Happy Reading ...
------------------
"Apa?" Kedua alis Topaz bertautan menunjukkan ekspresi terkejut.
Ruby menjauhkan pandangan matanya, "Ruby akan menikah dengan kak Safir." lirihnya.
Netra Topaz membulat dengan sempurna. Tidak percaya akan ucapan kekasihnya.
"By, jangan bercanda." Topaz menarik tangan Ruby.
"Maafkan aku, kak. Tapi, itulah yang terjadi. Aku akan menikah dengan Safir." Ruby bahkan tidak tahan untuk tidak menangis. Membayangkan menikah dengan Safir. Pria berstatus ipar hanya demi mewujudkan keinginan sang kakak.
"Ruby." Topaz menyapu basah di wajah kekasihnya.
"Kita berakhir, kak. Kita putus. Maafkan Ruby."
"Aku nggak mau, By."
"Kau tidak dengar? Ruby akan menikah kak!"
"By, ayo kita temui kedua orang tua kamu. Kenalkan aku sebagai kekasihmu."
"Percuma kak. Mereka nggak bakal setuju. Keinginan putri mereka yang lebih utama dibandingkan kebahagian Ruby." Ruby menyeka air mata. Tidak peduli mereka jadi tontonan sebagian orang di kafe itu. Salahnya membuat janji di tempat umum untuk membicarakan sesuatu yang privasi.
"Kau juga putri mereka. Jika kita jelaskan hubungan kita mungkin Paman dan Bibi akan berpikir dua kali."
"Papa sakit, dan aku tidak mau menjadi sebab utama penyakit Papa. Jadi hubungan kita yang harus dikorbankan."
"Oh gosh." Topaz menekan kedua tangan di atas kepala. Melihat ke sana kemari. Kepalanya serasa ingin meledak. Bagaimana bisa penyakit Papanya menjadi alasan untuk Ruby merelakan kebahagiannya.
Bukankah orang tua itu bangga jika melihat putri mereka bahagia?
Ini egois!
Topaz menaikkan sudut bibirnya.
'Pasti Safir yang menjadi dalang dari semua ini. Dia pasti memprovokasi kedua orang tua Ruby supaya menyerahkan putri mereka untuknya. Serakah! Dan aku tidak akan rela jika Ruby Ku diambil olehnya.
"Sampai kapanpun, aku tidak mau putus. " ucap Topaz pasti. Kemudian beranjak dari tempat duduknya dan menyeret langkahnya meninggalkan Ruby di tempat itu.
****
"Ruby setuju?" tanya Safir pada Ibu mertuanya. Mereka kini duduk melingkar di kursi jati bercat coklat yang ada di beranda rumah Safir.
"Ayah mertuamu Safir. Dia sakit karena kepikiran keinginan mendiang istrimu. Ibu, juga tidak berharap ini terjadi. Kebahagian kalian yang terpenting. Hanya saja, beberapa hari sebelum penolakan kalian untuk menikah, mendiang istrimu selalu hadir dalam mimpi Gemma. Mungkin karena Intan sangat dekat dengan ayah mertuamu, jadi selalu datang dan bertanya kapan Ruby menggantikannya jadi ibu Kristal." ujar Kalimaya.
Kalimaya menimang-nimang Kristal dalam pangkuannya. Kristal sangat lucu dan anteng berada di tangan Oma nya.
"Safir, kamu itu ya plin-plan. Kemari sudah yakin akan nikahi Ruby. Eh, tiba-tiba aja kamu batalkan bikin malu saja." Amber menimpali, berdecak.
"Masalahnya, Ma. Aku nggak bisa paksakan Ruby menikah denganku. Dia juga belum dewasa. Pun …." Safir menggantungkan ucapannya. Ia tidak ingin mengatakan jika Ruby sudah memiliki kekasih.
"Seperti yang dikatakan Ibu mertuamu. Ruby setuju menikah denganmu. Sekarang kamu yang harus tegas. Temui Ruby dan bicarakan rencana pernikahan kalian." Amber menimpali ucapan putranya.
Safir menghela nafas panjang, memperhatikan Kristal di pangkuan Ibu mertuanya.
"Bagaimana keadaan ayah, Bu?"
"Sudah mendingan, Fir."
Safir merasa lega, ia menoleh pada Ibunya dan berujar. " Nanti aku temui Ruby. Kami akan putuskan kapan pernikahan ini diadakan." ucap Safir, melihat kedua wanita paruh baya disampingnya secara bergantian.
*
Ruby memasuki sebuah kafe dalam mall, mencari keberadaan Safir di tempat mereka buat janji temu. Ia mengedarkan tatapannya ke seluruh ruangan mencari Safir.
"Ruby." Safir melambaikan tangan memanggil adik iparnya. Ruby tidak mendengar dan masih menjelajah ruangan itu dengan mata bulatnya.
"Manja." Panggil Safir melambaikan tangan.
Ruby melihat ke arah sumber suara. Safir duduk di salah satu meja kafe. Ia menghampiri, menarik tempat duduk untuknya. Wajahnya sangat malas.
"Jangan manggil-manggil nama manja di depan umum. Itu bukan nama Ruby." kesal, meletakkan tas di bangku sebelahnya.
Safir tersenyum, "tapi, kamu respon kan?" tanya Safir.
Ruby mendengus, melipat lengan di depan dαda. "Kakak mau ngomong apa?" tanya Ruby.
"Kamu sudah makan."
"Belum,"
"Kalau begitu makan dulu."
"Udahlah, Kak. Ruby bisa makan di rumah. Cepetan, apa yang mau di omongin."
"By, yang kita baha—"
"Ini tentang pernikahan kita, kan?" potong Ruby.
"Yah,"
"Ah, males banget sih." Ruby ngedumel.
Safir menyandarkan punggungnya pada sandaran kursinya. Memperhatikan wajah murung Ruby.
"Ayo kak, ngomong. Kenapa malah ngelihatan Ruby, sih?" Ketus Ruby.
"By, kamu ini kenapa sih? Kenapa jengkel begitu melihat kakak."
"Karena kak Safir nggak bisa diandalkan."
"Maksudnya apa?"
"Seharusnya, kakak nggak perlu bilang sama Papa. Kalau Ruby juga ikut setuju menolak keinginan kak Intan. Seharusnya kakak buat mereka kecewa. Atau ... atau,...bilang sama Mama Papa kalau kak Safir sudah punya ibu yang tepat untuk Kristal." Ruby berujar cepat, blepotan.
Safir jengah, Ruby justru menyalahkannya. Sementara dia sudah berupaya menolak sesuai keinginan Ruby.
Safir memperhatikan adik iparnya itu kemudian tersenyum miring. Tertantang untuk segera menjadikan Ruby miliknya.
"Semua sudah sepakat, aku sudah bicara dengan Ayah Ibu. Kita menikah." ucap Safir tegas.
"Aku nggak suka sama kamu."
"Kamu pikir aku menyukaimu?" tanya Safir dengan nada mengejek.
"Iya kakak menyukai Ruby."
"Astaga."
"Astaga apa? Ngaku aja kalau kakak sangat bahagia menikah dengan Ruby." tukas Ruby dengan nada cepat.
Safir tergelak, "andai saja aku bisa membuangmu ke laut."
"Supaya apa?"
"Untuk menghindari pernikahan ini."
"Halah omong kosong. Lihat wajahmu itu, berbinar seperti mentari terbit di awan hitam." cecar Ruby.
Safir menahan tawa dengan cara menutup mulutnya dengan tangan. Kali pertama berdebat dengan Ruby, menggelitik hatinya.
"Kau bukan tipeku Ruby, manja, kekanak-kanakan dan urakan." Safir memindai penampilan Ruby.
"Kak Safir juga bukan Tipe, Ruby. Pria standar kayak merek pulpen."
"Eh?" Safir tergelak. Mereka benar-benar menjadi tontonan orang disekitarnya.
"Dasar dαda rata." gumam Safir. Spontan menutup mulutnya sendiri dan menjadi kikuk. Tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulutnya barusan. Dia bersikap tidak sopan dengan adik iparnya itu.
Ruby menurunkan pandangannya pada dadanya.
"By, By, maaf. Aku tidak bermaksud ---"
"Dasar sialan!" sahut Ruby memicingkan mata pada Safir.
Safir ingin mengakhiri perdebatan mereka, "Maaf Ruby," sesalnya.
"Jangan harap hubungan kita bisa seperti hubungan kamu dengan kak Intan. Itu nggak akan terjadi."
Safir menghela nafas panjang,"tentu saja, Ruby. Sekalipun kamu hadir sebagai ganti Intan. Kamu nggak akan bisa menggeser Intan di hati ini."
"Sama. Dihati Ruby hanya ada kak Topaz. Kak Safir hanya pria sialan yang menerobos masuk."
Safir memalingkan wajah, mengulum senyum mendengar ucapan berapi-api dari mulut adiknya itu.
Jujur saja wajah kecil nan merona itu ingin Safir cubit. Tapi, ia tahu Ruby dalam keadaan marah. Ia tak ingin membuat Ruby semakin panas.
"Jadi, kapan rencana kita nikah?" tanya Safir setelah mereka membisu sebentar.
"Terserah kak Safir. Tapi, sebelum menikah. Ruby punya sesuatu untuk kak Safir."
Safir menyipitkan mata melihat Ruby mengeluarkan sesuatu dari dalam tas nya. Kemudian meletakkan di hadapan Safir.
"Apa ini?"
"Surat kontrak,"
"Maksudnya?" tanya Safir dengan dahi berkerut.
"Kita menikah di atas surat perjanjian."
"Kon, kon, kontrak nikah?" tanya Safir terbata saat membaca kepala surat itu.
"Iya,"
Safir mendengus, ia meletakkan kembali berkas itu di atas meja. Menatap Ruby dengan lekat.
"Apa yang kamu pikirkan, By?" tanya Safir, heran melihat Ruby.
"Kak Safir belum baca isinya."
"Kamu belajar dari mana coba, sampai kepikiran buat yang beginian." Safir mengetuk ngetuk jarinya di atas surat kontrak.
"Kakak belum baca isinya."
"Jangan kebanyakan nonton drama kamu." sahutnya.
"Baca isinya." Desak Ruby, menggeram.
"Aku sudah tahu isinya. Cerai di usia pernikahan berapa? Enam bulan? Satu tahun?"
"Dua tahun."
"Oh, lebih lama dari yang aku pikirkan."
"Baca isinya, kak." Desak Ruby lagi.
"Huh,"
Safir membaca kembali surat kontrak itu secara seksama, ada banyak pasal disana dan tak satupun yang menguntungkan baginya. Intinya dalam hubungan mereka tidak perlu menggunakan perasaan. Ruby bebas melakukan apapun diluar rumah bahkan menemui kekasihnya.
Tidak ada hubungan intens suami istri. Sabtu-Minggu Ruby Free dari Kristal.
Safir melihat Ruby dan meletakkan surat kontrak itu di atas meja.
"Apa kekasihmu itu tau kita akan menikah?" tanya Safir.
"Mmm,"
"Dan nikah kontrak ini ide dia?"
"Nggak. Semua ini ide Ruby. Kak Topaz tidak tahu menahu tentang ini." ucap Ruby.
"Ck,"
"Ck, apa?"
"Berikan pulpen nya."
Ruby menyerahkan pena untuk Safir. Pria itu setuju, kemudian menandatangani berkas di atas materai. Safir memberikan pada Ruby.
"Kau senang?" tanya Safir.
"Sedikit." gumam Ruby. Melihat tanda tangan Safir di berkas itu. Ada senyum tipis di bibirnya. Kemudian menyimpan ke dalam tas.
"Ruby lapar," ucapnya melihat Safir.
Astaga anak ini, tadi nolak pas di tawarin.
"Diantara poin surat perjanjian itu, aku tidak membaca tentang uang. Kamu tidak tertarik dengan uang kakak?"
"Nggak."
"Jadi saat kita nikah, biaya hidupmu bagaimana? Maksudku seperti uang kuliahmu. Kakak nggak mau dong bayar mahal uang kuliah kamu tapi, yang nikmati hasilnya si Kopad itu.
"Topaz kak. Topaz." Ralat Ruby, melotot melihat Safir.
"Ah, maaf lidah kakak keseleo."
"Iss …" Ruby mendesis, melipat lengan di depan dadanya. " Tentu Ruby tanggung jawab kakak."
"Oh~itu tidak boleh. Cari duit itu susah." Safir mengambil gelas Capucinonya dan menyedot isinya lewat sedotan.
"Ya sudah, kak Safir tinggal jawab Papa Mama, saat mereka bertanya kenapa Ruby musti kerja sementara suaminya berlimpah uang."
"Aku bukan suamimu."
"Dalam waktu dua tahun kakak suami Ruby."
"Isi surat kontrak itu menjelaskan kalau aku tidak boleh mengatur hidup kamu. Dan masih banyak lain-lainnya. Menurutmu apa ada suami istri seperti itu?"
"Ya sudah, jangan bayar uang kuliah Ruby. Aku akan berhenti kuliah."
"Kau akan bodoh."
"Persetan." Ruby beranjak dari duduknya. "Dasar pelit, Ruby bilang lapar aja nggak dihiraukan sama kakak apalagi mau bayar uang kuliah Ruby." Cecar Ruby, kemudian meninggalkan Safir membeo melihat tingkah Ruby.
****
Kalimaya memotong kuku jari Ruby yang sedang berbaring di sofa seraya memainkan ponselnya.
"Kamu sudah memikirkan konsep pernikahan kamu, By? Mama ingin kamu terlihat cantik di hari pernikahanmu." ujar Kalimaya.
Ruby berdecak. Pernikahan apa? Seolah itu keinginannya.
"Ngapain aku mikirin itu, Ruby juga nikah bukan dari hati."ketusnya.
"Huss, jangan bilang gitu, By. Memangnya apa kurangnya Safir. Dia pria baik, buktinya Intan bahagia selama pernikahan mereka."
"Itu karena mereka saling mencintai, nyonya. Kenapa sesulit itu memahaminya, sih? Ruby juga pasti bahagia jika menikah dengan pria yang aku cinta. Bahkan lebih bahagia dari kak Intan." Cecar Ruby.
"Halah, cewek urakan begini. Cowok mana yang mau sama kamu." Cemooh Kalimaya. " potong kuku aja nggak bisa." tambahnya dengan nada jengkel.
"Banyak."
"Siapa?"
Ruby menarik pelan kakinya dari tangan Kalimaya, Ia beringsut bangun dan menurunkan kedua kakinya dari sofa.
Kalau aku ngaku punya pacar … kira-kira respon Mama seperti apa?
"Apa? Benar kan kata Mama? Siapa yang mau sama kamu. Menikah dengan safir itu sudah sebuah keberuntungan untukmu, By. Safir baik, kaya, profesinya bagus, yang pasti idaman para perempuan," Kalimaya memuji menantunya sebaik mungkin.
"Sini tanganmu, nanti kalau dah nikah minta tolong siapa potong kuku kamu. Tukang jagal di pasar?" celetuk Kalimaya.
Ruby mencibirkan bibir, masih penasaran apa respon Kalimaya jika dia sudah punya kekasih lantas Ruby berujar. "Mama,"
"Umm,"
"Ruby itu sebenarnya punya pacar." akunya.
Kalimaya melirik putrinya sebentar kemudian terkekeh geli, tidak percaya.
"Mama kenapa ketawa?" tanya Ruby.
"Kalian sudah sepakat menikah. Pun, andai kau punya kekasih di luar sana tanpa kami tau, kami akan tetap menikahkan kamu dengan laki-laki yang sudah jelas. Safir tetap menjadi pilihan kami." tegas Kalimaya.
Ruby memutar bola matanya. "Tapi pacar Ruby juga jelas, Ma."
"Dia belum pernah hidup bersama kita,"
Ruby menarik tangannya dari Kalimaya, kemudian mendekat. "Gimana kalau aku kenalin dia sama Mama Papa. Biar Mama kenal dan bisa menilainya, baik atau nggak."
"Tidak perlu." Tolak Kalimaya dengan jelas. "Jangan buang waktu untuk itu. Fokus aja pada pernikahan kamu yang tidak lama lagi akan diadakan." sambungnya. Ruby memasang raut masam melihat Kalimaya pergi meninggalkannya.
Safir, Safir, Safir. SAPI.
Ruby merepet. Kembali berbaring di sofa dan berteriak. "SAPI!" teriaknya kesal memenuhi ruang tamu itu. Kalimaya berdecak mendengarnya di dapur.
****
Topaz menemui Safir dan mengajaknya bicara di kedai kopi di dekat klinik Safir.
"Aku mencintainya dan kau datang seenaknya menghancurkan hubungan kami." ucap Topaz menyeringai pada Safir.
"Kau sudah bertemu dengan Ruby?" tanya Safir.
Ini tentang kontrak yang sudah ditandatangani olehnya. Haruskah dia menjelaskan pada pria ini, kalau hubungan mereka hanya akan terikat sampai dua tahun saja. Sejujurnya ini sangat memalukan untuk dibahas olehnya. Tapi, kepalanya mulai terasa pusing dibuat sejoli itu, seolah dirinyalah yang memutuskan untuk menikah.
Perlu diingatkan kalau Safir sudah menarik ucapannya untuk menikahi Ruby. Tapi, gadis bodoh itu mengatakan Yes pada kedua orang tuanya dan membawakan surat kontrak yang berisi poin merugikan Safir.
"Pikirkan kembali untuk menikah dengannya. Kau tidak bisa membuat seseorang menderita hanya untuk mewujudkan keinginan orang asing."
"Orang asing? Hei, ini permintaan istriku. Dan Ruby adiknya. Orang asing itu dirimu."Geram Safir. Jengkel istrinya disebut orang asing oleh Topaz.
Sesaat Topaz diam, "kami saling mencintai, apa kamu tidak merasa risih hidup dengan perempuan yang tidak mencintaimu?
"Kontrak yang diberikan Ruby padaku. Itu bukan idemu?" tanya Safir.
Topaz mengerutkan keningnya. Ia belum bicara dengan Ruby setelah gadis itu memutus hubungan mereka. 'kontrak apa?' pikirnya.
"Aku punya banyak mimpi bersamanya, Bang. Menikah dan hidup bahagia. Saya sangat berharap pengertian darimu. Tolong batalkan rencana pernikahan kalian. Mari kita menjadi keluarga. Kau tetap menjadi kakak Ruby dan kakak juga. Aku mohon.." pinta Topaz, merendahkan kepalanya di hadapan Safir.
Safir menghela nafas, pada posisi ini ia merasa menjadi antagonis dalam hubungan Ruby dan Topaz. Namun, tidak mungkin membatalkan ucapannya untuk kedua kalinya.
"Maaf aku tidak bisa membantumu. Baik Ruby dan aku sudah sepakat untuk menikah. Kita akhiri saja pembicaraan ini." ucap Safir mengakhiri pembicaraan mereka. Safir meninggalkan Topaz terpaku di meja itu. Tanpa hasil.
****
Topaz terkekeh garing membaca kontrak nikah yang ditunjukkan Ruby padanya, disana jelas tanda tangan Safir. Bukan ini yang diinginkan Topaz, tapi menolak tegas menikah dengan Safir.
"Kau masih waras, By?" tanya Topaz, mengembalikan surat kontrak itu.
Jadi ini yang dimaksud pria itu? Pikirnya.
"Jadi aku harus bagaimana?" tanya Ruby.
"Cuma satu cara untuk itu, By. Kenalkan aku sebagai pacar." tekan Topaz.
"Mama Papa nggak akan terima, Paz. Mereka tuh serius untuk menikahkan aku dengan kak Safir." tegas Ruby.
"Kita belum coba, kau sudah menyimpulkan apa yang akan terjadi."
"Ruby sudah bertanya kak. Aku sudah bilang punya pacar. Dan mama tuli mengenai ini." jelas Ruby, sedih.
Topaz meremas rambutnya ke belakang, sedikit menekan kuat jari-jari panjang itu di kepala.
"Cuma dua tahun, Paz. Dan itu hanya status. Seperti isi kontrak. Begitu aku cerai dari kak Safir. Kita bisa melanjutkan hubungan kita ke pernikahan. Aku akan buat Safir buruk dimata orang tuaku, sebagai cara untuk bercerai darinya."
"Konyol." Cibir Topaz. Ia bersandar pada sandaran bangku taman."Aku tidak setuju, Ruby. Kita lebih baik putus." pungkas Topaz.
"Paz …" desis Ruby, menatap Topaz penuh harap.
"Aku nggak bisa, By. Astaga." Topaz menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
"Ya sudah, aku tidak bisa memaksakan kita tetap bersama. Kalau kita memang harus putus." Ruby menekan gigi kuat di bibir bawahnya." aku setuju, Paz." Ruby memasukkan surat kontrak ke dalam tas nya. Ia beranjak dari tempat itu. Meninggalkan Topaz dalam keadaan gundah.
Dia melarangku menemui orang tuanya. Artinya dia memang menginginkan ini semua. Benak Topaz menatap Ruby menjauh dari tempat itu.
***
Ruby melempar ranselnya di atas sofa, melepas sepatu dari kaki dan membuangnya asal di ruang tamu. Satunya masih dipakai berjalan menuju meja makan. Meskipun dalam keadaan kesal, ia tetap saja memikirkan pasukan di dalam perutnya yang sedang demo demi sebutir nasi.
Ruby membuka tudung saji, mengambil tempe goreng dan melahapnya. Berjalan menuju kulkas, mengambil minuman bersoda, membukanya dan menenggak isinya sampai puas. Menyimpannya kembali ke dalam kulkas. Ia meninggalkan dapur, menaiki anak tangga menuju kamarnya. Ruby melempar dirinya ke atas ranjang.
"Kita putus saja."
Ucapan Topaz terngiang di kepalanya. Ruby menghentakkan nafas. Ia melirik foto Intan bersamanya. Ada Safir di antara mereka dalam foto itu. Tersenyum bahagia.
"Kau benar-benar menghancurkan kebahagiaanku, kak." gumamnya. Ia meraih bingkai foto dan menatap dua orang dalam foto itu kemudian melempar benda tersebut ke lantai. Ia menatap nanar langit-langit kamarnya yang polos, tanpa bisa dicegah, cairan bening dari kedua netranya luruh sebagai bukti perih hatinya.
Drrt ...drttt ….
Ruby merogoh ponsel dari saku celana. Melihat nama yang Jasmin disana.
Ruby mendekatkan ponsel ke telinga. "Apa …?"
"By, loe dimana?"
"Di neraka."
"Panas dong." Jasmin tergelak.
"Hati ini yang panas Jasmin." balas Ruby, malas.
"Yaelah, kuy ademin hati loe yang panas." ajak Jasmin.
Ruby menyipitkan mata mendengar tawaran Jasmin. Ia bangun dan terkekeh. Persetan jika orang tuanya marah. Toh, nanti setelah jadi istri dia tidak akan bebas. Anak, mertua, suami akan selalu ada di sekitarnya. Mengawasi dan membuat kebebasannya mengecil.
"Ktp ku masih delapan belas tahun." ucap Ruby, ragu.
"Alah bisa diatur."
"Jam berapa?"
"Kita ketemu di depan mall kokas jam tujuh malam. Kita bareng Dareh kesana."
"Dareh ikutan?"
"Ho'oh."
"Loe pakai baju yang bagaimana?"
"Terserah deh, yang penting jangan kelihatan kayak kanak-kanak. Tar, kita disuruh balik dari depan Club." ucap Jasmin.
Ruby mengangguk, "Ya sudah, nanti gue kesana." ucapnya dan mematikan telponnya.
Ruby meninggalkan tempat tidurnya, ia membuka lemari dan memilih pakaian yang tepat untuk Clubbing. Meletakkan di atas ranjang, ia melepas sebelah sepatunya yang masih melekat, ia melemparnya ke atas ranjang. Berjalan menuju kamar mandi. Melepas seluruh pakaiannya dan membiarkan teronggok di lantai.
Ruby menekan tombol shower untuk menyiram tubuhnya. Menggosok tubuhnya dengan sabun beraroma mawar. Menjatuhkan tatapan pada bagian dαda. Safir sialan itu mengejek ukurannya.
"Ukuran 34, apa ini masih kecil? Ini bahkan bisa menyumpal mulut sialanmu itu." desis Ruby menggerutu, membersihkan seluruh tubuhnya.
****
Seperti janji mereka. Ruby menghampiri Jasmin dan Dareh di depan Mall Kokas. Pasangan aneh itu sudah berada di dalam mobil.
Ruby mengetuk jendela mobil menghentikan Jasmin dan Dareh berciuman.
Ruby membuka pintu, masuk ke jok penumpang. Melihat dua orang di jok depan, tampak berantakan.
"Kalian gak bercinta kan di mobil ini?" tanya Ruby menatap curiga dua orang di depannya.
"Gila aja loe."
"Ya kali. Soalnya gue cium bau aneh." Ruby mengendus-endus dua orang di depannya. Dan menjatuhkan tatapan pada lantai mobil dan sontak mengangkat ke dua kakinya ke atas jok mobil.
"Anjir!" Teriaknya.
"Kenapa sih, Loe?" tanya Jasmin. Dareh menutup wajahnya, ia lupa membuang sesuatu yang memalukan.
"Cuma sampah, By." ucap Dareh.
"Jijik gue. Ambil sial. Ih jorok tau nggak?" Ruby mual.
Dareh tertawa, keluar dari mobil dan membuka pintu belakang tempat Ruby duduk. Ia mengambil bekas k0ndom miliknya.
"By, By. Tar juga milik laki lu bakal telan." ujar Jasmin.
"Terus kenapa itu nggak loe telan?"
"Sudah kenyang, By." Jasmin merapikan penampilannya di depan kaca spion.
Dareh masuk, ia menoleh ke belakang,"sorry anak polos. Tadi lupa buangnya." ucapnya ringan.
"Dasar." Ruby berdecih.
"Ya udah jalan, yu." ujar Jasmin.
Dareh mengemudikan mobilnya menuju tujuan mereka.
Club malam.
Hingar bingar suara musik menggema dalam ruangan club. Ratusan orang asik bergoyang di lantai dance, mengikuti ritme yang dimainkan DJ. Sementara pengunjung lain yang enggan meliukkan tubuhnya di lantai dansa memilih duduk dengan pasangan, berciuman, bertukar minum dari mulut ke mulut menjadi pemandangan yang biasa bagi penikmat dunia hiburan malam, namun tidak dengan Ruby. Ini yang pertama untuknya. Masuk menginjakkan kaki ke tempat itu. Sedikit merasa risih dan kikuk.
Jasmin memesankan satu sloki alkohol untuk Ruby. "Coba By." ia menyerahkan minuman itu pada Ruby.
"Gak ah ntar gue mabuk." tolaknya.
Dareh ketawa, memukul kepala Ruby pelan, "Lo mau ngapain kesini?"
Ruby balas menabok, "Nggak sopan! Gue cuma penasaran tempat yang katanya bisa bawa kita ke surga itu kayak apa?"
Jasmin dan Dareh terbahak, "loe akan ke surga kalau sudah minum ini." Jasmin meneguk alkohol yang tadinya untuk Ruby.
"Ah …"Jasmin meletakkan gelasnya dan memesan lagi bartender.
Ruby melihat ke lantai dance, para pengunjung semakin riuh berteriak ketika DJ mempercepat dentuman musik. Lalu ia mengedarkan tatapannya ke setiap ruangan, beberapa pengunjung yang tidak tahu malu saling melumat dan meremas di ruang remang bercahayakan lampu disko dari plafon ruangan itu.
Ruby menarik perhatiannya dan kembali menghadap bartender. Ia melihat Jasmin dan Dareh berbagi minuman lewat mulut.
"Jorok loe," gumam Ruby. Seketika ia merasa sesak.
Dareh memberikan satu sloki untuk Ruby. "coba aja Ruby. Satu sloki kecil begini nggak bakalan buat loe mabuk. Yang penting loe tau rasanya." ucapnya.
"Dahlah sayang jangan dipaksa."Jasmin menimpali.
"Loe tuh nggak bakalan mabuk gara-gara satu sloki doang. Kadar alkoholnya rendah. Percaya deh." bujuk Dareh.
Ruby mengambil dari tangan Dareh dan memperhatikan isinya. "Rasanya seperti apa?"
"Cola," sahut Jasmin asal.
Ruby berdecak melihat Jasmin, kemudian menghirup aroma alkohol dalam gelas kecilnya.
"Dansa yuk sayang," ajak Dareh memainkan ujung rambut Jasmin.
"Ada Ruby, tar nggak ada temennya."
Dareh melihat Ruby yang sudah menghabiskan alkoholnya, ia terkekeh.
"Gimana rasanya?" tanya Dareh.
"Rasanya tenggorokan kita kayak dibakar, ya?" Ruby mengusap tenggorokannya.
"Itu karena kamu belum terbiasa, coba satu lagi deh." Dareh meminta satu sloki pada bartender kemudian memberikannya pada Ruby.
Ruby menenggaknya hingga tandas. Tiga sloki membuatnya semakin menangih, lagi-dan lagi sampai Ruby merasa benar-benar melayang.
"Dareh, sudah cukup. Jangan cekokin terus kasihan. Dia sudah mabuk." Larang Jasmin.
"Gemes gue liatnya." ujar Dareh, terkekeh melihat tingkah Ruby yang sudah mulai bergoyang di atas kursinya.
"Kalian tau ipar gue? Dia bersemangat menikah denganku." ucap Ruby, wajahnya merah dengan mata sayu.
"Ah sungguh?" tanya Dareh.
"Iya, wajahnya bersinar saat aku bilang sepakat menikah dengannya. Sialan." gumamnya, mengambil gelas minum Jasmin dan menenggak isinya.
"Ho'oh,"
"Aku di putuskan Topaz," ucapnya sedih. Kemudian menangis kencang, mengalahkan dentuman musik di ruangan itu.
Dareh menutup mulut Ruby dengan tangannya. " Semua gara-gara si Sapi sialan!" teriaknya begitu berhasil melepas tangan Dareh dari mulutnya.
"Ayo kita bawa pulang." ajak Jasmin, Ruby mulai tidak terkontrol.
"Mau kemana? Gue belum tiba di surga, sialan. Ini masih neraka. Gue masih merasakan sakit disini. Kata orang jika kita tidak merasakan sakit lagi artinya kita di surga. Sementara aku masih merasakan denyut perih disini." ujar Ruby menolak pulang, memukul-mukul letak hatinya berada.
"Pak buatkan satu lagi. Ganti gelasnya yang lebih besar. Gelas minum apaan ini? Gelas jamu?" Ruby ngedumel mengamati gelas di tangannya. Jasmin dan Dareh terbahak.
Di tempat lain, Kalimaya dan Gemma mencemaskan Ruby. Gadis itu pergi tanpa pamit. Mereka tidak banyak mengenal teman kampus Ruby, satu-satunya teman akrabnya juga tidak dapat dihubungi, Jasmin. Ini untuk kali kedua Ruby menghilang dari rumah tanpa ijin. Anak ini semakin meresahkan saja.
"Hubungi Safir,"
"Tapi, ini sudah tengah malam, Pah." kata Kalimaya.
"Itu anak ... minta dipasung." Kesal Gemma masuk ke dalam rumah meninggalkan Kalimaya di depan pintu menunggu cemas Ruby.
"Ya Tuhan …, Ruby. Kemana nih anak." Kalimaya bicara sendiri, menggenggam ponselnya erat.
Apa aku hubungi Safir saja?
Kalimaya memutuskan menghubungi Safir.
Safir meraih ponsel dari meja nakas dekat tempat tidurnya, ia segera bangun begitu melihat nomor mertuanya tertera di layar ponselnya.
"Halo, bu. Ada apa malam-malam nelpon?" tanya Safir, cemas.
"Menantu, kau sudah tidur?" suara Kalimaya terdengar gelisah.
"Iya tapi, ada Bu?"
"Ruby menghilang, Safir. Ibu dan Ayah nggak tahu dia pergi kemana." ucap Kalimaya.
Safir mengembuskan nafas kasar, ia turun dari ranjang.
"Ibu sudah hubungi teman dekat Ruby?"
"Sudah tapi tidak diangkat."
"Mereka mungkin bareng, Bu."
"Masalahnya Jasmin itu orang bebas. Ibu kesal amat dah sama si Ruby ini. Ibu dah sering ingetin supaya nggak bergaul tuh sama anak tetap aja nggak di dengerin." ucap Kalimaya panjang lebar.
Safir menjepit ponsel pada perpotongan leher dan bahu, menunduk memeriksa popok Kristal yang begitu lelap tidur di boks nya.
"Kirim nomor ponsel teman Ruby, Bu. Biar Safir bantu hubungi." Safir mengelus pipi putrinya.
"Baik, Nak. Maaf ya Safir sudah membangunkan kamu." ujar Kalimaya tidak enak hati.
"Tidak apa-apa, Bu. Ruby juga tanggung jawab aku."
"Ya sudah, ibu akan kirim nomor Jasmin." Kalimaya memutus sambungan teleponnya.
Safir mengembuskan nafas panjang. Melangkah menuju balkon kamarnya. Disana ada tempat duduk dari kayu jati berukuran panjang dan lebarnya dapat menampung dua orang dewasa jika berbaring disana.
Safir duduk dan menunggu pesan dari Ibu mertuanya. Ia tersenyum kecil saat menatap langit tanpa bintang. Gelap seperti hatinya saat ini. Ia teringat akan Intan dan bangku tempatnya duduk saat ini. Ini tempat favorite istrinya, sebelum tidur Intan menghabiskan waktu membaca n****+-n****+ kesukaannya yang bergenre fantasi. Terkadang wanita itu menceritakan tentang tokoh yang ia sukai dalam n****+ padanya, dan suka bertingkah romantis seperti tokoh wanita dalam n****+ yang ia baca. Safir merindukannya, sangat.
Ding. Ding.
Ponsel Safir menarik dirinya dari lamunan tentang Intan. Ia membaca pesan mertuanya dan menyimpan kontak Jasmin dengan sebutan 'gadis bebas' entah apa maksudnya, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Safir menghubungi nomor gadis bebas dan menempatkan ponselnya di dekat telinga, masuk tapi, tidak diangkat. Lalu mencoba lagi.
"Topaz." nama itu muncul di kepalanya. "Apa jangan-jangan Ruby?" Safir mematikan ponselnya. Walaupun tidak punya perasaan cinta terhadap Ruby, dia tidak sudi calon istrinya sampai disentuh pria asing.
Safir berdiri dan bergegas masuk ke dalam rumah menuju tempat laptopnya berada. Ia menghidupkan laptop untuk mencari tahu tentang Topaz lewat media sosial pria itu, jika ada. Namun, laptopnya menyala ponselnya berdering.
Gadis bebas menelpon.
"Halo," Angkat Safir.
"Siapa ini?"
Safir melebarkan mata saat mendengar pemilik suara itu seorang pria.
"Ini handphone Jasmin, bukan?"
"Siapa loe?" Sahutnya ketus.
"Ruby ada disana? Aku kakaknya, Ruby."
Dareh terdiam. Ia sengaja mengangkat ponsel pacarnya yang tengah tidur di sampingnya.
"Ruby? Dia ada bersama kami."
"Kami? Dimana?" tanya Safir.
"Jasmin dan Ruby ada sama gue. Kami ada di Club malam dan saat ini Ruby mabuk."
Safir membeliak, ia beranjak dari tempat duduknya. "Kalian ada dimana sekarang?" tanya Safir.
"Dalam mobil di basement Club."
"Club mana? Tolong alamatnya."
Safir melepas baju tidurnya, mengambil pakaian dari lemari. Ia mengenakannya sembari mendengar Dareh menyebut alamat tempat mereka berada.
Astaga Ruby, kenapa bisa sampai masuk kesana.
Safir mematikan ponselnya sepihak, kemudian melempar asal ponsel di atas tempat tidur, mengambil kunci mobil dari tempatnya seraya mengenakan sweater. Ia mengambil lagi ponsel dan bergegas keluar kamar, mengetuk pintu kamar Ibunya.
Amber keluar kamar, melihat putranya tampak rapi.
"Mama tolong tidur di kamar Safir. Aku titip Kristal." ucapnya.
"Mau kemana?" Kalimaya keluar kamar ketika putranya segera pergi.
"Ada urusan sebentar di luar, Ma."
"Jam segini?" teriak Amber menghentikan langkah Safir di anak tangga.
Safir menoleh ke atas, "teman minta di jemput dari …"
"Jangan bohong Safir. Kau mau menemui siapa?" tanya Amber menatap putranya curiga dari pembatas koridor lantai atas.
Safir tampak berpikir, ibunya tidak boleh tahu kalau Ruby masuk Club malam.
"Jemput teman di bandara, Ma."
"Siapa?"
"Mama nggak kenal sama dia, lain waktu aku kenalin." Safir melanjutkan langkah menuruni anak tangga.
"Hati-hati Safir, bilang sama temanmu jangan nyusahin orang. Memangnya dia tidak bisa minta orang lain apa buat jemput dia. Kau seorang ayah di rumah ini."
"Iya, Ma." sahut Safir sebelum menghilang dari pandangan Ibunya.
****
Safir memasuki ruang bawah tanah Club malam. Ia mencari parkiran. Menghubungi nomor Jasmin seraya melepas seatbeltnya.
"Halo …."sapa Dareh.
"Kalian ada dimana? Aku sudah di basement." Safir keluar dari mobilnya.
Dareh menekan klakson mobilnya.
"Denger klakson mobil nggak?"
"Tekan yang lama." ucap Safir, kesal. Kemudian Ia mendengar bunyi klakson mobil. Safir mengedarkan tatapannya mencari asal suara dan berlari menghampiri sumber suara. Melihat mobil dalam keadaan menyala. Dua lampu mobil itu menyorot terang.
Safir mengetuk jendela mobil, Dareh
menurunkan jendela mobil dan mengeluarkan kepalanya menatap Safir dengan mata sayu.
"Keluar!" perintah Safir seraya membuka pintu kemudi dan menarik Dareh keluar dari dalam mobil.
"Apa-apaan loe?" tanya Dareh melepas tangan Safir yang mencengkram kerah bajunya dan menyudutkan Dareh pada body mobil.
"Siapa yang memintamu membawanya ke tempat ini?" tanya Safir, menatap tajam Dareh.
"Adik loe sendiri yang mau ikut." Sahut Dareh dengan lantang.
"Aku peringatkan kamu. Jangan berteman dengannya!" Safir melepas cengkraman tangannya di kerah kaos Dareh.
"Sialan! Tau begini, gue antar dia ke rumah pacarnya. Adik loe kampret minta antar ke rumah pacarnya buat di perawanin." sergah Dareh.
Kedua mata Safir menyala mendengarnya. Ia membuka pintu penumpang dan melihat Ruby tidur terlentang dengan kedua tungkai terbuka lebar.
Safir melihat pada jok depan. Seorang gadis selain Ruby. Ia pastikan itu Jasmin.
Safir membungkuk dan memasukkan setengah tubuhnya ke dalam mobil. Mengangkat tubuh Ruby keluar dari mobil dan membawanya menuju mobilnya. Meninggalkan Dareh menatapnya sinis.
Safir membuka pintu mobilnya dengan susah payah. Memasukkan Ruby dan perlahan membaringkan tubuh Ruby di jok penumpang. Ia memperhatikan wajah polos Ruby. Tidak percaya apa yang terjadi saat ini. Gadis kecil ini mabuk.
Ucapan Dareh terngiang di telinga Safir. Jika Ruby minta diantarkan ke rumah Topaz.
"Dasar. Apa tidak boleh menunggu seperti kesepakatan kita? Menikah dua tau dan bercerai. Kau bebas melakukan apapun dengan pria itu." Gumam Safir, kemudian keluar dari mobil, menuju bangku kemudi.
Safir mengemudikan mobilnya, keluar basement. Melihat Ruby lewat spion dalam mobil. Ruby bergeser, menghadap punggung jok mobil.
Mobil Safir menuju pom bensin dan memarkirkan mobilnya. Ia terdiam memikirkan kemana Ruby dibawanya.
Jika ke rumah Ibunya, maka habislah gadis ini di tangan Gemma.
Jika di bawa ke rumahnya. Amber akan marah dan menganggap Ruby gadis nakal.
Safir berdecak, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran jok. Melihat kembali Ruby lewat spion.
Gadis itu berbalik hingga terjatuh pada kolong jok.
"Auh …." pekiknya.
Safir mengabaikannya.
Ruby bangun untuk duduk di jok, ia memperhatikan ruang mobil itu dengan mata menyipit. Kemudian menyadari kalau dia berada di mobil berbeda. Matanya membelalak, dan mencondongkan tubuh ke depan untuk mencari Jasmin dan Dareh. Tubuhnya terjatuh karena ia belum sepenuhnya sadar.
Ruby terpekik, berusaha bangun dan melihat ke Safir tepat pria itu menoleh ke belakang, hingga tatapan mereka bertemu.
Ruby tersentak kaget, menarik tubuhnya untuk mundur menjauh dari pandangan Safir.
"Kakak, kenapa bisa disini?" tanya Ruby seraya menatap Safir dengan pandangan heran.
"Berapa banyak kamu minum? Sekarang kamu sangat berani ya Ruby. Pergi tanpa ijin, clubbing, mabuk. Kamu ini mau jadi apa?" tanya Safir, masih menolehkan kepala ke belakang melihat Ruby.
"Bukan urusan kak Safir." ketus Ruby.
"Ruby! Selain calon suami aku juga kakak ipar kamu. Aku berhak mengatur kamu." tegas Safir.
Ruby mendengus, menatap sinis safir. Membuka pintu mobil.
"Mau kemana?"
"Pulang." sembur Ruby dengan suara lantang.
"Jangan keluar. Diam di tempatmu."Perintah Safir.
"Ruby mau pulang."
"Pulang kemana? Duduk Ruby!" Bentak Safir.
Ruby tersentak, kemudian memukul jendela mobil dengan telapak tangannya kesal. Ia menangis menahan sakit di tangannya.
"Aku benci kakak, aku juga benci kakak Intan. Kalian kenapa melibatkan aku dalam hubungan kalian." Ruby terisak.
Safir menghela nafas kasar, mengembalikan tubuhnya menatap lurus ke depan. Ponselnya berdering dalam pelukan holder.
Kalimaya menelpon.
Safir berdecak, melihat ke belakang. "Ibu nelpon. Kamu diam disitu, jangan merengek-rengek." kesal Safir, menekan jawab sekaligus pengeras suara.
"Safir … ada kabar Ruby nggak?" tanya Kalimaya, suaranya terdengar sedih.
Safir melihat Ruby dari kaca spion dalam mobil. Gadis disana menunduk begitu dalam.
"Ruby bareng aku sekarang, Bu."
"Dimana?" tanya Kalimaya, dari nada suaranya wanita itu sudah merasa lega.
"Di rumah. Maaf tadi aku tidak langsung menghubungi Ibu."
"Ah syukurlah. Kua temukan dimana? Pasti sama Jasmin?"
"Nggak kok, Bu. Ruby menghadiri pesta ulang tahun temannya di kafe. Ibu tenang aja, Ruby sudah tidur kamar tamu." Safir berbohong.