Bab 12 - Party

2768 Words
Suasana di dalam mobil hening. Tidak ada yang berbicara. Setelah peristiwa di Cafe, Handi membanting salah satu kursi dan segera pergi meninggalkan Cafe dalam keadaan marah. Meski cemas, namun Rosy lebih mengkhawatirkan pria yang sedang menyetir di sebelahnya. "Maaf, Ian. Tadi-" "Siapa orang itu?" Nada suara Damian terdengar datar. Pandangannya tampak fokus pada jalanan di depannya. Lelaki itu terlihat sangat tenang mengemudikan mobilnya. Memandang ke depan, Rosy menghela nafasnya dalam. Lebih baik, ia jujur pada suaminya. "Bukan siapa-siapa. Tapi dia memang sering datang ke Cafe, dan lama-lama kami jadi dekat. Dia memang pernah meminta aku menjadi pacarnya, tapi aku tidak mau." "Kenapa?" "Kenapa, apa?" Rosy menoleh pada suaminya, ia kurang mengerti pertanyaan itu. "Kenapa kamu tidak mau menjadi pacarnya?" Suaminya masih memandang ke depan dengan fokus, sama sekali tidak menatap dirinya. "Handi itu playboy. Sebelum menyatakan perasaannya padaku, dia pernah mendekati salah satu pelanggan di Cafe. Mereka sempat dekat. Aku bahkan pernah melihat Handi menc*um wanita itu. Dan sepertinya, mereka pun telah berhubungan lebih jauh karena aku pernah melihat mereka berdua di hotel. Intinya, aku tidak mau menerima barang bekas." Tanpa disadari Rosy, tangan Damian tampak mencengkeram kemudinya lebih erat. "Barang bekas?" Sadar dengan perkataannya, Rosy terdiam. Ia sama sekali tidak tahu mengenai kehidupan suaminya. Bisa saja Damian juga adalah seorang playboy dan lebih parah, orientasi s*ksualnya pun sebelumnya dipertanyakan oleh banyak orang. Kata-kata itu tentu akan sangat menyinggung pria itu, membuat muka wanita itu perlahan memucat. "Maksudku, aku tidak masalah berhubungan dengan pria yang sering berpacaran. Tapi kalau dia sampai pernah... Aku yakin kalau kamu tahu maksudku. Aku tidak perlu menjelaskannya. Aku minta maaf kalau kamu tersinggung." "Dan kenapa aku harus tersinggung?" Jantungnya berdegup kencang dan otaknya berputar untuk mencari jawaban yang aman. "Ian. Kita sama sekali tidak mengenal. Aku tidak tahu bagaimana kehidupanmu dulu tapi aku yakin, kalau kamu terbiasa dengan kehidupan kelas atas. Aku juga yakin kalau pria sepertimu, akan dikelilingi dengan para wanita cantik dan berasal dari kalanganmu sendiri." "Pria sepertiku?" Rosy menelan ludahnya. Ia tidak menyangka kalau percakapan ini dapat menjadi panjang. Kenapa orang ini malah bertanya lebih detail? Tidak mendengar jawaban isterinya, membuat Damian sedikit menoleh. "Apa maksudmu dengan pria sepertiku?" Ekspresi suaminya yang bertanya, membuat Rosy berpaling. Ia tidak mau melihat pria itu. "Tidak ada. Aku tidak mau membicarakannya lagi." Mendengar jawaban itu, Damian terkekeh pelan. Suaranya terdengar ironis dan sedih. "Aku tahu maksudmu dengan 'pria sepertiku'. Kamu mau bilang kalau aku juga adalah barang bekas, bukan? Dan kamu berfikir, kalau aku pria yang mudah berpindah dari satu wanita ke wanita lain. Bahkan mungkin, aku juga pernah berhubungan dengan seorang pria? Sepertinya kamu memang tidak beruntung telah menikahiku yang barang bekas." Mendengar perkataan suaminya yang panjang lebar dan aneh, membuat Rosy berpaling ke pria itu. Kedua alisnya berkerut dalam. Tidak ada intensinya untuk membuat pria itu tersinggung, hanya karena ia menyangka kalau Damian adalah seorang playboy. Bukannya hal yang wajar kalau pria itu doyan berganti-ganti wanita? Lelaki itu memiliki segalanya. Tapi pernyataan suaminya yang terdengar seperti sakit hati, membuat Rosy ingin mengklarifikasi perkataannya tadi. "Bukan itu maksudku, Ian. Aku-" "Kita sudah sampai." Rosy baru tersadar kalau mobil mereka telah berhenti. Kepalanya menoleh ke arah jalan. "Di mana ini?" "Beberapa hari lagi akan ada pesta perjamuan bisnis. Aku akan memperkenalkanmu sebagai isteriku. Kamu belum membeli gaun, kan?" Terlihat Rosy menutup mulut dengan tangannya. Ia benar-benar melupakan hal ini, padahal suaminya telah memberinya kartu khusus untuk belanja dulu. Ia memang baru mengingatnya hari ini, saat pria itu datang ke kantornya. "Maaf. Aku benar-benar lupa." Damian hanya tersenyum samar. Ia membuka seat belt-nya dan meraih pintunya. "Tidak masalah. Kita akan membelinya hari ini. Keluarlah sekarang." Keduanya berjalan dalam diam dan kali ini, Damian tidak menggandeng tangan isterinya. Tidak seperti biasanya. Rosy memandang punggung suaminya dan bertanya-tanya. Ia mulai terbiasa dengan kehangatan tangannya saat berjalan. Apakah dia marah padanya? Suaminya sama sekali tidak berbicara lagi, sampai akhirnya mereka sampai ke salah satu butik terkenal di kota itu. Berusaha tidak mencari masalah dengannya, Rosy hanya mengangguk dan menyetujui semua pilihan gaun Damian. Saat ini, ia sedang berjalan pada seutas benang tipis. Sekali salah jalan, hidup dirinya dan adiknya akan langsung jatuh ke dasar. Selesai dari butik, Damian ternyata mengantarkan isterinya ke rumah. Ia juga membantu membawakan pakaian-pakaian baru Rosy ke dalam kamar ganti mereka. Menatap isterinya yang sedang menata gaun-gaun di lemari, Damian bertanya pelan pada wanita itu. "Kamu benci barang bekas?" Pertanyaan itu membuat Rosy menoleh. Raut suaminya tidak terbaca, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang tampak aneh dan membuat jantung wanita itu berdebar. Entah kenapa, tapi ia tidak mau menyakiti lelaki di depannya ini. "Tidak juga. Banyak barang bekas yang masih bermanfaat dan dapat digunakan lagi. Tergantung dari bagaimana kita melihatnya." Wanita itu berusaha memberikan jawaban yang senetral mungkin dan tidak menyinggung. Semakin lama kenal suaminya, Rosy mulai menangkap banyak hal-hal yang janggal dari pria itu tentang masa lalunya. Tapi saat ini, ia sama sekali belum mengetahuinya secara jelas. "Bagaimana dengan barang yang telah dibuang oleh orang lain? Apakah kamu masih mau menerimanya?" Pertanyaan itu membuat Rosy benar-benar menghentikan kegiatannya. Ia berdiri menghadap suaminya dengan kedua alis yang berkerut dalam. "Ian. Kamu sebenarnya mau mengatakan apa?" "Bagaimana menurutmu mengenai pria yang pernah berhubungan s*ks dengan wanita lain?" Perubahan topik yang mendadak ini membuat wanita itu semakin mengerutkan alisnya. "Kamu menanyakan pendapatku? Bukannya tadi di mobil, aku sudah mengatakannya?" "Ya. Pendapatmu. Aku ingin mendengarnya dengan lebih jelas." Tahu kalau suaminya ngotot, membuat Rosy menghela nafasnya dengan berat. Sepertinya topik ini cukup penting bagi pria itu. "Aku pribadi tidak menyukainya." "Karena mereka bekas pakai?" "Ya. Karena itu." "Hanya karena itu?" "Ian. Kamu tahu sendiri, kalau masyarakat kita tidak adil. Mereka menuntut perempuan dapat menjaga dirinya sebelum menikah, tapi bagaimana dengan para pria?" Rosy menatap suaminya dengan pandangan yang tajam. "Aku tidak menghakimi mereka yang memiliki gaya hidup seperti itu. Terserah mereka, karena aku juga memiliki beberapa teman dengan lifestyle demikian. Tapi masalahnya, aku tidak terima saat seorang pria menikah, mereka menuntut mendapatkan wanita yang masih suci. Apakah itu tidak lucu bagimu?" "Apakah Handi juga seperti itu?" Rosy terlihat marah mendengar pertanyaan itu. Ia masih kesal dengan pria muda itu yang dengan seenaknya menafsirkan perasaannya. "Kenapa kita membicarakan dia? Tapi ya. Dia memang seperti itu. Kalau kamu mau tahu, dia pernah menanyakan langsung padaku, apakah aku masih perawan atau tidak. Dan pada saat itulah, aku benar-benar merasa muak pada dirinya. Tapi sebagai teman, aku masih mau mentoleransinya." "Kamu juga menginginkan mendapatkan pria yang masih suci?" Pertanyaan itu membuat Rosy terkekeh ironis. "Siapa yang tidak mau? Tapi masalahnya di jaman sekarang, hampir sulit menemukan pria yang dapat menjaga dirinya dengan baik. Justru sepertinya, semakin banyak wanita yang ditaklukannya, semakin besar kebanggaan mereka. Itu juga termasuk kamu, kan?" Mata biru suaminya terlihat bergerak-gerak. Baru kali ini, Rosy melihat ada emosi kuat di mata yang biasanya menyorot dingin dan tanpa ekspresi itu. Wanita itu seperti merasakan adanya ketakutan dan juga kesakitan di dalam sorot mata birunya. Ia mulai merasa menyesal telah melontarkan tuduhan tadi pada pria itu. Tiba-tiba suaminya berbalik, dan tanpa menoleh ia menuju pintu keluar. "Ian?" "Aku akan kembali ke kantor. Tidak usah menyiapkan makan malam." Tidak lama, terdengar deru mobil suaminya yang meninggalkan garasi, meninggalkan wanita itu sendirian di rumahnya dengan benak yang bertanya-tanya. Malam itu Rosy menunggu suaminya pulang dan benar saja, sampai jam menunjukkan angka 22.30, pria itu masih belum datang ke rumah. Ia akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, dan tidak lama tertidur karena lelah menunggu. Tengah malam, seperti biasanya Rosy terbangun dari tidurnya. Menoleh ke belakang, wanita itu lega ketika melihat kepala suaminya yang menempel di punggungnya. Pria itu ternyata sudah pulang dan sedang tertidur pulas di belakangnya. Tidak seperti sebelumnya, Rosy merasakan dorongan kuat untuk berbalik dan menghadap suaminya. Kepala pria itu tidak lama kembali mendekatinya dan menempelkannya ke tubuh isterinya. Hanya saja, kali ini menempel di d*danya. Lelaki itu semakin menenggelamkan wajah di kelembutan isterinya. Tubuhnya tampak meringkuk seperti janin. Seperti ketakutan. Aneh sekali. Ragu-ragu, tangan Rosy perlahan naik dan mulai mengelus rambut suaminya yang hitam. Rambut itu tebal dan terasa halus di tangannya, membuat wanita itu mengusap-usapnya lembut. Baru kali ini, ia berani menyentuh kepala suaminya dengan sengaja. Ian... Kamu kenapa tadi sore? "Hhh... Lepaskan... Tidak..." Mendengar suara suaminya yang mengigau, membuat Rosy refleks mengusap pipi pria itu. Ketika menyentuh pipi Damian, wanita itu kaget saat merasakan ada aliran air di sana. Sedikit mengangkat kepalanya, ia melihat salah satu sudut mata suaminya ternyata mengeluarkan air. Pria itu menangis, dan mukanya terlihat berkerut. Kepala suaminya semakin menekan d*danya, dan pria itu memeluk tubuhnya sendiri seperti bola. Perilaku pria ini membuat Rosy bertanya-tanya, apa yang sedang diimpikannya? Ian? Kamu kenapa? Kamu mimpi apa sih? Merasa kalau pria itu membutuhkannya, Rosy memeluk tubuh Damian dengan erat. Dagunya ia letakkan di ubun-ubun pria itu, dan tangannya mengusap-usap punggungnya lembut. "Ian. Sebenarnya kamu kenapa?" Sepanjang malam, ia mengetatkan pelukan pada suaminya sampai pria itu kembali tenang. Rosy pun akhirnya tertidur masih sambil memeluk kepala Damian di d*danya. Keesokan harinya, Rosy terbangun sendirian. Baru kali ini, suaminya tidak menyentuhnya di pagi hari. Biasanya Damian akan mengganggu tidurnya dengan mengg*rayanginya sesukanya, dan mereka pun akan berakhir melepaskan h*srat masing-masing. Suara pintu kamar mandi yang terbuka, membuat wanita itu menoleh dan melihat suaminya yang keluar mengenakan jubah mandi. Rambut basah pria itu menempel di keningnya, dan salah satu tangannya memegang handuk untuk mengeringkannya. "Mandilah. Aku akan mengantarmu ke Cafe." Tampak Damian melangkah ke kamar ganti dan meninggalkan Rosy yang masih mematung di tempat tidurnya. Berusaha mengumpulkan kesadarannya, ia pun akhirnya bangkit dengan kecewa dari tidurnya dan menuju kamar mandi. Tubuhnya terasa lesu. Sepertinya, ia mulai ketagihan untuk mendapatkan energi segar di pagi hari dari suaminya. Perjalanan ke Cafe diwarnai oleh keheningan. Wanita itu menelan ludahnya ketika melirik suaminya yang tampak tenang menyetir. Pria itu hanya diam sepanjang perjalanan. Padahal biasanya, lelaki itu akan bercakap-cakap pendek dengannya. Apapun topik yang dibicarakan akan selalu menarik dan dapat mengikis waktu perjalanan yang cukup panjang itu. Rosy ingin bertanya, tapi takut dengan reaksi suaminya. Meski sudah mulai berani pada pria itu, tapi tetap saja Rosy masih sangat khawatir tindakannya akan berdampak negatif nantinya. Ia masih sangat berhati-hati pada suaminya. Sampai di Cafe, seperti biasanya Rosy turun dan sebelum menutup pintu, wanita itu menatap suaminya. Jantungnya berdebum di d*danya. "Terima kasih telah mengantarku. Nanti malam, kamu mau makan apa?" Kepala Damian menggeleng pelan. Ia tidak memandang isterinya. Rosy hanya dapat menatap profil samping suaminya yang sedang menghadap jalanan di depannya. "Tidak usah menyiapkan apapun untukku. Nanti malam, aku akan lembur di kantor." Kembali Rosy terkejut dengan perilaku Damian yang tidak seperti biasanya. Pria itu hampir tidak pernah melewatkan makan malamnya sehingga kedua kalinya ia menolak untuk makan di rumah, membuat hati Rosy tercubit. Ia sudah mulai terbiasa dengan keberadaan suaminya untuk makan malam bersama hampir setiap hari. "Nanti malam, aku akan ada meeting dengan salah satu klien. Kamu makanlah duluan dan jangan menungguku. Tidak masalah, kan?" Ian. Kamu kenapa sih? Betapa inginnya Rosy meneriakkan pertanyaan itu pada suaminya, tapi ia sama sekali tidak berani. Ia takut kalau reaksi pria itu tidak sesuai dengan harapannya. "Oke. Tapi, kamu jangan sampai lupa makan di kantor ya. Selamat bekerja." Ia pun menutup pintu mobil suaminya, dan masih setia memandang kepergian pria itu sampai mobilnya menghilang di pojokan jalan. Menghela nafas, Rosy akhirnya masuk ke Cafe dan paginya diserang dengan berbagai pertanyaan dari para pegawainya mengenai statusnya yang ternyata sudah menikah. Menarik nafasnya dalam, wanita itu pun meminta pegawainya untuk berkumpul di tengah ruangan. Ia memberikan briefing yang telah direncanakannya sejak kemarin. Meski hatinya sedikit nyeri, tapi Rosy menyadari statusnya saat ini yang tidak jelas. Ia memang isteri dari Damian Bale, tapi juga bukanlah isteri yang sesungguhnya. Entah apa status sebenarnya di mata seorang Damian Bale. Karena sampai sekarang pun, suaminya tidak pernah memperkenalkannya pada keluarga pria itu atau siapa pun. Rosy tadinya tidak mau memikirkan masalah dengan suaminya lebih lanjut, tapi perilakunya yang dingin selama lebih dari lima hari berturut-turut, pada akhirnya mulai membuat wanita itu gelisah. Damian bahkan tidak pernah menyentuhnya lagi. Hal ini berlangsung terus, sampai tiba saatnya dimana Rosy harus mengenakan gaun yang dulu dibelinya bersama suaminya di butik. Malam ini, adalah malam perdana Rosy untuk berperan sebagai isteri seorang Damian Bale. Pria itu mengajaknya ke jamuan makan malam bisnis yang cukup eksklusif, dan akan mempertemukannya dengan beberapa kliennya di sana. Menyadari betapa penting hal ini bagi suaminya, membuat Rosy berdebar dan sedikit gugup. Ia tidak ingin mempermalukan pria itu. Selain karena masalah adiknya, sebagai seorang isteri pun Rosy ingin tampil dengan percaya diri dan dapat membanggakan suaminya. Terutama karena Damian ternyata memperkenalkan dirinya sebagai isterinya. Dalam hatinya, wanita itu merasa bahagia akhirnya dapat bersanding dengan bangga di samping suaminya. Acara itu berjalan dengan lancar dan Rosy dapat memainkan perannya dengan cukup baik. Pengetahuannya dulu sebagai seorang lulusan Arsitektur dan pernah bekerja di kantor konsultan cukup lama, ternyata memberikan banyak keuntungan di saat ia terlibat dalam pembicaraan bisnis bersama suaminya. Beberapa klien suaminya terlihat puas dan pria itu pun tampak berhasil menjalin kesepakatan baru dengan mereka dengan tanpa banyak kesulitan. Paul sebagai asisten suaminya, terlihat mendampingi pria itu saat mereka membicarakan hal-hal yang lebih teknis. Sedikit menjauh dari kerumunan itu, Rosy mencoba mencari minuman yang dapat melegakan tenggorokannya yang mengering. Karena rasa gugup dan tekanan untuk dapat membawa dirinya dengan baik, membuat wanita itu merasa haus saat ini. Ia baru akan menyesap champagne-nya sambil berbalik, dan melihat sosok suaminya yang ternyata telah ditemani oleh seorang wanita. Wanita di samping suaminya sangatlah cantik. Tubuhnya tinggi dan memiliki aset yang cukup besar. Pinggulnya berisi dan seksi. Gaunnya memiliki belahan yang tinggi di bagian d*da dan juga pahanya. Seksi sekali. Ukuran d*daku bahkan tidak sebesar itu. Sambil minum, ia membandingkan wanita itu dengan dirinya sendiri saat ini. Ia mengenakan gaun yang dipilih oleh suaminya, gaun berlengan sesiku dan bergaris leher cukup tinggi yang menutupi belahan d*danya. Panjang gaun berwarna hijau lumut itu sangatlah sopan. Ia terlihat sangat berkelas, tapi jauh dari kata seksi. Melihat wanita itu menyentuh lengan Damian, mata Rosy sedikit memanas ketika menyadari kalau suaminya tidak menepis tangan itu. Ia memalingkan muka saat ada yang menyapanya, tepat ketika suaminya menoleh karena menyadari tatapannya. Ia tidak akan selingkuh, tapi juga tidak menolak bila ada wanita lain yang melemparkan diri padanya. Dasar s*alan! Semua pria sama saja br*ngseknya! Tidak bisa melihat ada ikan asin yang menganggur di depannya! Oh, Rose. Apa kau mulai cemburu? Berusaha menepiskan pikiran ngawurnya dan fokus untuk membawa dirinya dengan baik, Rosy tersenyum pada pria yang menyapanya dan mereka mengobrol dengan cukup akrab. Wanita ini tahu kalau pria itu adalah salah satu klien suaminya, membuatnya sadar diri dengan peranannya saat ini. Pesta itu berlangsung cukup larut dan mereka berdua baru kembali ke rumah menjelang tengah malam. Dan sudah beberapa hari ini, perjalanan di dalam mobil selalu diwarnai dengan keheningan. Keadaan ini lama kelamaan membuat Rosy merasa sesak. Setidaknya ia ingin sedikit mengobrol dengan suaminya dalam suasana santai. "Ian?" "Hmm?" Pria itu tidak menoleh padanya dan tampak fokus pada jalanan di depannya. "Aku ingin bertanya padamu tapi janji, kamu jangan marah." Suaminya malah terkekeh pelan. Ia masih belum menoleh. "Memangnya kamu mau menanyakan apa?" "Soalnya tadi kamu kelihatan tidak suka. Aku menanyakannya, hanya karena penasaran." Damian menoleh sedikit pada isterinya dan mencubit pipi wanita itu pelan, membuat Rosy sedikit terkejut. Baru kali ini, pria itu menyentuhnya lagi dengan akrab. "Kamu mau bertanya apa, Rose?" Berusaha mengatur debaran jantungnya, Rosy menelan ludahnya. Ia menatap suaminya yang masih memandang ke jalanan dengan intens. "Wanita tadi. Kamu kenal dia?" "Wanita yang mana?" "Yang berbaju seksi. Gaun silver, d*da terbuka dan belahan pahanya tinggi. Tadi dia menyapa kamu sebelum pulang." Pertanyaan itu tidak langsung dijawab suaminya. Ia malah bertanya balik. "Kamu sama sekali tidak tahu siapa dia?" Rosy mengerutkan kedua alisnya. Ia sama sekali tidak mengingat wanita seksi itu. "Seingatku, aku belum pernah bertemu dengannya. Memangnya siapa dia?" Terdengar tarikan nafas yang dalam dari suaminya, sebelum ia menjawab. "Dia isteri kedua dari Daniel Haliman. Amelia Haliman." Sontak kedua mata Rosy membulat dan dia langsung menoleh pada suaminya. "Amelia Haliman? Ibunya Ariana Haliman?" "Ya. Orang itu." Terhenyak di duduknya, Rosy hanya bisa termangu. Seingatnya, wanita itu berdandan cukup sederhana ketika berada di pengadilan. Tapi gayanya malam ini, sangat berbeda jauh. Wanita itu terlihat glamor dan sangat seksi. Terlalu seksi malah. Ia sampai tidak mengenalinya. "Kenapa kamu menanyakannya, Rose?" Tersadar dengan pertanyaan suaminya, Rosy menoleh pada pria itu. "Ehem... Aku tidak mengira dia Amelia Haliman. Tampangnya jauh beda dengan saat aku menemuinya di pengadilan." "Dia memang wanita seperti itu. Seperti bunglon." Menangkap nada tidak suka dari pria itu, Rosy malah makin penasaran. "Kamu tidak menyukainya? Bukannya dia ibumu, Ian?" "Dia bukan ibuku, Rose. Dia hanyalah isteri kedua Daniel Haliman. Dan aku bukannya tidak menyukainya. Aku sangat membencinya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD