hal ini dengan yang sudah dilakukan oleh adik saya?"
"Cukup banyak sebenarnya. Biasanya, mereka yang melakukan kejahatan cukup berat akan mengalami perlakuan yang semena-mena dari para penghuni penjara. Terutama mereka yang melakukan pelecehan s*ksual pada anak kecil. Apakah itu kasus adik Anda?"
Kedua mata Rosy terlihat marah dengan tuduhan asal itu. Kepalanya menggeleng kasar.
"Sama sekali tidak! Reinhart masuk penjara karena kasus tabrakan yang menyebabkan salah seorang pengemudinya tewas di tempat. Lagipula, dia belum terbukti bersalah, karena kasusnya masih berlanjut sampai sekarang."
"Siapa yang tertabrak?"
Pandangan Rosy berubah nanar menatap dokter di depannya. Wanita itu mulai dapat menyatukan kepingan-kepingan informasi dari si dokter dan juga pengalamannya bulan lalu selama di pengadilan. Ia dapat mengingat dengan jelas pandangan mata yang tajam dan menusuk, terarah pada dirinya dan juga adiknya saat itu. Ia menelan ludahnya.
"Ariana Haliman."
Hal yang dikatakan oleh Rosy membuat si dokter terkesiap kaget. Tanpa sadar, ia bersiul pelan. Kedua alisnya terangkat sangat tinggi dan ia menyender di kursinya.
"Ariana Haliman, dari keluarga Haliman dan adik tiri perempuan Damian Bale?"
Dengan lemah, Rosy mengangguk. Ia sudah tahu akan ke mana arah pembicaraan ini. Wanita itu juga dapat melihat tatapan si dokter yang semakin terlihat prihatin padanya.
"Kalau begitu, saya sarankan Anda untuk segera mengambil jalan kekeluargaan. Tidak ada yang bisa menang melawan keluarga Haliman. Selain itu, saya tidak mau berprasangka buruk tapi yang saya dengar, Damian Bale bukanlah seorang yang pemaaf."
Mendengar perkataan itu, membuat Rosy memicing curiga.
"Kenapa dokter bisa sampai tahu mengenai hal ini?"
"Sebenarnya informasi ini cukup tertutup dan tidak banyak yang mengetahuinya. Saya tahu, karena rumah sakit ini sudah membangun kerjasama yang cukup lama dengan penjara A. Dan sebagai dokter, saya juga harus memahami siapa klien yang saya layani."
Si dokter kembali menarik nafasnya sebelum melanjutkan. Ia mengerucutkan bibirnya.
"Kalau Anda tahu, penjara A adalah salah satu penjara swasta terbesar di negeri ini. Dan Damian Bale adalah salah satu pemilik saham terbesar di sana. Dengan kata lain, dia adalah pemilik penjara itu dan dia dapat melakukan apapun pada mereka yang berada di dalamnya."
Kali ini, darah di wajah Rosy benar-benar tampak terkuras. Wajahnya pucat dan keringat dingin mulai mengalir di keningnya.
"Maksud dokter..."
"Seperti kata saya tadi, saya tidak mau berfikirkan buruk. Tapi kejadian yang menimpa adik Anda terlalu aneh untuk bisa dikatakan sebagai kebetulan. Sebaiknya Anda segera menempuh jalur kekeluargaan. Atau seperti saran saya tadi, menyewa jasa bodyguard untuk melindungi adik Anda di penjara. Setidaknya adik Anda aman selama berada di sana."
Dokter kurus itu membuka dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama.
"Ini adalah orang yang bisa saya rekomendasikan. Dia cukup terbiasa menangani hal-hal seperti ini. Harganya memang tidak murah, tapi Anda bisa membayar jasanya tidak hanya dengan menggunakan uang. Kalau Anda mengerti maksud saya."
Menelan ludahnya, Rosy mengambil kartu itu. Matanya sedikit membesar ketika mengenali nama yang tertera di sana. Dalam hatinya, lebih baik ia terjun ke kolam buaya dibanding harus berhubungan lagi dengan orang ini.
"Terima kasih. Tapi sepertinya, saya tidak memerlukannya. Saya akan mencari jalan lain."
Dengan sopan, ia mengulurkan kembali kartu nama itu pada sang dokter yang terlihat kaget.
"Anda yakin? Dia bisa melakukan segalanya. Dia-"
Kepala Rosy menggeleng pelan. Ia lebih baik menghubungi Damian Bale karena kalau dari cerita ini, kemungkinan besar orang itulah dalangnya. Lebih baik dia langsung menemui sumbernya, dibanding menempuh jalur lain yang tidak disukainya.
"Terima kasih banyak, dokter. Saya akan memikirkannya lagi. Tapi saat ini, saya akan mencoba cara lain yang saya bisa. Kalau begitu, saya permisi dulu."
Tanpa menunggu jawaban si dokter, Rosy langsung keluar dari ruangan itu.
Kembali ke kamar adiknya, Rosy masih mengingat dengan jelas pembicaraannya tadi dengan sang dokter. Kedua matanya memanas kembali.
Dengan perlahan, ia menghampiri tempat tidur adiknya dan melihat sosoknya yang sama sekali terlihat berbeda dari dua bulan lalu. Adiknya selalu tampak cerah dan ceria. Pria muda itu penuh dengan impian dan gairah hidup, apalagi ia akan diwisuda dalam kurun waktu dua bulan ke depan. Masih banyak hal yang terbentang dengan luas di depannya.
Tangannya menggenggam jari-jari adiknya yang kurus dan pucat. Ia mer*masnya pelan.
Setelah beberapa kali berhasil mendapatkan beasiswa dari Yayasan Haliman, pria muda itu berencana akan melanjutkan studinya ke Jepang dan mengambil jurusan Matematika setelah lulus. Rein memiliki cita-cita menjadi seorang dosen dan bekerja di Jepang. Ia juga ingin memboyong Rosy untuk tinggal bersama di sana.
Setitik air mata mengalir di pipi Rosy yang merah muda. Ia sangat menyadari, bahwa impian mereka berdua telah hancur di tengah jalan. Pupus dan hilang tanpa bekas.
Saat ini yang bisa dilakukan oleh Rosy adalah, meminimalisir dampak yang mungkin terjadi karena kejadian ini. Ia tidak mau masa depan adiknya benar-benar luluh-lantak. Setidaknya, masih ada serpihan-serpihan yang bisa diusahakannya untuk menyelamatkan impian adiknya. Usia anak itu masih sangat muda untuk memiliki masa depan yang suram.
Dan sebagai kakak, ia memiliki tanggungjawab untuk itu.
Memantapkan hatinya, ia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.
"Halo? Pengacara Ferry? Saya dengan Rosy."