Bab 20 - Who are you?

1286 Words
Damian akhirnya sampai di kediaman keluarga Haliman 30 menit setelah undangan makan malamnya. Pria itu memang sengaja datang terlambat karena ia sama sekali tidak mau duduk satu meja dengan keluarga tirinya, dan seolah-olah menikmati makan malam bersama. Di usianya saat ini, ia sudah lebih dari siap menghadapi mereka kembali terutama ibu tirinya. Namun berita yang dikemukakan oleh Daniel tadi siang, membuat jantungnya tetap berdegup keras penuh antisipasi. Meraih kotak kecil dari kursi penumpang, perlahan ia pun turun dari mobilnya dan melangkah menuju rumah yang telah lama ditinggalkannya itu. Dalam ruangan keluarga, tampak sosok Daniel yang gembira melihat kehadiran puteranya dan ia pun langsung menghampiri Damian yang baru masuk. Di belakang pria tua itu terlihat gadis muda dengan mata besar yang menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Damian! Akhirnya kau datang juga!" Melihat Daniel akan memeluk dirinya, Damian langsung mundur ke belakang. Raut wajahnya yang kaku membuat pria tua itu berhenti di tempatnya dan memandang nanar anaknya. "Damian?" "Maaf, tapi kita tidak sedekat itu untuk saling berpelukan. Saya datang hanya karena Anda mengundang saya tadi siang." Tubuh Daniel membeku di tempat. Kembali, ia merasakan rasa penyesalan yang amat dalam telah menelantarkan anaknya ketika itu. Betapa ia menyadari betapa egois dirinya telah menumpahkan kemarahan akan ketidakmampuannya menyelamatkan isterinya, pada anaknya sendiri melalui kekerasan. Hal ini membuat mata pria tua itu berkaca-kaca. Sama sekali tidak mau terpengaruh dengan raut pria tua itu yang terlihat ingin menangis, Damian mengalihkan pandangannya pada gadis muda di belakang Daniel. "Siapa namamu?" Suara Damian yang sangat berat serta dingin membuat gadis muda itu terkejut, dan dengan gugup melangkah ke depan. Ia berhenti di samping ayahnya. "A- Ariana." Meneliti gadis muda itu dari atas ke bawah, otak cerdas pria itu langsung menyadari sesuatu. Ariana memiliki rambut keriting yang panjang berwarna agak kecoklatan. Kedua bola matanya besar dan hidungnya mungil. Bibirnya lebar seperti ibunya. Yang paling mencolok adalah kulitnya yang eksotis dan berwarna kecokelatan. Dalam sekali pandang, Damian sudah tahu kalau Ariana sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan ayahnya. Hal yang ada di diri gadis itu sama sekali tidak mencerminkan keluarga Haliman yang keturunan asia dengan kulit yang berwarna kuning, apalagi keluarga Bale yang berkulit putih. Baik Haliman maupun Bale, memiliki warna rambut yang hitam dan juga lurus. Dan jika menilik dari tampang Amelia sendiri, gadis muda itu juga sama sekali tidak mirip ibunya kecuali bentuk mulutnya. Tanpa ekspresi, Damian memandang ke arah Daniel yang masih terlihat menunduk memandang lantai. Pria itu berfikir, sampai seberapa jauh ayahnya mau untuk dapat diperbudak oleh wanita iblis itu? Pria itu memandang kembali ke arah Ariana yang tampak menatapnya penuh kekaguman. Baru kali ini gadis muda itu melihat pria dewasa setampan Damian. Aura pria itu yang kuat dan berwibawa, membuat gadis yang masih dalam masa-masa mencari jati diri itu merasa kagum dan sangat bahagia. Karena, pria dewasa tampan itu adalah kakaknya sendiri. "Ariana. Selamat ulang tahun." Akhirnya Damian berbicara kembali, dan dengan kaku menyerahkan kotak kecil yang tadi dibawanya dari mobil. Sebelum datang, ia masih sempat mampir ke toko perhiasan dan membeli kalung yang mungkin sesuai untuk hadiah ulang tahun. Pipi Ariana merona merah saat mendengar suara Damian menyebutkan namanya. Dengan gembira, gadis muda itu menerima pemberiannya dan langsung membukanya. Tampak di dalamnya seuntai kalung emas tipis, dengan liontin berbentuk huruf AR. "Saya akan memakaikannya untukmu." Perlahan, Damian mengambil kalung itu dari tangan Ariana dan melangkah ke belakang gadis itu. Dengan pelan, ia menyingkirkan rambut yang ada di belakang leher Ariana. Ia pun mengancingkan kaitannya dan saat tatapannya naik, pria itu melihat sosok Amelia yang baru keluar dari kamar utama. Jelas terlihat kalau wanita itu terlihat kaget menemukannya di sana. Mengatur kembali rambut panjang gadis itu di punggungnya, Damian mengusapnya pelan dan tanpa disadari siapa pun, ia menyelipkan beberapa helaiannya ke kantong jasnya. Sambil menunduk memandang kalung di lehernya, Ariana tampak sangat bahagia dengan hadiah yang diberikan oleh kakaknya yang tampan. "Terima kasih, kak." "Hmm." Di ujung ruangan, Amelia memperhatikan sosok anak tirinya yang sangat jauh berubah sejak terakhir kalinya wanita itu melihatnya. Anak itu telah tumbuh menjadi sosok lelaki dewasa yang luar biasa di matanya. Wajah tampannya semakin terbentuk, dengan garis-garis tegas yang awalnya masih dihiasi oleh lemak remaja. Pipinya juga saat ini semakin tirus dan berwarna gelap, menandakan bakal janggutnya yang mulai tumbuh. Rambut hitamnya yang dulu cepak, sekarang dibiarkan sedikit memanjang dan disisir ke belakang. Dan tubuhnya... Tinggi tubuh Damian tampak bertambah sejak 20 tahun lalu wanita itu melihatnya. Ia melihat Ariana hanya sebatas bahu lelaki itu, dan bahu anak tirinya tampak semakin lebar dan juga kekar di balik jas mahalnya. Sosok lelaki di depannya ini membuat tubuh Amelia meremang dan ia mulai ter*ngsang. Perlahan, pandangan matanya turun ke area s*langkangan pria itu. Terlihat sangat jelas kedua matanya bersinar penuh harap ketika melihat area itu. Wanita itu tampak menelan ludahnya dengan susah payah ketika mengingat kenikmatan yang pernah didapatkannya dulu. Sekarang setelah pria itu dewasa, apakah rasanya akan lebih nikmat lagi? Iangatan kalau anak tirinya pernah menjadi 'sayur' tampaknya sudah dilupakannya. Ia benar-benar seperti orang kelaparan saat memandang tubuh pria di depannya. "Apakah masih ada yang menarik untuk dilihat, di s*langkangan saya?" Suara berat Damian yang sangat tajam membuat ruang keluarga itu hening. Pertanyaan yang menggegerkan itu membuat kepala Daniel menoleh cepat pada anaknya, dan juga ke Amelia yang tampak membeku di tempatnya. Melihat raut anak lelakinya yang tanpa ekspresi dan sangat dingin, wajah pria tua itu perlahan memucat. "Damian. Apa maksudmu tadi?" Terdengar suara Daniel yang gemetar. Pria tua itu memandang anak lelakinya dengan tatapan yang nanar dan menuntut jawaban. Perlahan, Damian menatap ayahnya. Pandangannya terlihat melecehkan pria tua itu. "Pertanyaan saya sudah sangat jelas. Kalau Anda masih belum mengerti, silahkan tanyakan pada isteri tercinta Anda." Menilai tidak ada lagi yang ingin dilakukannya di rumah ini, pria itu menoleh pada Ariana yang tampak masih belum mengerti keadaan yang terjadi. Damian menepuk kepala anak itu pelan. Dalam hati, ia merasa kasihan pada gadis itu yang harus lahir di tengah-tengah keluarga yang berada di ambang kehancuran. "Saya pulang dulu. Sekali lagi, selamat ulang tahun untukmu." Setelah berpamitan hanya pada gadis muda itu, Damian langsung melangkahkan kakinya keluar ruangan tanpa menoleh lagi pada Daniel maupun Amelia. Sampai di mobilnya, ia pun langsung menginjak pedal gasnya dengan dalam dan memacunya meninggalkan rumah yang hanya menyisakan kenangan menyakitkan bagi pria itu. Entah mengapa, Damian mengarahkan mobilnya menuju Cafe yang tadi siang dikunjunginya. Bersender pada kemudinya, ia melihat kalau bangunan itu telah gelap. Cafe itu ternyata tidak beroperasi hingga malam, membuat hati pria itu sedikit kecewa. Tadinya ia ingin melihat kembali wanita yang sudah menjadi obsesinya itu. Menegakkan tubuhnya, ia meraih ponsel yang ada di saku jasnya dan menghubungi seseorang. Menunggu panggilan itu terjawab, tatapannya masih mengarah ke arah Cafe yang sudah tutup itu. "Selamat malam, dr. Yoda. Saya dengan Damian. Dok, ada yang mau saya bicarakan. Apakah dokter masih ada di rumah sakit sekarang?" Mengeluarkan plastik bening dari kantong jasnya, Damian memperhatikan beberapa helai rambut keriting yang berwarna cokelat di dalamnya. "Tidak apa, dok. Saya dapat langsung ke tempat praktek Anda sekarang. Terima kasih banyak dr. Yoda. Maaf sudah merepotkan Anda." Menutup sambungan teleponnya, sejenak Damian masih menatap ke arah Cafe yang gelap itu. Dalam hati, ia setengah berharap kalau wanita asing itu akan keluar dari sana. Ia sangat ingin melihat kembali sosoknya yang feminim. Menyadari harapannya yang kosong dan otaknya yang tiba-tiba menjadi tumpul, pria itu menghidupkan mobilnya kembali dan segera mengarahkannya ke tempat praktek dokter yang dimaksud. Meski sudah dapat memprediksi hasilnya, namun ia masih perlu memastikan kembali benda yang sekarang tersimpan di kantong jasnya. Saat ini, Damian bertekad akan mengumpulkan banyak bukti yang tidak akan dapat disangkal lagi oleh wanita itu. Saat ini, Damian Bale bertekad untuk menghancurkan wanita bernama Amelia Haliman sampai ke akar-akarnya. Meskipun hal itu berarti akan menghancurkan ayahnya dan juga dinasti Haliman nantinya.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD