Saat ini, mereka berdua sedang berada di basement parkiran. Dan Rosy hanya bisa termangu menatap mobil besar milik Damian.
Menyadari mobil suaminya ternyata memiliki rangka yang cukup besar, tidak mungkin ia dapat mengendarainya tanpa harus terbanting di dalamnya. Rosy tidak percaya diri, terutama karena ia tahu kalau mobil ini memiliki harga yang sangat mahal.
Meski terbiasa mengendarai motor sport, tapi bukan berarti ia dapat mengendalikan mobil dengan rangka sebesar ini. Pengalamannya dengan mobil hanya terbatas pada jenis city car.
Bagaimana kalau ia membuat baret di mobil ini? Dan yang lebih konyol, bagaimana kalau dia sampai menabrak kendaraan lainnya? Percuma ia memiliki pengalaman berkendara selama lebih dari 10 tahun, kalau hal itu terjadi.
Ini... Bagaimana cara mengendarainya, ya? Ini masih pakai SIM A, kan?
Damian yang berdiri di sampingnya tampak menaikkan salah satu alisnya.
"Kenapa?"
Gugup, Rosy mendongak memandang suaminya.
"Sa- Saya tidak yakin dapat mengendarainya. Saya takut membuat baret di mobil Anda."
Pria itu terdiam dan tanpa mengatakan apapun, meraih rentengan kunci yang dipegangnya.
"Masuklah."
Lega, Rosy mengikuti suaminya untuk masuk ke dalam mobil. Saat masuk pun, ia cukup kesulitan karena posisi mobil itu yang cukup tinggi. Benar-benar membuatnya kesusahan karena ia juga sedang memakai rok.
Menutup pintunya yang berat dengan kedua tangan, Rosy berusaha mengenakan seat belt-nya, dan kembali mengalami kesulitan. Sepertinya mobil ini memang tidak cocok dengannya.
Tidak orangnya. Tidak mobilnya. Dua-duanya sama-sama bikin susah saja!
Hampir saja wanita itu mengeluarkan gerutuannya, ketika melihat tangan suaminya meraih sabuk itu dan dengan mudahnya memasangkannya di tubuhnya.
Rosy merasa kedua pipinya memerah malu, karena sudah ketiga kalinya ia menunjukkan ketidakmampuannya di mata suaminya. Ia termasuk wanita yang cukup mandiri, sehingga ketergantungannya pada pria ini membuatnya merasa rendah diri.
Masih merasakan keberadaan lelaki itu di depannya, ia mengangkat kepalanya dan tertegun. Raut suaminya terlihat aneh. Mata biru itu memperhatikan kedua pipinya yang memerah dan pandangannya turun ke mulutnya. Cukup lama Damian memandang mulutnya, sebelum akhirnya kembali ke posisinya semula.
Rosy merasa jantungnya berdebar kencang. Ia cukup takut suaminya akan meminta jatahnya di lokasi-lokasi yang tidak umum seperti ini. Setelah merasa cukup tenang, wanita itu baru menyadari kalau suaminya belum pernah mencium bibirnya.
Melirik ke sampingnya, pria itu dengan tenang menghidupkan mobilnya dan perlahan mulai mengarahkannya menuju ke luar parkiran. Benak Rosy benar-benar bingung saat menghadapi suaminya. Ia tidak bisa membaca apa yang sedang dipikirkan oleh pria ini.
Setelah beberapa saat berada di jalanan, ia baru menyadari kalau mereka ternyata menuju ke apartemennya sendiri. Ia menoleh ke pria di sebelahnya dengan pandangan yang bertanya.
Darimana dia tahu-
"Bawalah beberapa barang yang kau perlukan. Kau akan tinggal denganku mulai hari ini."
Jantung wanita itu berdegup kencang. Ia semakin menyadari kekuasan yang dimiliki oleh orang ini. Tanpa diberikan informasi apapun, dengan mudahnya dia mengetahui tempat tinggalnya selama ini. Nafas Rosy sedikit tercekat, memikirkan seberapa jauh Damian telah menyelidiki mengenai dirinya.
"Ba- Baik."
Tidak lama, keduanya telah berada di apartemen Rosy yang mungil. Apartemennya berbentuk studio. Benar-benar apartemen bujangan. Terkadang Rein datang berkunjung dan menginap, membuatnya memiliki dua kartu akses untuk apartemen ini. Tapi semenjak adiknya di penjara, ia pun menyimpan kartu akses adiknya itu.
Ketika berbalik menatap suaminya, wanita itu terlihat canggung dan menunjuk tempat tidur. Karena sempitnya ruangan, Rosy tidak memiliki perangkat kursi atau meja makan. Ia memilih menggelar karpet di lantai. Tapi sepertinya tidak sopan menyuruh suaminya duduk di sana.
"Hmm, Anda bisa duduk di tempat tidur kalau mau. Saya akan segera berkemas."
Ia pun mengeluarkan koper kecilnya dan mulai mengisinya dengan beberapa barang. Ia hanya mengemas beberapa baju kerja dan baju tidurnya. Jika memang kurang, Rosy berencana untuk secara kontinyu berkunjung ke apartemennya ini dan sekalian membersihkannya.
Ketika membuka laci pakaian dalamnya, ia merasakan kehadiran suaminya di sebelahnya. Pria itu tampak tertarik melihat deretan pakaian dalam yang tertata dengan rapih di lacinya.
Tangan kiri pria itu perlahan meraih sepasang pakaian dalam berenda yang berwarna hitam. Itu adalah pakaian dalam yang baru dibelinya bulan lalu. Pakaian dalam seksi yang ia tidak pernah berani memakainya. Ia hanya berkhayal untuk mengenakannya suatu saat nanti.
Melihat tangan maskulin suaminya memegang benda sefeminim itu, membuat Rosy aneh. Tidak disangka, Damian menempelkan benda itu di d*da isterinya. Mencetak kedua benda itu dengan jelas. Pria itu mengusap-usap ujungnya dengan lembut. Meski tidak ingin, tapi yang dilakukan oleh lelaki itu membuat tubuh Rosy ter*ngsang secara alamiah.
"Bawa ini. Bawa saja beberapa. Aku akan membelikan yang baru untukmu."
Suara berat suaminya terdengar serak.
Tadinya Rosy ingin memprotes. Ia sama sekali tidak membutuhkan tambahan pakaian dalam. Tapi melihat ekspresi dingin pria itu, ia pun akhirnya hanya dapat terdiam dan mengangguk. Pria itu juga membantu Rosy mengemas skin care yang dibutuhkannya, tapi menyuruh isterinya untuk tidak membawa satu pun peralatan mandinya.
"Kau tidak akan memerlukannya. Semua sudah ada di rumah."
Pria itu menutup koper isterinya dan menatap ke sekeliling ruangan yang kecil itu.
"Ada lagi yang kau butuhkan?"
Kepala Rosy menggeleng pelan. Ia heran Damian mau membantunya mengemas pakaian. Hal ini tidak pernah dibayangkannya. Tapi ketika mengingat apa yang telah dilakukan pria itu pada adiknya, ia berusaha menepis perasaan barunya itu.
"Sepertinya sudah cukup. Saya akan kembali lagi ke sini kalau memang ada yang tertinggal."
Kepala pria itu mengangguk kaku, dan ia pun mengangkat koper kecil itu dengan mudah.
"Ayo, kita segera pulang."
Saat berada di lorong dan menuju lift, Damian menggandeng isterinya. Ia menuntun isterinya berjalan sepanjang lorong ke arah lift. Pria itu sama sekali tidak melepaskan pegangannya sampai mereka kembali ke pelataran parkir. Ia menempatkan koper kecilnya di kursi belakang dan mereka akhirnya melanjutkan perjalanan menuju rumah pria itu.
Kesunyian menghiasi keduanya ketika di tengah perjalanaan, pria itu menoleh padanya.
"Tolong ambilkan ponselku."
Rosy yang tadinya melamun sedikit terlonjak dan memandang ke arah pria di sampingnya.
"Ponsel? Dimana?"
"Saku jasku. Sebelah kanan."
Salah persepsi, tangan Rosy menepuk-nepuk kedua kantong bawah jasnya dan tanpa disadari, tangannya mengusap area pribadi lelaki itu. Nafas tajam suaminya membuatnya mendongak, dan sedikit heran melihat sedikit rona merah di kedua pipi Damian.
"Saku di d*daku, Rose..."
"Oh. Maaf. Saya kira di kantong bawah."
Kedua tangan Rosy mengusap d*da suaminya dan merasakan tubuh pria itu yang sangat keras. Menepuk bagian yang menyembul, ia menyelipkan tangannya ke dalam dan meraih benda pipih itu. Ujung d*da pria itu di balik kemejanya, terasa mengeras di telapakannya.
Melirik ke suaminya, wajahnya terihat kaku dan menatap ke depan. Kedua pipi pria itu masih merona. Melihat ID si penelepon, Rosy teringat pria pengacara yang ditemuinya kemarin. Pria dingin dengan bibir berwarna merah. Entah mengapa tapi Rosy merasa kurang nyaman di dekat orang itu, yang kelihatannya lebih sadis dibanding suaminya.
"Dari Tim?"
Mendengar informasi itu, Damian mengarahkan mobilnya ke sisi jalan.
"Maaf. Tapi aku harus menerimanya."
Setelah mobil itu benar-benar berhenti, pria itu mengambil ponselnya dari tangan isterinya.
"Terima kasih."
Tadinya Rosy mengira pria itu akan keluar mobil tapi ternyata tidak. Dan ia baru menyadari alasannya ketika mendengarnya berbicara dengan bahasa asing yang tidak dipahaminya. Wanita itu akhirnya menoleh ke luar jendela dan menunggu suaminya yang sedang bercakap-cakap selama beberapa menit.
Tarikan nafas Damian yang terasa berat, membuat Rosy menoleh. Raut pria itu terlihat muram dan menunduk. Ia terlihat sangat sedih. Kedua alis wanita itu berkerut. Baru kali ini, suaminya terlihat seperti manusia biasa.
Ketika mendongak dan menatap dirinya, Damian sedikit terkejut.
"Apakah ada masalah?"
Pria itu mengerjapkan matanya dan menelan ludahnya. Suaminya menggeleng dan malah memberikan penjelasan wajar yang sama sekali tidak diminta Rosy.
"Tidak ada. Tadi adalah Tim, pengacaraku. Dia hanya melaporkan pekerjaan kantor. Maaf sudah membuatmu menunggu."
Terasa suasana sedikit canggung. Keduanya saling menatap. Sedikit tidak nyaman, Rosy mengalihkan pandangan ke depan dan mengangguk.
"Tidak masalah."
Tanpa berkata-kata lagi, pria itu menghidupkan mobilnya dan melanjutkan perjalanan.
Mereka membutuhkan waktu sekitar 1 jam dari apartemen Rosy. Ternyata lokasi rumah Damian cukup jauh dari apartemennya, tapi bisa dikatakan terjangkau kalau ia akan pergi ke Cafe. Dihitung-hitung, mungkin ia akan bisa menghemat waktu 15 menit jika berangkat dari rumah pria itu dibanding dari apartemennya.
Ketika akhirnya mereka tiba di tempat tujuan, rumah pria itu ternyata tidak seperti yang dibayangkannya. Rumah Damian terdiri dari dua lantai. Tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Tamannya terlihat asri dan ada kolam renang yang cukup besar di halamannya. Tampaknya pria itu menyukai sesuatu yang sederhana dan minimalis.
Melihat sosok suaminya yang elegan dan terlihat arogan, Rosy membayangkan pria itu akan menyukai sesuatu yang besar dan mewah. Jika pun tinggal di apartemen, kemungkinan akan berada di kawasan elite dan berharga sangat mahal. Tidak ada di benaknya kalau pria itu ternyata memilih lokasi yang cukup ramah bagi keluarga kecil seperti ini.
"Ada apa?"
Pria itu bertanya ketika melihat isterinya memandangnya dengan tatapan bertanya.
"Tidak. Saya hanya tidak menyangka Anda akan tinggal di tempat seperti ini."
Kedua alis pria itu berkerut dalam. "Seperti ini?"
"Saya tidak mengira Anda tipe pria rumahan. Setahu saya, kawasan ini cukup terkenal untuk kalangan keluarga kecil. Tadinya, saya kira Anda tipe orang yang menyukai segala sesuatu yang mewah dan juga besar."
Penjelasan isterinya membuat alis Damian pelan-pelan menjadi rileks. Tapi rautnya berubah menyebalkan, membuat wanita itu curiga. Perlahan pria itu menghampirinya dan dengan santainya, ia kembali mer*mas dan mengelus d*danya.
"Aku lebih menyukai sesuatu yang sederhana dibanding mewah. Tapi kalau soal besar, tentu lain ceritanya."
Kurang ajar!
Sangat marah, Rosy memalingkan kepalanya. Ia mengepalkan kedua tangannya ketika pria itu dengan santai meng*rayangi tubuhnya. Dari mulai atas ke bawah, kemudian ke belakang. Wanita itu merasakan dirinya diperlakukan seperti objek s*ks, apalagi mereka masih berada di garasi yang cukup terbuka. Untungnya, hal itu berlangsung hanya sebentar.
"Masuklah. Aku akan menunjukkan rumah ini padamu."
Kata-kata pria itu membuat Rosy segera tersadar dari kemarahannya. Sambil menyumpah dalam hati, wanita itu mengikuti suaminya untuk masuk ke dalam rumah.
Damian menjelaskan dengan cukup detail titik-titik lokasi yang ada di dalam rumahnya. Ia juga menjelaskan bahwa akan ada petugas yang datang setiap minggunya untuk membersihkan keseluruhan rumah. Tapi, pria itu terbiasa untuk membersihkan kamarnya dan juga mencuci bajunya sendiri secara rutin. Fakta yang kembali mengejutkan Rosy.
Setelah memberikan penjelasan singkat, keduanya kembali ke lantai satu di ruang tengah.
"Ada yang mau kau tanyakan dulu sebelum kita ke kamar utama?"
"Bagaimana dengan makanan Anda?"
Refleks pertanyaan itu keluar dari mulut Rosy, ketika melihat keadaan dapur yang bersih dan tampak tidak pernah digunakan.
"Aku hampir tidak pernah sarapan atau makan malam di rumah."
Suara berat suaminya terdengar pelan, dan pria itu berbalik menuju kamar utama sebagai tempat tujuan terakhir mereka.
Entah mengapa, suara Damian membuat hati Rosy terenyuh tanpa diinginkannya. Sekilas, ia dapat mendengar nada sedih di dalamnya. Ada sesuatu di diri pria itu yang lama-kelamaan, membuat wanita itu mulai merasa simpati tanpa ia ketahui alasannya.
Gerakan pria itu terhenti ketika mendengar suara isterinya yang ragu-ragu bertanya.
"Apa boleh kalau sekali-kali saya memasak untuk Anda?"
Rosy sedikit menggigit lidahnya ketika menyadari pertanyaannya.
Apa yang kau lakukan, Rose? Kau mau memasak untuknya? Bagaimana dengan tujuan membuatnya jengkel padamu?
Ia tadinya ingin menarik kata-katanya, tapi melihat punggung suaminya yang terlihat kesepian membuat Rosy justru melanjutkan niatannya.
"Masakan saya memang biasa saja, tapi lumayan kalau Anda-"
"Terserah kau saja."
Pria itu membuka pintu kamar utama dan berjalan masuk ke dalam, meninggalkan Rosy yang menatapnya dengan dahi berkerut.
Terserah kau saja.
Ini sudah ketiga kalinya dalam hari yang sama ia mendengarnya. Kata-kata itu sepertinya menjadi terlalu sering diucapkan oleh seorang pria yang katanya sangat ditakuti di kantor. Apakah Damian Bale memang seperti yang dikatakan oleh orang-orang?
Damian berbalik ketika melihat isterinya masih terpaku di depan pintu kamar.
"Masuklah."
Menatap sosok suaminya yang sedang menunggu dengan koper di tangannya, membuat Rosy pun bergegas menghampiri pria itu.
Di dalam kamar, Damian menunjukkan letak kamar mandi dan juga kamar ganti yang ternyata terpisah. Suaminya meletakkan koper Rosy di dekat salah satu lemari besar di sana, dan perlahan ia pun membukanya untuk memperlihatkan isinya yang ternyata kosong.
"Kau bisa meletakkan barang-barangmu di sini. Katakan saja yang kau perlukan, aku akan menyuruh Paul untuk membelinya besok."
Paul. Asisten suaminya yang baru kemarin ditemuinya. Pria bule berparas ganteng, yang kata orang-orang adalah g*y. Rosy hanya dapat sedikit mengingat pria bernama Paul itu.
Menjawab pertanyaan Damian tadi, Rosy mengangguk. Ia sama sekali tidak berniat untuk meminta apapun pada suaminya, mengingat mereka bukan pasangan suami-isteri yang normal. Wanita itu hanya akan berusaha menjalani kehidupan pernikahannya sesuai dengan kontrak yang ditandatanganinya kemarin, dengan tanpa ada harapan apapun.
Pria itu kemudian menyerahkan beberapa kunci cadangan rumah dan juga sebuah kartu berwarna hitam yang tampak mengkilat.
"Untuk apa ini?"
"Kau isteriku. Pakailah kartu ini untuk membeli kebutuhanmu atau pun hal lainnya."
"Tapi saya tidak memerlukannya. Saya memiliki penghasilan sendiri-"
"Meski status kita masih tertutup, tapi aku tidak mau kau membuatku malu. Jangan lupa kalau kau itu isteriku, dan bukan orang lain. Ambil kartu ini!"
Rosy sama sekali tidak menyukai nada suaminya. Ia bukannya tidak mampu untuk membeli kebutuhannya sendiri. Tidak ada keharusan pria ini membiayainya, apalagi status mereka yang cuma suami-isteri kontrak.
"Dengar. Beberapa bulan dari sekarang, aku ada pertemuan bisnis dengan para klienku. Dan mereka adalah orang yang sangat penting. Aku berencana memperkenalkanmu sebagai isteriku. Itu adalah debut pertamamu, sebagai isteriku."
Ia baru akan membantah lagi saat Damian mengatakan hal-hal yang cukup menyakitinya.
"Aku yakin dengan penghasilanmu sekarang ini, kau tidak akan pernah mampu membeli gaun yang pantas. Aku tidak ingin kau mempermalukanku dengan membeli gaun yang asal-asalan. Jangan pernah mempermalukan nama Damian Bale. Kau mengerti?"
Kata-kata tajam pria itu membuat kepala Rosy tertunduk. Saat ini, ia sudah cukup terhina dengan statusnya sebagai pemuas n*fsu orang itu dengan berlabel isteri. Dan kini ucapannya kembali membuatnya sakit hati, karena berarti Damian merasa penampilannya tidak pantas untuk berada di samping pria itu.
Meski selama ini ia tidak terlalu peduli dengan penilaian orang lain, tapi ternyata pendapat suaminya tetap saja memberikan pengaruh pada Rosy sebagai seorang wanita.
Sedikit mengepalkan tangannya yang bebas, wanita itu berusaha mengontrol emosinya dengan mengingat adiknya yang masih terbaring lemah di rumah sakit. Ia mengangkat kepalanya dan menatap pria itu dengan mata yang sedikit basah.
"Penampilan seperti apa yang Anda inginkan?"
Suaminya menatapnya dengan pandangan aneh. Wanita itu sama sekali tidak bisa membaca ekspresi yang ditampilkan oleh pria itu. Ketika akhirnya berbicara, suara berat pria itu terdengar pelan dan sedikit serak.
"Seksi tapi anggun. Sederhana tapi mewah. Kau paham?"
Rosy mengerjapkan matanya. Bingung dengan penjelasannya, ia mengerutkan alisnya. Tidak mau sakit hati lagi untuk sesuatu yang tidak perlu, ia memutuskan untuk bersikap jujur.
"Saya tidak pernah membeli gaun. Terus terang, saya tidak paham dengan yang Anda mau. Apakah Anda menginginkan sesuatu yang seksi atau-"
Perkataan wanita itu terputus ketika suaminya menarik tubuhnya. Salah satu tangan pria itu membuka resliting belakangnya, dan menurunkan gaun santainya hingga teronggok di lantai.
Kejadian ini membuat Rosy terkejut, membuatnya membeku dan matanya terbuka lebar. Ia hanya mengenakan pakaian dalam berwarna abu-abu tadi yang terbuat dari katun. Kainnya yang lembut dan tipis tampak sedikit mencetak ujung d*danya cukup jelas.
"Seksi..."
Suara pria itu terdengar sangat serak dan rendah.
Dengan kasar, pria itu menurunkan salah satu cup bra-nya yang memperlihatkan tubuhnya yang polos. Masih tersisa sedikit lebam di sana, yang tampak mulai menghilang.
Kepala suaminya menunduk dan dengan rakus mulai menikmati d*da isterinya. Lidahnya bermain-main di sana. Jantung Rosy berdegup keras, saat pria itu meng*lumnya dan menarik-nariknya lembut. Pipi wanita itu memerah karena h*srat yang mulai naik.
Dorongan yang mulai naik dari perutnya, membuat Rosy mencengkeram lengan atas Damian dan cukup terkejut ketika merasakan otot-otot pria itu yang keras. Selama berhubungan, ia sama sekali tidak pernah melihat tubuh suaminya sendiri karena selalu menutup matanya.
Nafas Rosy mulai terengah-engah karena kelakuan suaminya.
"Egh... Ian..."
Suara Rosy membuat Damian semakin mencengkeram b*kong padatnya, menempelkannya ke tubuhnya sendiri. Mulut pria itu beralih ke d*da lainnya, dan menghisapnya melalui branya yang belum terbuka. Kali ini, pria itu sedikit menggigitinya pelan yang menimbulkan sensasi tersendiri bagi Rosy.
"Hem..."
Kedua mata Damian menatap hasil karyanya dan tersenyum puas. Ia merapihkan kembali cup bra isterinya yang terbuka, dan mengelus ujung bagian lain yang tampak basah dengan air liurnya. Pria itu dapat merasakan jelas kalau benda kecil itu sudah sangat keras seperti batu.
Ketika akhirnya pria itu mengangkat kepalanya, muka Rosy sudah memerah sampai ke lehernya. Pandangannya terlihat berkabut dan mulutnya terbuka. Nafasnya terdengar tidak teratur. Wanita itu benar-benar sudah larut dalam n*fsunya. Dan itu karena suaminya.
"Tidak perlu seksi. Belilah gaun yang cantik, dan sopan."
Selesai mengatakan itu, Damian menepuk b*kong isterinya dan meninggalkannya sendirian dalam ruangan ganti itu. Meninggalkan Rosy yang tampak mulai gemetar dengan mata berkaca-kaca, ketika akal sehatnya kembali. Ia merasa m*rahan. Betapa mudahnya ia untuk jatuh dalam pelukan pria yang bernama Damian Bale.
Kurang ajar! Kurang ajar kau, Damian Bale!? Tunggu saja. Akan kubalas kau suatu saat nanti!